One

21 2 0
                                    

Assalamualaykum sobat...
Well, sebenernya ini bukan cerita pertamaku, aku pernah bikin cerita sebelumnya tapi aku malah menderita WB wkwkwk.. #maap yak. So akhirnya cerita itu diapus deh. And..  Tadaaa! Aku retell salah satu cerita dari kitab Muthalla'ah jilid 2 dan Inshaa Allah bermanfaat buat kalian, the last terimakasih karena jemari2 kalian sudah mau meng-klik vote dan memberi komen, saran dan kritik nya. Thank u so much for ur attention, selamat membaca! :)

-
-
-

Angin berhembus dengan kencang seiring kereta yang tengah melintas di atas rel dengan kecepatan tinggi. Sayba, gadis berumur 10 tahun, sedang berdiri di ambang pintu seraya menyaksikan kereta yang melintas di depan rumahnya.

Karena rumahnya persis di depan rel kereta api, maka tak jarang terlihat kereta melintas. Hal demikian dijadikan oleh Sayba sebagai tontonan dan hiburan tiap harinya. Sayba hanya tinggal berdua bersama ayahnya, Faruq. Ibunya, Fury meninggal dua tahun yang lalu akibat sakit jantung yang di deritanya.

Faruq bekerja di stasiun sebagai satpam yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Sayba yang tumbuh tanpa pengasuhan ibunya, membuat sang ayah kebingungan, apalagi jika Faruq ingin berangkat kerja, ia harus meninggalkan Sayba sendirian di rumah, karena Faruq berangkat kerja sesudah Shubuh dan akan pulang pada waktu Isya.

Takut rasanya untuk meninggalkan Sayba sendiri di rumah, namun karena Sayba paham pekerjaan ayahnya, ia rela untuk menunggu di rumah sendiri. Sayba tahu, ayahnya harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Maka dari itu Sayba memakluminya.

Faruq sangat bersyukur mempunyai anak yang sabar dan ikhlas seperti Sayba. Walaupun umurnya masih 10 tahun tapi Allah telah mengkaruniai Sayba dengan sikap yang dewasa.

======================================

Rumah yang terpencil membuat Sayba tidak mempunyai teman, kesepian selalu melandanya kala ayahnya sedang bekerja. Seketika Sayba punya keinginan untuk sekolah.

Kalau sekolah pasti Sayba tidak kesepian lagi, pikirnya. Karena Sayba akan mendapatkan teman baru, juga dengan sekolah ia pasti dapat ilmu. Tunggu, itu tidak mungkin. Sayba tahu bahwa sekolah itu berada sangat jauh dari tempat tinggalnya, dan lagipula tak ada yang mengantar-jemput dirinya.

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Tapi ayahnya belum pulang. Ia menghela nafas berat. Rasanya jenuh, menunggu ayah pulang sembari berdiri di pintu rumahnya yang terbuka lebar-lebar. Sambil melihat kereta barang yang melintas dengan cepatnya. Sinarnya sangat meyilaukan mata bagi siapa saja yang melihat.

Tiba-tiba sinar kereta itu menghilang dari pandangannya seketika. Setau Sayba, rel itu lurus tidak belok-belok, dan lagipula tak ada penghalang yang menghalangi pandangannya.

Rasa penasaran hinggap dalam dirinya, tak perlu pikir panjang ia bergegas mengambil sepatunya dan memakainya dengan tergesa-gesa. Setelah memakai sepatu, ia langsung berlari ke tempat itu. Sayba terus berlari cepat, seakan-akan tak ingin peristiwa itu terlewatkan sedikitpun.

Sayba terkejut ketika ia sampai di tempat itu, bagaimana tidak? Jembatan yang tadi kereta itu lintasi rubuh dan jatuh hanyut ke sungai bersama kereta barang tersebut. Ia nampak ketakutan melihat pemandangan itu. Sayba teringat bahwa sebentar lagi kereta penumpang akan lewat, namun orang-orang belum tahu kejadian ini kecuali Sayba. Ya, karena Sayba lah saksinya.

TRAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang