ketika hendak berbicara ki merah mengajak bapak saya keruangannya, kata dia sebaiknya ini dibicarakan empat mata saja, sial padahal saya sangat penasaran. Sementara bapak pergi kedalam dengan ki merah, saya menuggu diruang tamu sambil ngemil keripik pisang. Saya kira ki merah bakal seperti di film-film horror, bengis dan juga congkak, tapi sikapnya sama saja seperti orang pada umumnya. Malah bisa dibilang ramah, apalagi istrinya yang sudah menyajikan cemilan ini.
Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, bapak saya kembali bersama ki merah. Mereka langsung duduk dikursi seperti semula. Terlihat ada ketegangan diwajah mereka, apa yang sebenarnya telah terjadi ? apa didalam tadi mereka bertengkar.
“jadi kalau bukan aki, apa ada orang lain ?” bapak mulai berbicara.
“aku mengaku memang sudah mengganggu keluarga si Asep, tapi sasaranku memanglah si Asep itu sendiri bukan istrinya. Malam itu aku mengirim dua demit untuk membawa jiwa si Asep, hanya untuk memberi pelajaran, aku bersumpah tidak ada sedikitpun niat untuk membunuhnya. Tapi yang kena malah istrinya, Karena terlanjut sudah terjadi, aku pikir bila istrinya menderita maka si Asep juga akan merana. Aku juga yang mengirim peliharaanku untuk menghalang-halangimu saat kamu hendak pergi membantu si Asep.” jawab ki merah.
Saya tiba-tiba jadi teringat kejadian dikebun teh, saat anjing hitam yang mau menerkam bapak. Jadi itu memang benar ulahnya ki merah.
“dan aki juga yang hendak berniat mencelakakan keluarga saya saat saya berhasil menyadarkan kembali si ratih ?” nada bapak mulai naik.
“aku memang mengirim peliharaanku untuk mengawasimu tapi tidak memerintahkannya untuk mengganggumu.”
“istri saya diterror ki, sampai dia jatuh sakit.”
“aku bersumpah demi apapun, hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengawasimu, bukan untuk mengganggumu. Aku mengawasimu hanya karena kagum padamu, soalnya orang biasa sepertimu bisa melakukan upacara jemput lelembut. Usiamu terlalu muda untuk menguasai ilmu semacam itu.” Ucap ki merah,
entah sebuah kebenaran atau ini hanya pembelaannya saja, saya tidak tahu.Kemudian bapak menyuruh saya untuk menceritakan apa yang dialami ibu. Saya bercerita kepada ki merah tentang ibu yang melihat sosok wanita di kamar mandi, dan sosok lainnya yang menjelma menjadi teman ibu yang sudah meninggal.
“baiklah saya akan mempercayai aki kali ini, tapi saya mohon beritahu kemana aki membawa lagi ratih sekarang ?”
“apa maksudmu membawa lagi ratih ?” ki merah tampak terkejut.
Ki merah malam itu memang memerintahkan peliharaanya untuk mendatangi rumah kang Asep tapi untuk mengambil pocongan yang telah ia tanam dihalaman rumah. Dia tersadar bahwa perbuatannya salah, karena setelah melakukan perbuatan keji itu lagi, dia selalu dihantui bayang-bayang teh maryah.
“setiap malam, wajah maryah selalu menghantuiku. Saat tidur dia masuk dalam mimpiku, saat sedang diam dia masuk dalam ingatan, dan saat aku bekerjapun dia menyusup dalam bayang-bayang. Kini aku sadar ternyata balas dendam tak membuahkan kepuasaan tapi malah penyesalan.” Ucap ki merah.
Walaupun harus mengecewakan kliennya itu, ki merah mengambil resiko. Dia mengembalikan uang yang telah diberikan, walaupun niat awal ki merah membantu bukan karena uangnnya tapi lebih kepada alasannya. Kita tentu selalu ingat jika ada orang yang bernasib sama, kita seakan memiliki ikatan emosiol dengan orang tersebut, hingga kemudian menimbulkan rasa empati seperti mengkasihani diri sendiri.
Malam itu ki merah mengaku , dia telah berhenti urusannya dengan klien dan keluarga kang Asep. tidak ada lagi permainan, tidak ada lagi gangguan. Bahkan dia menyesal telah belajar ilmu seperti itu. Entah benar atau tidak ucapan yang dikatan ki merah itu, tapi dilihat dari wajahnya tampak sekali penyesalan yang sangat dalam. Kadang saya merasa kasihan, mungkin seumur hidupnya ki merah menderita dibayang-bayangin dosa masa lalunya.