Langit masih gelap. Kurapatkan jaket dan melirik jam tangan di tangan kiriku. Masih jam 5.15 pagi tapi aku sudah buru-buru lari ke pesawat. Ada beberapa panggilan masuk di handphone tapi kuacuhkan. Hal yang paling kuhindari dalam hidupku adalah ketinggalan pesawat. Itu seperti mimpi-mimpi burukku akan menjadi kenyataan.
Aku kembali mendongakkan kepala ke langit sebelum naik ke pesawat. Langit gelap dengan samar-samar kebiruan. Aku teringat satu hal penting yang belum kulakukan. Hal yang benar-benar penting yang karena ketergesaan ini membuatku melupakannya. Berpamitan dengan kedua orangtuaku. Mengucapkan kata-kata perpisahan untuk mereka dan mengucapkan ucapan terima kasih karena telah mengantarkanku. Perjalanan mereka dari kotaku ke Balikpapan yang harus ditempuh selama 3 jam bukanlah perjalanan yang tidak melelahkan. Tapi...apakah aku harus kembali sejenak untuk mengatakannya?
Tes!
Mataku sudah berlinang air mata. Takkan sempat. Bukankah tadi sudah panggilan terakhir untuk penumpang pesawat tujuan Yogyakarta? Aku menyesali kebodohanku. Namun segera kuhapus air mataku. Aku tak ingin orang-orang bertanya mengapa aku menangis di depan pesawat yang sedang menunggui penumpangnya.
Dadaku masih sesak setelah aku duduk di kursi penumpang. Aku buru-buru menepis air mataku yang ingin keluar lagi. Pikiranku masih belum tenang. Kurasakan bapak yang duduk di sampingku seperti memperhatikanku yang sedang gelisah. Aku melemparkan pandanganku ke luar jendela. Pesawat masih belum lepas landas.
Bagaimana aku bisa mengatakannya? Aku seperti anak yang tak tahu berterima kasih saja. Kulirik jam tanganku sudah menunjukkan waktu keberangkatan, seperti yang tertera pada tiket.
Dddrrtt..dddrrtt..
Ternyata aku belum mematikan handphone-ku. Aku terkejut melihat siapa yang meneleponku. Ibu?
"Kamu sudah di pesawat, sayang? Tadi Ibu dengar pesawatmu sudah panggilan terakhir."
Suara Ibu yang tenang semakin membuatku tidak enak hati.
"Iya, bu. Sebentar lagi pesawatnya lepas landas."
"Hati-hati di jalan, nak,"
Aku mengangguk. Walau kutahu ibu tak mungkin bisa melihatku.
"Jangan lupa baca do'a," terdengar suara Ayah mengingatkanku. Mendengar suara mereka ingin rasanya memeluk mereka berdua. Ingin rasanya aku berbalik keluar dan menemui mereka barang sebentar. Aku menyesal akhirnya ketika Ayah akan memelukku tapi kutolak karena aku pikir aku masih bisa menemui mereka setelah check-in tadi.
...pesawat akan lepas segera lepas landas. Telepon genggam dan alat elektronik lainnya harap dimatikan...
Terdengar peringatan dari speaker tepat di atas kepala. Aku masih tak ingin menutup teleponku.
"Kalau sudah sampai Jogja, kasih kabar ke Ibu dan Ayah, ya!" kata Ibu lagi.
"Iya, bu,"
Telepon ditutup. Pesawat juga mulai bergerak menuju landasan. Aku memandang keluar jendela. Memantulkan bayanganku sendiri yang sudah basah dengan air mata. Ibu, Ayah, maafkan aku. Aku lupa lagi mengucapkan terima kasih kepada kalian.