Nabila tidur. Tetapi bukan suatu tidur yang nyenyak. Tubuhnya berbaring seperti batu beton menahan dadanya. Rasanya sesak dan panas. Samar-samar, ia mendengar keributan. Meskipun masih belum bisa membuka mata, ia juga mencium aroma minyak kayu putih. Dan seketika itulah, dia terbangun. Mengalami disorientasi berlebihan, membuka mata mirip putri tidur, tapi bukan karena dicium. Melainkan baluran minyak hangat kayu putih di hidungnya.
"Nabila? Dia udah bangun, Dito! Bram!" pertama yang ditangkap di panca indera Nabila ialah wanita berparas cantik dengan polesan lisptik matte warna merah jambu di bibirnya. Kecantikannya tak memudar meskipun garis-garis wajahnya tersebut mengkerut khawatir bukan main. Lalu kemudian, derap langkah cepat menyusul. Nabila mengerjap-erjap pusing. Ada Ardito –atasannya. Lalu Desi –tunangan bosnya tersebut, dan satu lagi Bramantyo. Pria yang ikut andil membuat Nabila pingsan.
"Nabila?!" seru Bram cemasnya setengah mati. Disenggolnya Desi yang sejak tadi berlutut di samping tubuh Nabila, menggantikan posisinya. Mengusap kening berkeringat Nabila dengan lembut tapi tangan Bram terasa bergetar.
"Minum dulu ya? Kamu bisa duduk?"
"Ngh..bisa.." bisik Nabila lemah. Dipaksakannya tubuh kecil itu bangun dan duduk menyenderkan punggungnya di sofa. Nabila melihat sekitar. Entah siapa yang membopong badannya ke ruangan Pak Ardito ini. Dan sekumpulan rekan kerjanya ribut di pintu ruangan. Melihat apa dirinya baik-baik saja.
"Minum dulu, Nab. Pelan-pelan aja" seloroh Desi menyendokkan air putih ke mulut Nabila mirip orang sakit. Memang sakit kok. Hanya tiga sendok, dan Nabila menyudahi. Bram dan Desi menatapnya kahwatir. Dan Dito bercakak pinggang, nampak bingung.
"Ngapain nggerombol di pintu?! Sana pada pulang!" sengit Dito melihat karyawannya yang mengintip dari balik pintu, dan mereka semua segera bubar. Nabila memijit keningnya yang terasa berputar. Apa yang terjadi? Seingatnya tadi ia memang belum makan. Tengah beres-beres untuk pulang, dan seseorang datang sebelum semuanya menjadi gelap. Nabila membelalakkan mata. Tak sengaja membalas kontak mata itu. Bram didepannya, menggigit bibir, dan nampak bersalah.
"Nab, aku minta maaf"
"Pak..Bram.." sebut Nabila terkejut dan mendadak malu. Iyalah, tadi Bram sepertinya mengucapkan sebuah kalimat konyol bin nonsense. Apa Nabila yang bermimpi kejauhan atau gimana..
Keduanya sejenak terdiam. Sebelum Desi berbalik dan menatap Dito dengan tajam.
"Kamu ini tega banget sih, To! Nabila lagi sakit masih aja kamu suruh kerja!" Desi menyalahkan kekasihnya tersebut, merasa kasihan dengan sekertaris kecil itu. Dito salah tingkah, bibirnya membuka lebar.
"Kok aku sih yang kamu salahin, Yang?! Aku manatau Nabila sakit. Bram tuh, dateng-dateng ngajak kawin.."
DEG!
Nabila benar-benar tidak berhalusinasi.
Lelaki itu mendengus kasar. Menatap kedua temannya tersebut bergantian.
"Bisa nggak kalian berdua keluar dulu? To, gue pinjem ruangan loe bentaran doang" pinta Bram memelas. Balasan Dito adalah mengernyitkan bibir. Tapi si Desi yang lebih peka, segera menyetujui dan menyeret Dito untuk keluar, dan masih sempat-sempatnya Desi mengusap bahu Nabila dan pergi dari situ.
Pintu tertutup, walaupun berisik di luar. Hening didalam. Nabila gugup, tapi ia tak bisa kabur karena badannya masih limbung. Alih-alih ia takut jatuh. Jantungnya terasa copot manakala pria yang ada bersamanya kini tengah duduk di sampingnya. Merebut tangan kanan Nabila dan menggenggamnya erat. Nabila tidak mengerti. Ia membiarkan perasaannya membuncah tanpa dicegah. Ia tidak menolak. Karena ia sendiri masih dalam proses disorientasi membuatnya linglung. Digenggam dengan pria yang ia kagumi dan sempat mengharapkan hubungan lebih. Namun kalah akan perasaan dosa karena menyukai lelaki yang sudah milik wanita lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomansaSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...