Sembilan - THE REJECTION

13.3K 1.1K 12
                                    

Malam itu hening seperti malam-malam sebelumnya dirumah Nabila. Ayah sudah tidur. Beliau selalu tidur tepat waktu pukul sembilan sejak mengidap stroke. Tinggallah Nabila sendirian. Ia merapatkan jaket yang ia pakai serta memeluk tubuhnya sendiri. Saat air panas sudah mendidih, Nabila mematikan kompor. Menuang ceret ke dalam mug berbubuk teh. Ia butuh yang bisa menghangatkan tubuhnya. Setidaknya untuk menghilangkan demamnya yang lebih baik ketimbang tadi sore, dan mengusir bayangan seorang pria familiar di hatinya beberapa waktu belakangan yang sudah bertingkah konyol tersebut.

Nabila membawa cangkir mug tersebut ke ruang tamu. Menatap jendela dengan pemandangan air langit berjatuhan semakin deras. Wanita itu menekuk kakinya sehingga dapat mencium lutut. Diperhatikannya asap kepulan teh dengan melamun. Pikiran Nabila kacau. Hati Nabila apalagi. Ia masih belum bisa percaya. Sore ini, Bram melamarnya. Memohon kepadanya, serta mengatakan cinta. Nabila menghela nafas berat. Selama dua puluh enam tahun dalam hidupnya, ia baru pertama kali dilamar. Mengejutkan memang. Tapi Nabila lebih merasa takut.

Tak kuasa, air mata itu jatuh perlahan. Air mata yang tak bisa dijelaskan oleh Nabila sendiri. Nabila tahu, ia menyukai Bram. Siapa yang tidak? Lelaki itu baik. Terhormat,cerdas, tampan yang merupakan bonus paket. Dan..lelaki itu tak mungkin jika berstatus single. Buktinya, beberapa hari lalu ia bertemu dengan sesosok bidadari nirwana yang memperkenalkan diri sebagai calonnya Bram. Lalu bagaimana bisa Bram melamarnya? Tanpa ada penjelasan. Tanpa ada babibu. Sebodoh itukah Nabila mudah ditipu dan dipermainkan?

Atau..memang Bram itu semacam cowok mata keranjang? Playboy? Kencan sana sini dan melamar kesana kemari? Nabila kini terisak. Ia sakit. Ia kelelelahan. Dan hatinya berasa memar. Seseorang yang ia harapkan, malah melakukan hal yang mustahil. Ia tidak senang akan proposal Bram. Ia sedih. Nabila tidak ingin dikasihani oleh seseorang seperti Bram. Bagaimana bisa ia menandingi pesona calon Bram sebelumnya.

"Ngaah..ngaah"

Suara lirih seseorang dari kamar dalam terdengar membuat Nabila tersentak. Segera ia menghapus air matanya. Menghirup nafas sejenak dan masuk ke dalam kamar itu. Ayahnya terbangun. Mungkin haus. Nabila tersenyum getir dalam gelap. Dinyalakannya lampu kecil di atas nakas tempat tidur. Benar saja. Ayah minta minum dan dengan segenap hati Nabila membantunya pelan-pelan. Setelah selesai, sang Ayah tersenyum kecil. Membuat Nabila tak bisa membendung kesedihannya lebih lanjut. Ayahlah satu-satunya tumpuan Nabila. Satu-satunya darah daging Nabila yang tersisa. Orang yang menjaganya sampai sekarang. Orang yang menemani kesepian Nabila hingga saat ini.

"Ayah.." rintih Nabila pilu dan merebahkan di dada Ayahnya. Meskipun Nabila tahu Ayahnya sudah tak dapat berbicara, kekhawatiran itu masih bisa tercipta. Sang Ayah merasakan kausnya basah oleh titikan air mata. Dielusnya putri semata wayangnya tersebut dengan lembut. Berpindah juga kebahunya. Nabila terisak pelan.

"Hari ini..Nabila dilamar,Yah" bisik Nabila yang masih didengar Ayahnya. Sang Ayah bersuara nampak terkejut dan senang. Tapi tidak untuk Nabila.

"Dia..Pak Bram..temen Nabila yang waktu itu makan siang sama kita. Pak Bram lamar Nabila, Yah. Tapi..Nabila nggak yakin. Pak Bram tempo lalu kenalin calon istrinya. Tapi..kenapa sekarang dia lamar Nabila, Yah?"

Tubuh Ayah Nabila menegang. Seolah terperanjat. Usapan sayangnya berhenti. Nabila semakin terisak perih.

"Katanya..dia cinta sama Nabila. Apa cowok semua kaya gitu, Yah? Suka mainin cewek? Nabila nggak suka, Yah. Nabila sakit hati. Nabila suka sama Pak Bram. Tapi klo caranya kaya gini, Nabila kaya gampang dibodohi"

"Ngaah..ngaah" suara sang Ayah membuat kepala Nabila yang terebah tadi kini menengadah. Melihat dengan muka air mata, wajah sang Ayah yang penuh keriput dan tak segar seperti dulu terkikis usia dan penyakit.

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang