Berbalik Benang Merah Pengikat Hati

14 0 0
                                    

    Berlari dan terus berlari. Ia berlari sekuat tenaga. Terengah-engah, napasnya pun terasa berat. Ia bisa tertangkap jika berhenti. Jadi, ia berlari... berlari... dan terus berlari.
    "Jangan lari lagi... Hei! Berhenti! Jangan lariii!" Terdengar suara teriakan dari pria yang berlari di dibelakangnya, entah apa maksudnya. Yang jelas, pria itu merasa nyaris kehilangan nyawanya karena berlari sekuat tenaga.
    "Jangan lari...! Woi! Kau, cepat berhenti!" teriak wanita itu lagi.
    Begitu melihat ke belakang, pria itu baru sadar kalau rak gantungan bajunya yang ia pakai untuk memajang celana jeans dagangannya tanpa sengaja mengait ke celana pria yang sekarang ini ikut berlari di belakangnya. Benang merah dari celana pria tersebut terurai panjang di jalan yang dilalui mereka, seakan hendak mempersatukan keduanya dengan begitu erat. Raut wajah wanita itu begitu merah padam, membuat sang pria terlena sesaat. Gerakannya yang begitu aneh membuat pria itu sadar bahwa celana sang pria telah begitu pendek, nyaris memamerkan semua bagian yang seharusnya tidak boleh dilihat! Gara-gara dirinya, pria itu harus menanggung malu.
Lho, itukan Song Rui En-ku tersayang?!
Ketika pria itu hendak menyeberangi jalan untuk menghampiri pria itu, ia melihat ayahnya melambaikan tangan, berusaha mencegahnya menyeberangi jalan itu. Begitu pula para pejalan kaki yang berada di sampingnya.
    Suara decitan yang amat kencang itu terdengar makin menyeramkan di malam hari yang sunyi itu, seakan-akan suaranya bisa mengelupas tubuh manusia. Pria itu lalu menyadari bahwa kini ia berubah menjadi dirinya saat masih kecil, dan saat ini sedang menangis tanpa henti.
    Perempuan yang pernah memberikannya senyuman dan pelukan yang hangat... Ibunda tercintanya... terbujur kaku di jalanan tanpa bergerak sedikit pun. Dia matanya, ia hanya bisa melihar mobil si penabrak yang bergegas melaju dan tubuh ibunya yang berlumuran darah segar.
    Ia menangis histeris, mencoba menggoyang-goyangkan tubuh kaku wanita yang sudah tidak bergerak lagi itu. Dulu, sang ibu akan segera memeluknya dengan kuat dan membujuknya setiap kali ia menangis dengan keras. Namun sekarang, sekuat ap pun ia menangis, sekuat apa pun ia mengguncangkan ataupun menarik tubuh ibunya, tapi wanita itu tetap saja terbujur kaku. Tetap saja tidak bergerak sedikit pun...
    "Ibuuu...! Jangan pergiii!" teriakan yang begitu keras dan memilukan itu berubah menjadi air mata sungguhan yang perlahan menetes membasahi wajah Mingyu saat ini, 23 tahun setelah kejadian itu berlalu.
   Mingyu membuka kedua matanya, tetapi tidak langsung menggerakkan anggota tubuhnya. Wonwoo, lelaki yang berada di sampingnya, membuat Mingyu ingat bahwa ia sedang berada di pesawat terbang menuju ke Taiwan. Ya. Pasti karena ia sudah berada dekat dengan negara itu lagi, jadi dirinya kembali mengamali mimpi buruk yang sudah tiga tahun terakhir tidak pernah dialaminya.
    Tiga tahun yang lalu, ketika Mingyu menatap peti jenazah ayahnya yang sedikit demi sedikit di kubur dalam tanah, ia pun memutuskan untk meniggalkan negara yang telah membuatnya menjadi sebatang kara itu. Mingyu melepaskan semuanya. Bahkan ibunya, yang hanya dapat ia jumpai dalam mimpi burunya, juga sudah ditinggalakannya. Pria itu berpikir, andai dirinya tidak jatuh cinta pada Rui En, mungkin ayahnya tidak akan mati. Namun, ini bukan sepenuhnya kesalahan Rui En... Ini semua kesalahan ayah Rui En, dan juga dirinya sendiri!
    Ini adalah hukuman yang diberikan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepadanya. Jadi, dengan berat hati pria itu.
    Wonwoo menyetir mobil sembari tak henti melirik ke arah kaca spion tengah untuk melihat ekspresi wajah Mingyu.
    Wajah atasannya itu terlihat kaku dan sedingin es. Bahkan lelaki normal seperti dirinya pun merasa Mingyu begitu tampan. Andai atasannya bisa sedikit tersenyum, maka akan lebih enak lagi untuk dipandang.
Sewaktu di Jepang dia sudah begitu pendiam. Hari ini, entah mengapa dia jadi makin jarang berbicara dibanding biasanya. Tapi, kelihatannya dia juga bukan sedang melamun. Antara Jepang dan Taiwan juga tidak ada masalah perbedaan waktu, kok... Aneh sekali. Apa dia sedang melepas kerinduannya pada kampung halaman, ya? Atau ada hal lain...? Wonwoo berbicara panjang lebar di dalam hati.
    Pandangan mata Mingyu menerawang, seolah tidak mendengar pertanyaan Wonwoo. Tiba-tiba pria itu berteriak, "Hentikan mobil!"
    "Apa...?" Wonwoo tidak mendengar ucapan atasannya dengan jelas.
    "Hentikan mobil!" Teriaknya lagi dengan mantap. Pikiran Mingyu yang sebelumnya melayang entah ke mana, kini kembali fokus.
    "Hentikan mobil sekarang!" kata pria itu dengan itonasi yang lebih tinggi dan tergesa-gesa.
    Wonwoo tidak mengerti apa yang terjadi. Akan tetapi, ia menuruti kemauan atasannya, lalu menghentikan mobil di tepi jalan. Begitu mobil berhenti, Mingyu pun keluar, berjalan dengan cepat ke depan dan menyuruh Wonwoo untuk keluar. Dengan tergesa-gesa, Mingyu segera duduk di kursi pengemudi, memakai sabuk pengaman, kemudian menginjak pedal gas dan mengemudikan mobil itu dengan kencang.
    "Zu zhang?? Bukankah sebentar lagi ada pertemuan? And la mau ke mana?Zu zhang!" teriak Wonwoo kebingungan.
    Walaupun cukup terkejut dengan tingkah laku atasannya yang di luar dugaan, Wonwoo tidak mampu mencegahnya. Setelah bekerja dan berada di samping seorang Mingyu selama satu tahun, ia cukup mengetahui gaya atasannya yang memang terkenal suka menyendiri dan keras kepala. Semua tindakan yang dilakukan Mingyu sering kali membuat Wonwoo merasa ketakutan sekaligus gelisah.
    Untuk saat ini yang dapat dilakukan lelaki itu hanyalah memanggil taksi sambil berharap atasannya itu bisa datang tepat waktu untuk menghadiri pertemuan dengan perusahaan sponsor.
    Melintasi jalanan di Taipei, sesaat Mingyu merasa seperti berada di kampung halaman orang lain, meskipun tidak begitu merasa asing juga. Walau baru tiga tahun berlalu, tapi banyak jalanan yang telah mengalami perubahan besar. Hal tersebut membuatnya seakan sedang bermimpi, merasa tidak benar-benar berada di kampung halamannya sendiri.
Mingyu mengemudikan mobil dengan perlahan menuju ke suatu kompleks perumahan tempat ia pernah tinggal dahulu. Setelah memarkirkan mobilnya, selangkah demi selangkah pria itu menampakkan kaki menuju ke sebuah rumah yang sebenarnya tidak pernah dilupakan olehnya satu kali pun.
Dengan amat perlahan, Mingyu berjalan mendekati rumah yang dulunya pernah ia tempati. Pria ini menengadahkan kepalanya, melihat ke langit. Tidak ada bedanya dengan langit di Jepang, tapi langit disini membuatnya merasakan perasaan yang lebih tenang... Ia sudah pulang ke kampung halamannya sendiri.
Ya... Benar... Ia sudah kembali. Ia sudah kembali ke rumahnya sendiri.
"Da shu2!" Kau pasti da shu yang ada di dalam lukisan itu!" Mendadak seorang gadis kecil meneriaki Mingyu. Dengan penuh rasa penasaran, pria itu mencari sumber suara tersebut. Ia sungguh tidak mengerti mengapa gadis kecil itu menunjukkan ketertarikan yang begitu besar saat melihat dirinya.
Garis kecil tadi ternyata tinggal di rumah yang dahulu ditempati Mingyu. Ia berdiri di teras fan berceloteh tidak jelas pada Mingyu.
"Apa kau tinggdal disini?" tanya Mingyu penasaran. Namun, gadis kecil itu seolah tidak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkannya. Ia malah heboh sendiri sembari berteriak, "Kau jangan pergi! Diam disana saja, ya! Jangan pergi, Da shu!"
Setelah itu, gadis kecil itu pun langsung masuk ke kamar, meninggalkan Mingyu yang kebingungan. Pria itu melihat jam tangannya, lalu melihat rumah yang ditempatinya dulu dengan saksama. Setelah itu, ia memaksa diri untuk mengakhiri "wisata mengenang masa lalu"-nya itu.
Pria itu ingat bahwa masih ada hal yang harus diurus. Tujuannya pulang ke Taiwan kali ini adalah untuk mengegolkan satu proyek bisnis besar.
Tong Tong melangkah masuk ke kamar dengan gembira. Ia. Ingin segara keluar rumah untuk membantu kakak sepulunya. Rui En, menangkap paman yang ada di dalam lukisan yang sering dilihatnya.
Kai ini aku pasti tak salah lagi! Da shu tadi pasti suami Rui En Jie! Kali ini pasti tidak akan ada orang yang berani bilang kalau aku berbohong!
Sayangnya, dengan pandangan yang menusuk tajam pasa Tong Tong yang sedang membuka pintu untuk keluar dari rumah, sang ibu memanggilnya dengan tegas, "Tong Tong, kalu belin menyelesaikan tugas sekolahmu, malah sudah mau pergi bermain?"
"Ada suaminya Rui En Jie! Da Shu sudah muncul! Aku mau panggil Rui En Jie untuk menemuinya!" Tong Tong menjelaskan dengan penuh semangat. Gadis kecil itu takut kalau ia terlambar bergerak, makan paman tersebut sudah menghilang lagi, "Ma ma, jangan bertanya-tanya dulu! Nanti suami Rui En Jie keburu kabur lagi!
"Jangan berbohong lagi. Masuk ke kamarmu sekarang dan selesaikan tugas sekolahmu. Kalau sudah selesai semua, baru boleh keluar dari kamar!" Bi Yun menganggap Tong Tong hanya ingin mencari alasan untuk bisa bermain di luar rumah. Perempuan itu langsung menarik kerah baju Tong Tong dan menyeretnya masuk ke kamar.
Tong Tong meronta-ronta seperti seekor cacinf kepanasan, berusaha untuk melepaskan diri dari ibunya. Dalam hati Tong Tong merasa menyes dan berpikir, Maafkan aku Jie, Mama bagaikan monster yang besar. Dia bikin Da shu menghilang lagi...
Di meeting room hotel, semua perwakilan perusahaan sudah hadir. Terdengar suara-suara obroloab pelan. Beberapa penasaran mengapa laporan hasil kerja belum juga bisa dipresentasikan sampai sekarang. Semakin lama, mereka semakin gelisah dan gusar karena harus menunggu.
Xue Li yang mengenakan sepatu hal tinggi berjalan dengan penuh kegelisahan. Perempuan itu bertanya pada Wonwoo dengan nada mendesak, "Apakah boss belum juga bisa dihubungi sampai sekarang?"
Wonwoo menatap ponsel yang sedang dipegangnya, berharap dengan kekuatan tatapannya itu maka Mingyu akan langsung menelpon. Tanpa daya ia berlata, "Aku sama sekali tidak bisa menghubungi boss. Ponsel ya tidak aktif. Aku juga tidak tahu tadi dia menuju kesana..."
"Aduuuh, bagaimana ini... Rapat akan dimulai dalam waktu satu menit lagi!" Detak jantung Xue Li terasa mau berhenti. Rapat atar perusahaan kali ini tidak boleh gagal, karena ini adalah rapat penting yang diadakan oleh kantornya untuk memperkenalkan produk-produk terbaru tahun ini. Ini harus berhasil!
Sepertinya kekuatan tatapannya Wonwoo benar-benar mujarab. Ponsel Wonwoo tiba-tiba berbunyi. Lelaki itu langsung berkata, "Ya ampuun! Boss, anda ini ada dimana sekarang? Pertemuannta sudah mau mulai..."
Mingyu kemudian memberikan beberapa araban kepada bawahannya itu, membuat hati, Wonwoo semula gelisah tidak keruan itu pun menjadi tenang kembali.
Lelaki itu mengakhiri pembicaraannta dengan sang atasan. Seulas senyum terlihat di wajahnya. "Baik, saya sudah mengerti. Anada segera kesini ya!" Kemudian lelaki itu menepuk pundak Xue Li dengan wajah yang sangat tenang.
"Hei, Boss bilang apa?" Xue Li masih belum paham situasinya. Perempuan itu berjalan mengikuti Wonwoo.
"Kau lihat saja, rapat hari ini pasti sukses benar!" Wonwoo berkata dengan begitu yakinnya.
Lelaki itu segera membagikan sebuah smartphone yang sudah dipersiapkan sebelumnya, kepada selurub perwakilan perusahaan sponsor di ruangan itu. Semua orang menjadi penasaran. Mereka menatap smartphone masing-masing dengan wajah kebingungan, merasa aneh dengan tindakan yang dilakukan Wonwoo itu.
Tiba-tiba, terdengar suarah Mingyu dari setiap smartphone yang dibagikan oleh Wonwoo. "Mitakuye Oyasin!"
Mingyu baru saya turun dari mobil dengan smartphone di tangannya. Di layar smartphone yang di pegang Mingyu, terlihat garis-garis merah tang ternyata tersambung ke semua smartphone yang ada di meeting room tersebut. Sembari berjalan, pria itu mempresentasikan produk perusahaanga, "Mitakuye Oyasin dalam bahasa Indian memuluki makna bahwa kita semua terhubung satu sama laun. Oleh karena itu, silakAn anda semua tebak, seberapa jauhkah jarak antara saya dengan anda sekarang?"
Semua pereakilan perusahaan sponsor yang hadir melihat dengan begitu taljub pada layar smartphone yang mereka pegang. Garis pada layar smartphone tersebut.
Saat ini sedang berlangsung acara infotainment yang mengulas tentang selebritis di televisi. Sang pembawa acara terlihat sedang mewawancari aktris yang baru saja mendapat penghargaan sebagai pemeran wanita terbaik pada sebuah acara malam perhargaan di Tokyo. Aktris tersebut bernama Xu Xin Jie. Tong Tong melihat cara itu dengan amat serius. Di lubuk hatinya yang terdalam, gadis kecil itu ingin tumbuh menjadi wanita secantik dan sesukses Xu Xin Jie yang diidolakannya.
"Jangan nonton televisi terus, ayo cepat panggilkan Rui En Jie keluar makan malam" kata Bi Yun sambil melongokkan kepalanya dari dapur.
"Jangan sekarang, Rui Un Jie sesang sibuk." Padangan mata Tong Tong tetap fokus ke televisi. Bahkan, ia juga tidak menolehkan kepala ke arah ibunya saat menjawab.
"Dasar anak kecil. Kalau masih tidak mau memanggil Rui En Jie keluar untuk makan malam, kau juga tidak boleh makan!" ujar Bi Yun.
Merasa ibunya adalah si monster besar yang sudah akan meledak karena marah, Tong Tong pun berjalan ke arah dapur.
"Rui En Jie sedang melihat itu..." Tong Tong berbisik walaupun Rui En sedang di kamar juga tidak mungkin mendengar ucapannya.
"Melihat itu lagi?"Bi Yun merespons dengan suara tbc melengking tinggi, lupa untuk merendahlan volume suaranya. Hal itu membuat Tong Tong langsung menutupi kedua telinganya, tidak ingin terkena dampak polusi suara dari ibunya.
"Dasar, anak ini!" Bi Yun melihat sikap putrinya, lalu menepuk kepala buah hatinya itu sambil tertawas.
Rui En... kapan kay bisa bangkut dan melupakan pria itu? Bi Yun memikirkan Rui En yang malang itu sambil mencuci piring.
Rui En tang sama sekali tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di luar kamarnya, terlihat tertawa sendiri. Ia menenggelamkan diri dalam kenangan indag tiga tahun yang lalu. Dia layar komputer, terlihat waha tampan Mingyu, sedang menjawab setiap pertanyaan dari Rui En yang sedang merekannta dengan camcorder.
Mingyu menatap layar camcorder, berkata dengan suara pelan kepada wanita itu, "Kau adalah hadiah terindah yang diberikan Tuhan kepadaku. Tuhan mengahadiakan kau padaku, atas semua kesabaranku. Ya, pasti begitu..."
Rui En menontonya dengan begitu serius. Tiba-tiba merasa pandangan matanya sedikit kabur. Sembari berusaha manahan setiap tetes air mata yang hendak keluar, mulutnya secaea spontan mengikuti tiap ucapan Mingyu, "Seperti hadiah natal. Karena aku sangat tegar, jadi Tuhan akhirnya menghadiakan dirimy yang begitu indah... menghadikanmu padaku..."
"Mingyu, kau sekarang ada dimana? Aku sudah lama mencarimu.... aku selalu setia dan juga tidak gampang menangis lagi. Cepatlah pulang..." Rui En berbicara sambil menangis pada Mingyu yang berada di layar komputer. Waja wanita itu hampir menempel pada layar layar. Ia menutup kedua matanya, dan akhirnya tertidur saking letihnya.
Di sisi lain kota, Mingyu memandangi lukisanyang sedang diangkat oleh Wonwoo. Sekarang ia hanya tinggal seorang diri sehingga runahnya tidak memerlukan banyaj dekorasi. Ia menyentuh lukisan seharga 100.000 dolar yang dulu dibelinya dari Rui En itu. Ia raba setiap detail lukisan, seakan-akan itu bisa membuatnya seperti memegang tangan Rui En yang lembut dan penuh kehangatan.
Ponselnya berderinf. Mingyu tidak langsung mengangkatnya. Ia masuh menatap lukisan itu dalam-dalam untuk beberapa saat, baru ia menjawab panggilan telepon tersebut,
"Xin Jie?"
"Sebenarnya kau sedang apa disana? Aku sudah sepuluh kali menelponmu, kenapa tak angkat?" Yang berbicara dengan nada manja pada Mingyu.
"Hari ini aku harus melakuka presentasi pada perusahaan sponsor, tidak sempat menjawab teleponmu. Apa akhir minggu ini kau sudah kembali ke Taiwan?" tanya Mingyu sembari meleps dasi yang sudah dipakainya seharian tadi. Kemudian, pria itu merebahkan tubuhnya dengan santai di atas ranjang.
"Kau harus jemput aku di bandara ya. Jangan lupa!" Nada suara gadis itu antara merajuk dan juga mengancam. Xim Jie ingin Mingyu berjanji padanya.
"Apa kau harus pergi ke sana? Dimana pun kau berada, pasti akan banyak sekali wartawan. Aku sangat tidak suka tempat yang penuh dengan wartawan..." Pria itu tidak menolaj dengan terang-terangan, tapi sebetulnga juga tidak begitu ingin pergi menjemput aktris itu.
"Mingyu, bukannya kau sudah berjanji padaku?" Suara dia seberang telepon yang tadinya terdengar manis, seketika berubah seperti suara monster kecil yang saking geramnya sampai-sampai berharap tangannya bisa keluar dari dalam ponsel dan mencekik erat-erat leher Mingyu.
"Iya,iya, iya... baik, baik, baik... pasti aku jemput!" Mingyu tertawa, berusaha sabar dengan emosi sang putri Xin Jie.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Endless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang