two ; rumah baru

644 73 10
                                    

Liam mendengkur keras. Dia sudah duduk di kursi penumpang selama hampir dua jam, bokongnya panas karena duduk kelewat lama, rambut acak-acakan, wajahnya seakan kehilangan warna. Di sebelahnya, Arabella tengah membaca buku, Niall ketiduran juga.

Lagu yang dimainkan di stereo mobil berganti dengan Best Day of My Life, dan tepat dua detik setelah itu, mobil melewati sebuah tanjakan tajam.

Liam terbangun dan kontan membentur kaca jendela. Hal pertama yang dia sadari adalah mobilnya berhenti di depan sebuah rumah mewah di perumahan mewah. Dilihatnya Ara dan Niall terlebih dahulu keluar dan mengeluarkan koper dari bagasi.

Liam melompat keluar, kepalanya membentur atap mobil. Dia bernasib sial hari ini.

Tapi kekesalannya sirna, secepat kilat, manik coklat Liam menangkap figur seorang cowok, berambut hitam legam, sedang menatap keluarga Payne yang sibuk mengepak koper dan barang-barang lainnya dari kejauhan. Kedua alis tebal itu saling bertautan, seakan bingung (atau emang bingung?), dan melebar saat Liam membalas tatapannya.

"Dek?"

Suara serak-serak basah khas Ara menegurnya. Liam berpaling, tersenyum konyol. Ara menghela napas panjang. "Kamu kenapa, Dek? Ayo masuk, koper kamu udah dibawa sama Papa."

Tangan Ara merangkul bahu Liam dan menarik adik pertamanya itu masuk ke dalam rumah baru mereka. Liam kaget, syok, kaget, pangling, terkejut, semuanya campur aduk. Rumah ini besar, sepuluh kali lebih besar dari rumah lama Liam, sofa ruang tamu ditata melingkar dan diletakkan di tengah ruangan. Belasan patung naga emas berjajar rapi di sebelah tangga menuju lantai dua.

Tidak ada hal yang paling menyita perhatian Liam selain jendela super besar yang dilindungi oleh gorden keemasan. Ragu, disibaknya gorden. Kolam renang. Liam disuguhkan pemandangan kolam renang. Kolam renang yang kelewat luas dan airnya biru jernih.

Fancy, pikir Liam. Pasti pemilik asli rumah ini sangat kaya. Dia tersenyum dan menutup gorden. Di sebelah kirinya, terdapat meja panjang yang terbentang sekitar empat meter, mengikuti lebar ruangan. Di atas meja terdapat dua lusin lilin dan anehnya, menyala.

"Kok nyala?" tanya Liam.

"Kan barusan Kakak yang nyalain. Kamu sih, ngelamun mulu, ngelihatin kolam," Ara menjitak kepala Liam sambil mengacungkan pemantik api. "Itu koper kamu, bawa ke kamar. Lantai dua."

Liam bergumam sesuatu seperti 'oke' dan membawa keempat kopernya masuk ke lantai dua. Pintu kamar sudah berada di depan mata, kayu kualitas terbaik, kenop besi dicat emas, dan hiasan kepala naga emas. Pintu didorong membuka, menampilkan berbagai furnitur aneh dan kuno secara bersamaan. Liam tersenyum miris.

Diletakkannya koper di sebelah lemari kayu, dan mengedarkan pandang ke seisi kamar--lemari kayu, kasur ukuran king, lampu tidur, lampu gantung berbentuk diamond, meja belajar, rak buku, nakas kecil, dan kipas angin. Jangan lupakan soal tempat sampah di sebelah kasur.

Liam mengendikkan bahu, melupakan fakta bahwa si pemilik asli adalah orang tidak sayang barang, dan kembali mencurahkan segenap perhatian pada jendela. Dari lantai dua, pemandangan perumahan elite yang ditempati keluarga Payne begitu menyeluruh. Liam bisa melihat sisi-sisi terluar perumahan. Gedung-gedung pencakar langit, atap rumah, dan matahari kemerahan yang mengintip malu-malu di balik awan.

Kini dia duduk di lantai, memandang kolong kasur yang berdebu dan gelap. Liam ingat, dulu dia sering tidur di kolong kasur bersama Harry saat masih kecil. Itu adalah waktu-waktu sebelum keberangkatan Harry ke Kanada, sebelum Liam sadar bahwa dia cinta sahabatnya itu lebih dari sekedar sahabat, atau sebelum Liam tahu soal kecelakaan yang menimpa Harry beberapa bulan setelah tinggal di Kanada.

Liam tidak mengerti kenapa orang tuanya memutuskan pindah ke sini. Dan Liam sangat tidak paham kenapa dia mengiyakan keputusan bego orang tuanya. Di sisi lain, Ara tidak tampak setuju dan tidak tampak tidak setuju; netral. Dan Niall, adiknya yang polos dan tolol serta skeptis itu, setuju-setuju aja asalkan lokasi rumah baru mereka dekat dengan McDonalds.

Ada satu hal lagi yang mengganggu pikiran Liam; skripsi. Skripsinya belum selesai. Ara tidak akan mau membantunya, kecuali kalau ada sogokan semacam 'nanti aku bersihin kamar Kakak deh' atau 'iya, aku janji gak akan pinjem baju Kak Ara lagi'.

Liam beranjak bangun, berjalan ke seberang ruangan untuk melihat beberapa furnitur aneh lain. Lengannya tidak sengaja menyenggok setumpuk buku tebal setinggi hampir tujuh kaki, debu beterbangan, masuk ke hidungnya.

"Wuidih, pintu apaan nih," gumam Liam, menatap pintu berkayu yang ternyata bersembunyi di balik bukit buku. Dibukanya pelan-pelan, kesunyian dan debu lagi-lagi menyambut Liam.

Ruangan itu dipadati oleh buku dan gulungan kertas tak berguna. Liam bisa saja bergeser satu meter dan menjatuhkan barang. Penyangga lukisan dengan kanvas masih menempel, televisi, mesin ketik kuno, dan wadah kaca. Ada sedikit noda cat air di lantai. Tidak diragukan lagi, ini pasti studio seni.

Liam menyingkirkan buku-buku tak berguna dan meletakkan semua itu di rak kosong. Sekarang studio kelihatan sedikit rapi, sementara gulungan kertas di sudut ruangan masih menumpuk. Liam memunguti semua kertas yang berserakan dan membuangnya ke tempat sampah. Merapikan wadah kaca yang miring, membersihkan layar televisi, dan selesai.

"Gak nyangka, mungkin gue berbakat jadi pembantu rumah tangga." Liam mengamati hasil kerjanya.

Dia berbalik, hendak melangkah keluar studio, tapi sosok pirang itu mengagetkan Liam sampai hampir jatuh. Niall nyengir lebar dengan wajah tanpa dosa. "Wah, Kak, kamar apaan nih?" Niall memiringkan kepala untuk melihat studio seni.

"Eh, enak aja. Ini barusan Kakak yang ngerapiin. Udah, Kakak laper. Si Mak Lampir masak apaan?" sekedar ngasih tahu, Mak Lampir adalah julukan yang diberikan Liam dan Niall kepada Ara.

"Ga tau. Baunya kayak ayam gitu. Ayo Kak, kita makan. Niall juga laper berat neh."

Dan seharusnya Ara tahu, Liam alergi terhadap ayam.

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang