Prolog

64.4K 4.2K 93
                                    

Semua bermula dari sini.

Hembusan napas Raina berbenturan dengan angin laut yang berbondong-bondong menerpa daratan. Menerbangkan pashmina hitam yang melingkar, bak kepak sayap gagak pembawa berita duka. Raina memejamkan mata. Merasai angin, mengharapkan angin membawa serta pergi lukanya. Bukan, Raina tak sedang berbela sungkawa. Bapaknya bugar, mondar-mandir di kantor desa memenuhi pengabdiannya. Ibunya sehat, tengah berkerumun dengan ibu-ibu desa menyiapkan sebuah perhelatan besar. Adiknya yang centil juga baik-baik saja, barangkali tengah melotot tajam sembari  bertolak pinggang pada kekasihnya yang susah diatur.

Hitam hati Raina bukan karena mereka. Melainkan karena hatinya yang siap remuk menjadi remahan kecil. Digilas oleh senyum semringah seorang pria yang ia cintai mati-matian. Bagaimana tidak? Ia sedang bermuram durja di hamparan pasir yang panas oleh sengat matahari. Sedang pria itu tengah betekur di ranjangnya yang hangat, menghapal nama sang idaman juga besaran mas kawin yang akan ia deklarasikan esok.

Gadis itu kembali membuang sesak bersamaan dengan sisa-sisa napasnya. Telinganya tergelitik, bukan oleh debur ombak, melainkam langkah-langkah samar yang menerbangkan butiran lembut pasir, untuk kemudian dijatuhkan ulang. Diinjak, lalu ditinggalkan. Raina tersenyum kecil. Kira-kira seperti itulah kisah cintanya. Bersama seorang pria yang entah bagaimana masih bisa menyelinap keluar dari istana emas. Menyusulnya ke mari, entah dengan maksud apa. Barangkali untuk menertawai keterpurukannya. Setan dalam hati Raina mendengus.

"Besok datang, ya?" suaranya perlahan mendayu. Pelan, bersaing dengan suara angin. Dengan berani pria itu mengambil duduk, empat jengkal di sampingnya.  

Memilih bungkam saja. Mengetatkan bibir, agar tak terbuka lalu menggetarkan tangis. Hatinya sakit. Ia mencintai pria ini bertahun-tahun, dan pria ini berani memintanya datang menyaksikan pelaminannya yang berharum cinta. Dia sedang apa? Membunuhnya perlahan?

"Na … ?"

"Aku menyayangimu. Sungguh. Hanya saja aku tak bisa memilihmu, Na. Aku … "

Suara pria itu berhenti karena lemparan butir-butir pasir yang mengenai wajahnya. Raina menelungkupkan kepalanya, menangis. Telinganya seperti berdarah-darah karena mendengar perkataan pria itu. Jika tidak bisa memilihnya, pergilah !!

"Na … "

Geram, Raina melempar kaleng susu yang tergeletak di depannya. Pria itu mengaduh pelan, mengusap dahinya yang lecet juga berdarah. Itu tak sebanding. Raina mengusap air matanya kasar. Tak akan ia biarkan, tangisnya tumpah ruah lagi. Tak merasa bersalah, Ia berlari. Menjauh. Tak ingin lagi membaui aroma menenangkan dari pria  itu.

Napasnya memburu begitu ia tiba di samping motor bapaknya. Semakin sesak yang ia rasakan. Semakin melemah degup jantungnya.
Isaknya yang kecil-kecil sesekali masih menyelinap.

"Dia menyakitimu?"

Getaran lain menyapa. Raina membuka matanya perlahan. Mendongak lalu bagai terhipnotis Raina mengangguk. Ia mendapatkan tatapan mata yang teduh dari pria yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Dia brengsek?" bodohnya Raina kembali mengangguk, "harusnya kamu dorong dia ke laut tadi. Kaleng susu mana sakit." seloroh pria itu membuat tangis Raina berhenti. Keningnya berkerut heran.

Pria itu ikut tersenyum kecil, ia merogoh saku celananya. Mengeluarkan kotak kecil, "kamu mau ini?" tanyanya.

Dahi Raina semakin mengerut, ia menggeleng meski tak tahu isi dari kotak berwarna maroon itu.

"Ini cincin. Emas. 3,5 gram. 24 karat. Niatnya aku mau ngelamar wanita yang kusuka. Tapi dia nolak. Ini ambilah. Aku malas melihatnya, cincin ini seperti badut yang menertawai kegagalanku saja." jelas pria itu tanpa ekspresi. Tidak ada sakit. Tidak ada kecewa. Seolah ia sudah berpengalaman ditolak.

"Ini ambilah. Kamu ini gagu atau bisu? Dari tadi diajak ngomong diam terus." omelan pria aneh itu tak membuatnya sakit hati. Pria bermata teduh itu menggapai tangan Raina dengan paksa, membukanya lebar lalu menjejalkan kotak beludru itu ditangannya, "terserah mau dibuang atau dijual. Jangan nangis lagi. Oke?"

Pria itu pergi tanpa menunggu anggukan terakhir dari kepala Raina. Bibir Raina mencebik, menyamarkan secercah senyum yang tergaris tanpa terkomando. Begitu saja, tanpa Raina tahu sebab musababnya. Dengan penasaran, Raina membuka kotak beludru itu. Matanya langsung berbinar-binar melihat cincin yang cantik di dalamnya, membentuk seperti mata manusia dalam ukuran kecil. Ditengah-tengah terdapat sebuah mata berlian—yang meski palsu—yang mengilap tersorot sinar matahari. Cantik. Raina langsung suka.  Salah. Jatuh cinta. Pikir Raina geli. Silahkan jika ia disebut gadis matre.

Ia semangat menyematkan cincin itu ke jari manisnya. Pas. Raina tersenyum makin lebar. Ia menggerak-gerakkan tangannya di udara. Menimbang-nimbang seberapa menarik cincin itu berpadu dengan jemarinya yang panjang dan kecil. Aneh sekali pria tadi.

Terimakasih untuk wanita manapun yang baru saja menolak pria itu. Karena dengan begitu ia mendapatkan cincin indah ini. Cincin mata teduh yang membawa senyum pertamanya setelah berhari-hari tenggelam dalam tangis. Cincin mata teduh yang seolah membangkitkan gelora hidupnya. Ya. Semua sudah selesai. Ia akan kembali hidup. Hidup dengan caranya sendiri. Hidup tanpa pria beraroma malaikat subuh.

<><><><>

Maafkeun. Lagi-lagi ini hanya tulisan sederhana. Please, enjoy it.

25102016

KulavargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang