Dimas
-
“Assalamualaikum,” sudah berkali-kali kami mengucapkan salam, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Menurut keterangan Yusa, ini adalah rumah ayahnya. Aku memang sudah mengenal ayah Yusa. Tapi aku tidak pernah ke rumah ini, aku hanya bertemu di luar dengan ayah Yusa.
“Yusa?” Yusa langsung melihat ke rumah sebelah saat namanya disebut. Yusa melambai sedikit heboh sebelum menghampiri rumah sebelah dan terlihat berbincang dengan orang yang baru saja memanggilnya. Rumah yang berjejer di sini memang tidak ada pagar pembatas sama sekali.
“Hai Mbak,” sapa Yusa pada seseorang yang baru saja memanggilnya.
“Lama gak kelihatan tambah gedhe aja ya?”
“Namanya juga dikasi makan, Mbak,” dasar Yusa. Bisa saja dia menjawab seperti itu dengan orang yang jelas-jelas lebih tua dari dia. Tapi sepertinya orang itu tidak terganggu sama sekali, malah tertawa sangat keras. Mungkin mereka memang akrab.
Kemudian ada anak kecil yang keluar dari dalam rumah sebelah, dan Yusa juga langsung menyapanya. “Hai, Dan,” sapa Yusa sambil menjawil pipi anak tadi.
“Ayah gak ada, Mbak?” tanya Yusa akhirnya.
“Biasanya jam segini gak ada di rumah, coba tanya Budhe atau Pakdhe mu aja.”
“Yowes, Mbak makasih,”
Yusa sepertinya sudah selesai bicara dengan tetangga ayahnya itu. Aku kira kami akan menunggu sampai ayahnya tiba, tapi Yusa berjalan ke arah gang kecil antara rumah ayah Yusa dengan rumah tetangganya. Yusa memberikan isyarat agar aku mengikutinya. Belum hilang dari pandangan, tetangga Yusa tadi memandangku dengan tatapan Eh.. jahil mungkin..“Bawa siapa, Sa? Pacar ya?” tanya tetangga tadi. Uh oh, jadi itu arti tatapannya tadi.
“Kepo aja sih, Mbak.”
Aku lihat tetangga ayah Yusa tadi berlalu masuk ke dalam rumahnya dengan tertawa.
“Gak sopan banget sih,” tegurku. “Aku yakin tetangga ayah kamu tadi lebih tua dari kamu.”
“Udah biasa kayak gitu dari dulu, Dim.” Jelas Yusa.
Aku hanya bisa menghela napas dan terus mengikuti Yusa dari belakang. Lagipula, aku sama sekali tidak tahu daerah ini. Tempatnya juga jauh dari jalan raya, bisa gawat kalau aku tersesat.
Aku lihat Yusa melangkah ke arah sebuah toko kecil, aku kira Yusa akan membeli sesuatu. Tapi ternyata aku salah, Yusa malah teriak di depan toko. “Pakdhe? Budhe?”
Terlihat seseorang kira-kira umurnya 26 tahunan keluar dari dalam toko. Matanya menyipit melihat ke arah kami, lalu langsung menghambur memeluk Yusa. Aku hanya melihat saja sampai laki-laki tadi melepaskan pelukannya dan mengacak-acak puncak kepala Yusa. “Kapan pulang?”
Interaksi yang aneh menurutku. Biasanya Yusa sangat risih terlalu dekat seperti itu dengan seorang laki-laki. Apalagi sampai memeluknya, tapi kali ini Yusa biasa saja. Membuatku iri saja, denganku saja biasanya Yusa tidak seperti itu.
“Barusan.”
“Langsung ke sini?” tanya laki-laki itu lagi. Sepertinya aku dilupakan di sini. Hhh..
“Iya, nyariin ayah. Eh iyaa...” Yusa langsung menoleh padaku dengan tatapan minta maafnya. Mungkin karena sudah melupakanku tadi. Aku hanya membalas dengan senyuman menandakan bahwa aku tidak masalah dengan kejadian tadi.
“Kenalin ini Dimas,” ujar Yusa mengenalkanku pada laki-laki di depannya. “Dimas, kenalin ini Mas Al, sepupuku.” Aku menjabat laki-laki yang dikenalkan Yusa sebagai sepupunya itu. Mata laki-laki bernama Al itu melihatku sebentar sebelum beralih kepada Yusa, lalu kembali menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory [5/5 END]
Short StoryJangan pernah membandingkan kamu dengan orang lain di masa lalu. Jangan pernah memintaku memilih antara kamu atau masa lalu. Karena jawabanku tidak akan pernah berubah. My choice is you. -Yusa