Bab 1 Mereka yang Berani Bermimpi

41 3 5
                                    


Pikiran Rara tertuju terus kepada Davie. Sudah sekitar 10 menit SMS-nya belum juga dijawab. Ia sudah berusaha menghubungi via whatsapp, Line dan BBM tapi semua aplikasi chat itu juga tak terlihat dibaca oleh Davie. Rara akhirnya memutuskan mengirim SMS, namun kekecewaan juga yang didapatnya.

"Daviii di mana sih kamu?!" seru Rara gemas. Ia tak sabar menanti jawaban dari kekasihnya itu.

Tokk tokkk ... tokk....

Pintu kamar Rara diketuk dengan keras. Kontan remaja berusia 19 tahun itu kaget. Ia buru-buru membuka pintunya.

Di depan pintu berdiri paman Rara, Abimanyu, akrab disapa Paman Abi.

"Ra, kamu disuruh keluar makan dulu kata Ibu, tuh udah disiapin ... apa mau ikut Paman ke KFC?"

"Aduh, lagi males makan nasi Paman ... tapi boleh deh, kalo mau ditraktir kentang goreng sama ayam original KFC hehe," Rara antusias mengikuti ajakan sang paman.

"Ya udah, kalo gitu bilang dulu ke Ibu, kamu mau ikut paman gitu ... ok, siap-siap dulu deh. Paman tunggu di bawah ya," Abimanyu beranjak ke tangga. Ia sudah ada janji dengan rekan bisnisnya untuk bertemu di restoran cepat saji itu sekitar 30 menit lagi. Untungnya lokasi KFC dekat dengan kediaman Rahajeng, kakaknya.

Di ruang makan, ibu Rara sedang menunggu anaknya itu bergabung untuk makan siang. Makanan sudah tersaji lengkap. Nasi putih beserta sop, tempe dan tahu goreng, daging empal dan kerupuk. Ada pula buah-buahan seperti pisang, mangga dan apel siap dinikmati. Suaminya, ayah Rara juga dalam perjalanan pulang dari kantor, mampir untuk makan siang.

"Ra ... Ra ... eh, Abi mana ponakanmu itu, kok belum muncul? Apa dia tidak lapar?" tanya ibu

"Sebentar lagi Rara turun Mba, dia katanya lagi males makan nasi malah ingin ikut aku ke KFC."

"Lho, bukannya kamu ada urusan bisnis, nanti malah ganggu lagi ... gak usahlah, kamu beliin aja take away untuk Rara, dia di rumah saja."

Rara yang sedang beranjak turun di tangga mendengar penolakan ibunya.

"Ya Ibu aku mau ikut Paman sebentar saja, lagian aku bisa makan di kursi yang lain, ya ya ... boleh ya?" Rara merajuk. Dia lagi ingin keluar rumah karena gelisah menunggu kabar dari Davie.

Akhirnya karena tak sabar mendengar rajukan gadis bungsunya itu, ibu pun menuruti keinginan Rara.

"Baiklah, tapi ingat jangan ganggu pamanmu ... dia harus konsentrasi untuk urusan bisnisnya itu, ya."

"Thanks Ibu," Rara tersenyum ceria. Ia lalu mencium tangan ibu dan beranjak ke luar rumah. Di depan, paman Abi sedang memakai sepatunya dan terlihat geli karena keponakannya itu berhasil merayu kakaknya.

Sementara itu sang kekasih sedang bersiap di paddock. Sesi latihan segera dimulai dan pemuda berusia 22 tahun itu sangat antusias untuk segera memulainya. Davie sedang memulai karir terbaik yang menjadi impiannya. Ya, sebagai seorang pembalap siapa yang tak mau berkompetisi di ajang terbaik Grand Prix F1 ini. Namun sayangnya, kepiawaian Davie membalap tidak diakui semua pihak. Di ajang balapan bergengsi itu ia menjadi pembalap tak diunggulkan. Bahkan rekan satu timnya mencemooh Davie di belakang punggungnya. Tim di mana Davie bergabung memang bukan tim papan atas di F1. Tapi tim tersebut punya sejarah tersendiri yang menjadi kebanggaan F1 dan legenda di tim-tim papan tengah F1.

"Davie ... come here!" Mr Bryan memanggil Davie dengan tatapan mata menghujam. Ia adalah race director atau orang pertama yang mengurusi semua hal mengenai balapan F1 di tim mereka. Tuan Bryan Rob adalah warga Inggris berusia 48 tahun. Ia tampan, pandai dan yang terpenting cerdik. Penampilan fisiknya pun tak kalah mengagumkan, sesuai dengan deretan pembalap yang pernah ia pekerjakan. Tim F1 bernama Spirit Fine Racing ini memang terbiasa memiliki direktur balapan dari negeri Ratu Elizabeth.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gentlemen, Start Your Engine!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang