Caramel Macchiato, salah satu jenis kopi manis menjadi santapan utama Freya untuk pagi ini memang sudah menjadi rutinitas setiap hari kerjanya. Andre—sahabatnya sejak SMA—masih terdiam duduk menghadap tepat di batang hidung Freya. Pukul 07.20 WIB dan Andre masih menyunggingkan bibirnya tipis untuk sedikit menghibur Freya.
“Sudahlah, bagiku tagline-mu itu cukup menarik. ‘Bersinar Menjadi Teman Menuju Ekspresi Hidupmu, Converse’.”
Kedua sikutnya menumpu pada meja kayu berasal dari pohon jati dengan kedua tangannya yang bergerak melawan arah seakan sebuah tagline tersebut berada di depan matanya. Kemudian ia menyenderkan punggungnya kembali ke bangku berpondasi besi dengan sentuhan beberapa balok kayu tipis sebagai alas duduk dan tempat bersandarnya.
Andre melakukan jeda beberapa detik, “aku yakin di tahun ini kau sudah bisa menjadi copywriter tetap di sana.”
Andre mengulurkan tangannya dan beberapa kali mengelus pundak Freya. Kemudian matanya menerawang pada bangunan kedai kopi langganannya ini.
Kedai Kopi Galeria ini bertema kuno dengan warna vintage mengilustrasikan sebuah kenyamanan dan kehangatan rumah sederhana di jaman abad 20. Freya dan Andre memang sudah berlangganan di kedai selama dua tahun terakhir ini dan telah menjadi kebiasaan mereka menggunakan tempat yang berada di teras kedai tersebut. Meskipun kesegaran udara pagi Jakarta sudah terkontaminasi dengan berbagai polusi beserta suasana padat oleh para ekonomi produktif dari berbagai penjuru daerah memang akan terlihat menyesakkan bagi orang lain, namun tidak untuk mereka berdua yang justru menikmati keadaan seperti itu.
Ironis, tetapi mengunjungi kedai kopi setiap pagi selain sudah menjadi rutinitas merupakan waktu untuk dunia imajinasi sebagai penghilang ingatan sementara pada dunia sebenarnya yang sudah menanti mereka setengah jam dari sekarang. Untuk pagi ini Freya mengambil posisi tepat menghadap jalan raya Kemang, Jakarta sebagai refleksi melihat dunia di sekitarnya jauh lebih keras dari dirinya dan memang sudah seharusnya Freya tidak perlu merasa sendiri menghadapi rintangan yang akan selalu datang dan ada mengikuti kehidupannya.
Freya menyesapkan kopi favoritnya sedikit tergesa-gesa. Tidak seperti biasanya, ia akan menikmati setiap gulir kopi yang masuk ke dalam mulut dan kerongkongannya.
“Kamu sudah tahu, aku bukan tipikal yang mudah menyerah. Namun kali ini, terlalu berat menerima klien dari perusahaan besar. Belum banyak pengalaman pula.”
“Seingatku, wanita yang di hadapanku ini selalu dapat menghalau rintangannya sejak SMA. Kau berhasil meluncurkan majalah perdana di SMA kita yang sejak dulu menjadi target utama ekstrakurikulermu. Itu semua berkat caramu melakukan persuasi dengan berbagai sponsor dan terutama bisnis percetakan di Bogor. Pertama kalinya aku melihatmu menjadi seseorang yang profesional dan aku tak pernah menyesal menemanimu hari itu.” Andre terkekeh ringan.
Freya meletakkan cangkir kopinya dan tak disangka ia tersenyum jahil.
“Kalau aku bangkit, berikan aku hadiah untuk kesempatan ini saja. Setuju?”
Andre berpikir sebentar dan menghela napasnya kencang.
“Deal. Oh ya, aku akan memberikanmu sedikit petunjuk untuk hadiahnya. Penasaran?” Kali ini Andre yang tersenyum jahil.
“Tentu saja, pintar. Cepat tunjukkan padaku!”
Andre menoleh ke kanan, ke kiri, dan mencondongkan badannya untuk mendekat kepada Freya dengan kedua sikutnya yang menumpu pada meja. Freya refleks ikut mencondongkan badannya hingga jarak mereka semakin menipis.
“Aku akan mengajakmu untuk menikah.”
Sontak Freya duduk dan tanpa sengaja menumpahkan kopi ke kemeja berwarna krem pastel dan berbahan satin miliknya. Padahal kemeja tersebut sudah dipersiapkan untuk presentasi tagline-nya hari ini.