three ; curhat

494 72 10
                                    

Salah satu diplomasi tingkat tinggi di keluarga Payne adalah urusan transportasi. Jika digambarkan melalui diagram garis, Ara berada di titik tertinggi, itu artinya dia bisa memakai mobil tanpa harus izin. Liam, berada di tengah-tengah, artinya dia harus minta izin baik dengan Ara atau dengan orang tuanya sebelum memakai mobil. Niall? Tidak usah dibahas.

Dan peraturan tolol itu masih berlaku hingga 2016. Tadi pagi, Liam kalah perang argumen memperebutkan mobil--Ara beralasan mau pergi ke rumah teman--dan tentu saja, seperti biasa, Arabella Samantha Payne tidak pernah kalah.

Menggerutu, mengumpati kekalahan dan kecerdikan (itu lebih baik daripada 'kepintaran'. Pada dasarnya, Ara memang pintar) Ara secara bersamaan. Liam pergi ke depan perumahan, duduk di halte, menatap kendaraan yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi.

Kemarin malam, Liam menelpon salah satu sohibnya untuk ketemuan di Starbucks. Sohib Liam yang memiliki adiksi akut terhadap kopi dan cewek seksi itu langsung bersemangat dan menjawab, "oke, besok jam delapan, gue ke Starbucks. Tapi entar anterin gue ke Pizza Hut, ya? DADAAAAH!"

Persetan dengan bus, Liam akan jalan kaki.

"Awas lo, Kak Ara. Lo udah bikin gue kayak gelandangan begini. Enak banget jadi anak tertua, bisa naik mobil tanpa izin dulu, bisa ngatur, bisa begini, bisa begitu sepuasnya. Telat deh gue, duh, pasti nanti Louis ngomel terus ujung-ujungnya mina gue yang bayarin. Hari paling sial sepanjang sejarah. Kenapa sih gue bisa sesial ini? Kenapa Kak Ara harus PMS?"

Liam menghela napas dan spontan kakinya menendang-nendang kaleng bekas minuman. Entah apa yang rusak dengan otaknya sehingga Liam menendang kaleng itu kuat-kuat dan mengenai kepala cewek yang berdiri di trotoar jalan.

"Waduh, Mbak, sori Mbak. Saya nggak sengaja. Sumpah deh," kata Liam. Kesialan apa lagi ini?

Cewek itu hanya diam sambil menatap Liam tajam-tajam. Mirip Ara. Alis tebal, sorot mata teduh dan tajam, bulu mata lentik, tapi dia memakai kacamata. Setelah beberapa detik diam, cewek itu buka mulut, "apa kamu nggak punya mata?"

"Ya punya lah, Mbak."

"Kalo gitu, kamu bisa lihat saya berdiri di sini dari tadi, kan?"

"Y-ya bisa, Mbak, tapi--"

"Tapi apa?" nada bicara cewek itu semakin terdengar memaksa. Liam kewalahan. Cewek di depannya ini benar-benar mirip Ara.

"S-saya cuma kesel aja. Tadi saya nunggu di halte itu. Tapi nggak ada bus yang mau berhenti."

"Kayaknya kamu benar-benar bego. Itu namanya POS RONDA, bukan HALTE. Kamu paham sejauh ini? Butuh les tambahan dari saya?"

Liam ingin menampar diri sendiri tepat di muka. Bagaimana bisa dia salah mengira? Dia malu. Mau kabur? Nggak bisa. Cewek itu kelewat pinter. Gaya bicaranya sarkastik dan nyelekit banget. Liam semakin gelagapan.

"Mbak, tolong jangan tampar saya, Mbak. Saya udah sering kena gampar kakak saya di rumah. Plis Mbak, kasihani saya. Saya--"

"Saya nggak buka sesi curhatan, jadi kamu diem," potongnya. "Kamu tetep harus tanggung jawab."

"S-saya mau diapain, Mbak? Duh, Mbak, jangan gampar saya."

Alih-alih menjawab, cewek itu malah menatap tubuh Liam dari atas sampai bawah secara berurutan. Kemudian dia tersenyum tipis. "Kamu kelihatan baik. Rapi," cewek itu tersenyum semakin lebar ketika Liam mengangguk setuju. "Dan kelihatan... modis. Saya suka gaya kamu."

"J-jadi? Saya harus apa?" tanya Liam penasaran.

"Nanti sore, datang ke rumah saya. Kumala Regency, blok 2, nomor 12. Kamu tau Kumala Regency, kan?"

"Rumah saya di perumahan itu, Mbak, saya baru pindah," Liam nyengir.

"Ya udah, nanti siang, ketemuan di rumah saya. Ah, ya, siapa nama kamu?"

"Liam. Er--Mbak sendiri?"

"Saya Zahra. Zahra Malik."

"Oke, Mbak. Nanti siang jam 2 ya. Dadah!" Liam tidak mau menyia-nyakan waktu lagi; dia langsung kabur. Lari ke Starbucks yang jaraknya hanya lima ratus meter dari Kumala Regency.

Liam membuka pintu masuk Starbucks dengan napas terengah-engah. Di bangku pojok kiri sebelah utara, seorang cowok berdiri dan melambaikan tangan ke arah Liam. Dia segera berjalan agak cepat dan duduk di depan Louis Tomlinson.

"Sori gue telat, tadi ada.... kecelakaan," terpaksa Liam bohong. Tidak mungkin, kan, dia membocorkan kekalahannya beradu argumen bersama seorang cewek yang mirip Ara?

"Oh ya udah. Betewe, lo mau bilang apa? Jangan bilang lo mau nagih utang gue. Gue lagi gak ada duit," kata Louis acuh tak acuh.

"Bukan itu, Su, gue mau ngomong tentang Zoe," Liam bernafas panjang sebelum lanjut. "Gue kayaknya mau menangin hatinya lagi. Gue capek jomblo terus."

"Kebutuhan lo itu ada lima, Li: sandang, pangan, papan, colokan, dan gebetan. Gue aja gak pernah lihat lo gak gandeng cewek selama dua minggu. Susah ngejelasinnya kayak gimana," Louis bingung sendiri.

"Ya, lo jelasin, gimana?"

"Gini loh Li, hampir semua cewek dan cowok di kampus udah pernah lo pacarin. Lo cari pengalaman baru. Cari cowok atau cewek yang antimainstream. Kayak... yang introvert atau pendiem level hardcore, itu bakal jadi tantangan tersendiri nantinya buat lo," usul Louis. Liam terkesima karena gak biasanya Louis bijak begini.

"Pendiem yah... Siapa dong?"

"Ya mana gue tau, Nyet," Louis menyeruput sedikit minumannya. "Lo pernah bilang sendiri ke gue, kalo elo itu paling anti balikan sama mantan. Dan sekarang, lo mau gue comblangin lo sama sepupu gue sendiri? Parah lo."

"Lo kan sepupunya Zoe, dan lo juga sohib gue yang paling sohib banget, Zoe mantan gue. Terus, duh, gue gak tau kalo ngejomblo itu bakalan sesusah ini!" Liam berteriak tertahan, tampak tertekan.

"Kenapa gak ngincer tetangga lo aja? Kan pasti ada tuh yang cakep," kata Louis.

Kok gue baru kepikiran? "Oke, kayaknya lo bener juga."

"Bego sih," Louis membetulkan rambutnya. "Udah, gue mau pulang. Urusan cewek begini, gue kira lo udah jago."

"Ya udah. Makasih loh. Pulang sana!"

"Dah, Nyet."

"Dah juga, Su."

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang