★★★★

154 7 7
                                    

Hubungan jarak jauh memang membosankan. Ya, aku mengakui hal itu. Begitu juga dengan orang tua maupun sahabat-sahabatku. Agar tidak terasa semakin membosankan, dan atas saran dari orang terdekat, aku terus mendesak sang kekasih untuk datang mengunjungiku. Desakan itu tentu saja tidak untuk mempermainkannya. Mana tega aku berbuat jahil pada sang belahan jiwa yang datang jauh-jauh dari Jerman. Tentu saja aku telah memiliki rencana spesial untuk menyambutnya.

Pukul 10 siang kami bertemu di bandara. Saling berpelukan melepas rindu. Wajar saja karena hasrat rindu kami terpendam lama karena terhambat banyak hal. Ia selalu sibuk dengan proyek film, begitu juga dengan aku yang selalu dikejar deadline artikel majalah. Kesibukan seolah tak pernah habis hingga terkadang kami lupa untuk saling menghubungi selama dua minggu penuh. Padahal sejak awal menjalin hubungan, kami sama-sama berkomitmen untuk chat di Skype atau free call setiap hari. Selain untuk menjaga kepercayaan, juga menghibur diri di saat sahabat dapat dengan mudahnya mengajak kekasih mereka berjalan-jalan.

Sepanjang perjalanan menuju kediaman orang tuaku, kami tak henti-hentinya berceloteh. Inilah efek dari long distance relationship. Setiap pertemuan dan setiap detik yang bergulir di dalamnya akan kami hargai layaknya batu permata. Apalagi mengingat waktu pertemuan yang hanya berkisar satu minggu, karena kesibukan pada pekerjaan masing-masing. Yang paling menarik dalam menjalani hubungan ini adalah topik obrolannya. Setiap aku dan kekasihku saling bertemu, kami selalu menyiapkan berbagai cerita menarik untuk saling dicurahkan. Tak peduli hal itu pernah diceritakan lewat chatting atau tidak, yang penting kami dapat saling menumpahkan kerinduan lewat mengobrol.

Seperti biasa setelah istirahat dan bercakap-cakap dengan orang tua, aku mengajak sang kekasih berkebangsaan Jerman itu berjalan-jalan. Dua rencana rahasia telah berputar-putar dalam kepala, meminta untuk segera diwujudkan. Berkali-kali lelaki berambut coklat tua itu bertanya akan pergi kemana, namun aku tak segera menjawab demi momen spesial. Mobil sedan yang kukendarai terus melaju menuju tempat perwujudan rencana, melewati setiap senti jalan raya yang ramai di kota.

Sebuah taman di tepi sungai menjadi tempat berlabuh kami siang ini. Tak seperti taman kebanyakan yang terhampar rerumputan hijau, di sini didominasi oleh paving block. Tumbuh-tumbuhan tetap ada, namun diatur secara apik di sekitar taman. Beberapa ada yang ditanam dekat bangku, dekat sungai, dan tangga. Taman ini juga memiliki jembatan yang tidak terlalu lebar untuk menghubungkannya dengan sebuah hutan kecil. Jembatan bercat merah sepanjang kurang lebih 30 meter itu sering sekali dijadikan tempat untuk berfoto atau sekedar bersantai sambil memandangi aliran sungai yang jernih dan tenang.

Di sekitar taman banyak pengunjung yang berpiknik. Tak sedikit yang sengaja menyewa maupun membawa tikar untuk makan siang bersama kawan maupun keluarga. Warna warni hidangan tersusun rapi di atas tikar. Seorang ibu mengeluarkan sebungkus roti untuk membuat sandwich, sedang suami dan anaknya menunggu sambil asyik bercengkerama. Aih, kebersamaan mereka membuatku ingin cepat-cepat melakukan hal yang sama. Dan memang inilah rencanaku.

"Antar aku ke sana, sebentar saja,"pintaku pada kekasih berkebangsaan Jerman itu. Telunjukku menunjuk pada seorang penyewa tikar yang sedang bersimpuh di sebelah timur taman.

"Antar ke mana? Ke sana?" tanyanya dalam bahasa Indonesia yang cukup fasih. Kelihatannya ia belum mengerti tujuanku. Baguslah, ini memang akan menjadi sebuah kejutan.

Tepat setelah mengangguk, aku menggandengnya menuju ke tempat penyewaan tikar untuk melancarkan rencana pertama. Lalu kami bawa dan hamparkan tikar di ruang kosong dekat sungai. Isi ransel coklat milikku yang padat dikeluarkan satu per satu. Sebungkus roti, sebotol jus segar, gelas dan piring plastik, serta isi sandwich-tomat, selada, keju beserta saus - dalam kotak makanan telah berjajar di hadapan kami. Mata sang kekasih begitu berbinar-binar melihat bahan santap siang kami yang begitu segar.

Filosofi Layang-LayangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang