_A.D.H.I.T_
"Melihatnya membuatku bahagia. Tawa lepasnya membuat siapapun memalingkan muka. Ingin tahu, mengapa dia begitu bahagia? Dia ceroboh! Tapi, itu membuatku selalu ingin berada di sekitarnya. Menolongnya. Walau kuyakin dia menolak itu. Matanya ..., aku paling suka matanya. Selalu berbinar ceria. Seperti ribuan kunang-kunang terperangkap di dalamnya. Dan ketika dia memandang kepadaku, rasanya kegelisahan dan kesedihanku hilang."
Aku melihatnya. Berdiri mengamati papan pengumuman di dekat gerbang depan. Berdesakan dengan anak kelas dua lainnya.
"Kita sekelas, kan ?" tanyaku mengejutkannya. Shila menoleh. Dia tersenyum dan mengangguk. Senyum termanis yang kunantikan selama sebulan ini.
"Yuk!" ajakku sambil merangkul bahunya. Dia memandangku risih.
"Kenapa? Kita dah resmi pacaran, kan? Atau ciuman sehabis perpisahan kelas kurang meyakinkan buatmu?" godaku. Shila menyikut pinggang, membuatku mengaduh.
"Kamu potong rambut?" tanya Shila sambil melepaskan tanganku dari pundaknya.
"Iya. Tambah keren, kan ?" Shila tertawa lagi. Matanya berbinar. Aku selalu suka memandang ke matanya. Seolah tidak ada kesedihan di sana. Memandangnya seolah aku bisa melalui hari dengan sempurna. Seperti baterai energizer yang selalu memberi energi dan semangat di saat yang lain kelelahan. Rasanya semua kesulitan dan kesedihanku menguap begitu saja.
Sekali, mata itu pernah terluka. Sinarnya redup dan dingin. Pandangannya menyakitkanku. Mata itu sedih. Dan kesedihannya membuatku takut dan kesepian. Aku tidak suka mata Shila yang seperti itu. Mata ketika dia menatapku berdua dengan Tris!
"Kok, kita lewat sini, Shil? " tanyaku ketika kami berjalan ke arah kelas satu.
"Kamu lupa, ya? Kelas kita, kan di pake kelas satu buat penataran P4. Jadi kita pake kelas satu dulu selama seminggu."
"Kelas yang lama?"
"Bukan. Kita pake kelas 1-1. Kan kita fisik satu," jelas Shila.
"Kamu nggak jemput aku hari ini?" tanya Shila.
"Jemput, kok. Tapi kamu dah pergi. Lagian aku agak kesiangan. Sedikit berdebat dengan Papah tadi pagi," kataku sambil mendahului Shila berjalan masuk ke kelas untuk mencari bangku kosong. Tidak banyak bangku tersisa. Hanya beberapa deretan belakang yang masih kosong. Aku berjalan ke bangku paling belakang dekat jendela.
"Paling belakang?" tanya Shila.
"Apa boleh buat? Kecuali kamu mau duduk dengan teman yang lain ..., sepertinya masih ada beberapa yang duduk sendirian," kataku sambil menunjuk dengan mata ke beberapa bangku kosong di tengah.
"Aku disini saja. Cuma seminggu, kan?" tanyanya sambil melempar tas ke kursi paling pojok. Aku mengangkat bahu.
"Mau cerita? Kenapa berdebat sama Papa?" tanyanya.
"Nanti pulang sekolah kamu pasti tahu. Aku mau ngobrol sebentar sama Rio, ya?" Aku menepuk bahunya dan bergegas mengejar Rio temen sekelas kami di kelas satu yang kulihat melewati depan kelas kami.
***
"Kok, kita lewat belakang, Dhit?" tanya Shila ketika aku mengajaknya ke parkiran motor di belakang sekolah. Aku menghampiri motor balap berwarna merah putih yang tampak berkilat. Dua helm tergantung di spionnya. Hitam dan biru. Aku menaikinya, memakai helm dan menyodorkan helm biru kepada Shila yang masih nyengar-nyengir tak percaya.
"Sempurna, lah aku di sirikin cewek satu sekolah," katanya sambil mengambil helm dari tanganku.
"Nggak ada warna lain yang lebih mencolok, Dhit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain to You
Romance(Before Men in The Lockers) Shila, cewek yang kalo nangis bisa nurunin hujan. Yang kalo ketawa matanya bersinar-sinar. Ketika Adhit, cowok popular satu sekolah yang ganteng dan tajir mlintir, nunjukin tanda kalo suka padanya, Shila berusaha menyangk...