AND I LOVE YOU SO...

3.4K 128 17
                                    

"Kopi aja. Yang black ya?"

Kubiarkan pelayan itu mencatat pesananku di memo di tangannya. Tiba-tiba pulpennya berhenti menulis, pelayan itu mengangkat wajahnya dari memonya, bertanya lagi, "Makanannya?"

Aku menggeleng pelan. "Entar aja. Saya lagi nunggu temen kok."

"Oh. Ditunggu ya pesanannya."

Duduk sendirian di kafe bukan gayaku, tentu aja. Aku sedang menunggu seseorang—lebih tepatnya sih dua orang. Fendi dan pacarnya yang ingin dikenalkannya padaku. Mereka sama-sama dateng dari Bandung khusus ketemuan denganku, tapi tentu aja inti perjalanan mereka adalah untuk keliling-keliling Jakarta berdua aja. Aneh. Padahal mereka kan tinggal di Bandung, setauku orang Jakarta justru datang berduyun-duyun ke sana untuk berlibur.

"Gi, aku kayaknya udah nemu soulmate-ku..." Aku masih ingat kata-kata Fendi waktu pertama kali kali ngeliat cewek itu di kampusnya. Dia langsung nelepon seolah-olah itu kabar hebat yang harus segera dilaporkannya padaku.

"Really?" aku menahan geli. "Siapa, 'Ndi?"

"Hehehehe, kami bahkan belum jadian," dia terkekeh-kekeh untuk beberapa saat di seberang sana. "Aku ngeliat tuh cewek melintas di depanku barusan dan tiba-tiba, BAM! Aku jatuh cinta, Gi. Aku sempet ngiranya suka sama tuh cewek karena fisik. Tapi enggak. Aku duduk sama temen-temen dan salah satunya cewek tercantik di jurusanku, tapi aku bahkan nggak ngeliriknya sama sekali. Pandanganku sepenuhnya tertuju ke cewek itu. Pasti bukan sekedar fisik kan, meskipun kuakui cewek itu tuh HOT banget. Pasti ada unsur chemistry-nya! Aku yakin banget."

Wow! Baru kali ini aku ngeliat Fendi segitu dalemnya menggambarkan perasaannya sama cewek. Siapapun dia, orang itu pasti istimewa. Bukan jenis cewek yang biasa ditemui di dalam hidupnya—termasuk aku. TERMASUK AKU?! Jangan-jangan Fendi membandingkan aku dengan cewek itu dan... aku kalah?

"Kalo kamu memang seyakin itu sih...," kataku, berusaha meredam perasaan aneh yang masih aja mengganggu pikiranku. Aku ini kenapa sih? Aku kan tau banget kalo Fendi nggak akan pernah melakukan hal serendah itu padaku. Pengalaman bersahabat dengannya selama dua belas tahun adalah taruhannya. "Berjuanglah, Nak. Doa Ibu selalu menyertaimu!"

"Gigi norak! Hahahahaha, tapi boleh juga. Iya, iya, wish me luck ya?"

Cerita tentang cewek itu di luar dugaanku masih akan terus berlanjut. Sebulan kemudian, aku menerima kabar darinya lewat inbox di Facebook, katanya dia dan cewek itu—namanya Hilda—udah jadian. Hah? Kapan? Kok Fendi baru cerita-cerita sekarang. Dia kontak denganku, entah itu whatsapp ato e-mail, seingatku nggak pernah tuh dia ngebahas soal cewek yang namanya Hilda. Apa Fendi udah mulai main rahasia-rahasiaan ke aku?

Fendi minta maaf dan janji akan cerita yang selengkapnya waktu kami ketemuan di Jakarta, sekitar dua mingguan lagi. Kamu dateng sama cewek itu?, tulisku di whatsapp.

Dia menjawab: Iya dong, Gi. Kamu kan best friend aku sejak kecil, kamu udah kenal aku luar dalam melebihi siapapun—mungkin melebihi orangtuaku juga. Aku pasti temen yang jahat banget kalo sampe nggak ngenalin kamu sama Hilda. Orangnya asyik kok, tenang aja. Aku berani taruhan, dalam lima menit kamu bakalan asyik ngobrol sama dia seolah-olah kalian temen lama ato apa.

Temen lama? Aku menyeringai waktu membaca balasannya. Yeah right, kayak aku bakal kenal cewek itu aja seandainya dia bukan pacar Fendi. Ya Tuhan... aku bener-bener bingung. Kebayang deh, suasananya pasti canggung banget. Duduk bertiga mengelilingi meja bundar Arabesque—kafe tempat kami janjian. Belum lagi masalah bahan obrolan. Misalnya, kalo Fendi cerita tentang cerita-cerita lucu seputar hubungannya dengan Hilda, aku otomatis seperti terasing karena berperan sebagai orang yang nggak tau apa-apa. Begitu juga sebaliknya, pas Fendi dan aku bernostalgia tentang cerita masa kecil kami, Hilda otomatis keluar dari topik. Gawat banget kan?

AND I LOVE YOU SO... (short story)Where stories live. Discover now