Resita terbangun sekitar dini hari, sedikit kaget karena sempat merasa tak mengenali ruangan tempat dia tidur malam itu. Sambil mengucek-ngucek mata, satu per satu ingatannya mulai kembali. Satu hal yang dia yakini sekarang, dia sedang berada di kamar hotel. Meskipun lumayan, kamar itu sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang biasa Resita tinggali setiap kali ada perjalanan dinas ke luar kota. Paduan beige dan cokelat, ber-AC sejuk, dan tak punya sentuhan personal sama sekali. Double bed di tengah-tengah ruangan, yang menghadap langsung ke meja televisi dan minibar. Sepasang kursi berbantalan empuk ditata agak menghadap ke jendela besar, yang saat itu masih ditutup dengan kain tipis berbahan seperti brokat dan gorden beledu warna cokelat tua. Cewek itu berjengit. Entah pihak hotel ini sadar atau tidak, bahan beledu punya kecenderungan menyimpan debu.
Resita melirik ke sebelah kiri ranjang. Matanya menemukan lorong pendek yang mengarah ke kamar mandi dan pintu masuk. Saat itulah, dia menyadari satu hal lagi: dia sendirian saja di ruangan itu. Dingin. Sepi. Jelas orang itu tidak menepati janji, datang tadi malam. Harusnya Resita tak heran. Harusnya cewek itu maklum. Tapi tetap saja, dia merasakan nyeri, yang berdenyut-denyut dengan cara paling menyiksa, di dalam dirinya.
Cewek itu menghela napas panjang, lalu mencoba menghibur diri dengan kembali memfokuskan konsentrasinya ke layar televisi. Fashion TV menayangkan liputan fashion show Christian Dior dua tahun lalu—bisa dibilang basi, sebenarnya. Cewek itu toh sudah pernah melihat liputan lengkap (berikut ulasan setiap outfit yang muncul di atas runway) di salah satu majalah lokal.
Dan sekarang dia merasa lapar.
Seolah belum cukup menderita karena merindukan orang itu, sekarang perutnya mengeluarkan suara memalukan yang untungnya hanya dia dan Tuhan saja yang mendengar. Resita menggeser tubuhnya sedikit supaya bisa meraih gagang telepon yang terletak di meja kecil di sisi ranjang. Dia menekan nomor front desk dan minta disambungkan ke room service. "Ada makanan apa saja kalau jam segini?" tanyanya, berusaha tak terdengar desperate.
"Kitchen tutup sejak satu jam yang lalu," jawab resepsionis itu dengan suara penuh sesal.
"Oh well. Terpaksa saya makan apa saja yang ada di minibar," ujar Resita. "Terima kasih."
Saat mengembalikan gagang telepon tadi ke tempatnya semula, lagi-lagi rasa sepi dan kesal merayapi benak cewek itu. Resita tak tahan lagi. Dia mencari-cari ponselnya di dalam tas tangan Charles & Keith yan kebetulan berada di atas ranjang bersama dirinya. Begitu ketemu, Resita langsung mengecek notifikasi di layar. Tak ada misscall. Tak ada pesan masuk.
Jadi begitu ya? Cewek itu membatin sedih.
Padahal dia sudah mati-matian mengusahakan apa pun demi bisa berangkat ke Seoul. Memakai habis jatah cuti yang diberi kantor—artinya, tak ada cuti tersisa buat liburan hari raya tahun ini. Dia memakai isi tabungannya untuk membeli tiket dan membiayai penginapan selama dia berada di Seoul. Dan karena itu, dia terpaksa harus mengucapkan selamat tinggal pada iPad yang dia idam-idamkan selama ini.
Dan tahukah itu semua untuk siapa? Orang itu. Dia yang bahkan tak punya rasa sesal sedikit pun, barang mengabari atau apa. Dia bahkan tak menjemput di Incheon, karena alasan fans lah. Bah. Talk about priority here.
Memang...—Resita tak akan menyangkal soal yang satu ini—saat orang itu menyatakan perasaan padanya waktu itu, dia juga turut menyebutkan skenario terburuk saat berpacaran dengan artis. Tapi saat itu, mungkin karena mata cewek itu juga tengah dibutakan karena cinta, dia tak terlalu memperhatikan dan mengiyakan saja apa pun risikonya asal bisa bersama dengan orang itu.
"Biarpun sementara ini statusmu masih rahasia?"
"Iya."
"Biarpun kita tak selalu bisa bertemu—seperti pasangan-pasangan lain pada umumnya?"
"Iya." Suara Resita semakin mantap saja, membuat orang itu pun tak bisa berkomentar apa-apa. Cewek itu sempat menyadari tatapan hangat orang itu sepersekian detik sebelum bibir mereka menyatu. Resita memejamkan mata, antara kelewat bahagia dan takut ini hanya mimpi belaka. Tapi sejurus kemudian, sekujur tubuhnya membuktikan kalau momen bersama orang itu bukan mimpi. Bibirnya terasa panas dan sedikit bengkak karena ciuman orang itu. Tubuhnya merasakan nyaman yang tak terlukiskan saat berada di dekapan tubuh tegap itu.
Resita yakin dia merasa di surga. Dan orang itu adalah pemegang kunci surga.
Oh well, tentu saja itu terjadinya dulu sekali. Sekarang? Dia dibiarkan merasakan neraka, menunggu sampai tertidur di kamar hotel ini.
Teman-temannya mungkin ada benarnya. Lebih baik dia menyerah saja. Berpacaran model begini jelas bukan gayanya. Dan dia juga bukan orang yang suka dibiarkan menunggu berlama-lama. Dia menyukai laki-laki yang tepat waktu—bukan orang yang sering telat memberi kabar dengan alasan ini-itu. Dan satu lagi, laki-laki itu tak pernah menganggapnya prioritas. Yang terjadi hari ini jelas hanya satu dari sekian banyak bukti yang ada. Dan kalau dipikir-pikir lagi, dia tak yakin sebutan 'pacar rahasia' itu masih cocok dia sandang, mengingat yang terjadi justru adalah dia tak dianggap sama sekali. Tak sekali pun dia pernah dikenalkan ke teman-teman di grupnya. Orang itu juga berpesan supaya tak cerita ke banyak orang. Di Twitter, hanya bisa DM-an. Resita tak bisa mengumbar bahagianya memperoleh pacar sebaik (dan setampan) orang itu.
Bah.
Cewek itu baru saja menekan 'off' di remote televisi dan bersiap-siap untuk tidur, saat dia mendengar suara ketukan dari luar pintu.
"Siapa?"
"Aku."
Dia menggeser tubuhnya, dan menurunkan kakinya satu-satu ke lantai. Telapak kakinya merasakan langsung permukaan halus dan hangat lantai kayu kamarnya. Resita tak langsung membukakan pintu. Dia butuh beberapa saat untuk menarik napas panjang sebelum meyambut kedatangan orang itu.
"Hai," sapanya—ugh, damn, Resita paling lemah dengan senyuman berlesung pipit itu.
"Oppa tahu sekarang jam berapa?"
Orang itu mengangguk.
"Oppa tahu sudah berapa lama aku menunggu di sini?"
Orang itu mengangguk lagi, lalu berkata dengan suara pelan, "Maaf."
Dia mendekatkan tubuhnya ke arahnya, lalu menumpangkan kepalanya di bahu Resita. Cewek itu tak tahu harus berkata apa, jadi dia memilih menunggu.
"Kamu tak tahu betapa sulitnya untuk berusaha secepat mungkin datang kemari," kata orang itu lagi.
"Tapi, tetap saja kan, Oppa datang terlambat."
"Iya." Orang itu mengangkat kepalanya. Membalas tatapan Resita dengan pandangan memelas. "Dan itu membuatku semakin merindukanmu."
Habislah sudah. Satu kalimat saja dari bibir orang itu dan semua resah dan gelisah yang ditahannya sejak tadi menguap entah ke mana. Orang itu bilang rindu—heck, cewek itu bahkan lebih rindu lagi. Kalau tidak, apa lagi coba yang mendorongnya sampai sebegitu nekad-nya terbang ke Seoul sendirian?
Semua karena orang itu.
Semua karena....
"Just kiss me, Oppa, and I will forgive all your sins," bisik Resita pelan dan menggoda di telinga orang itu.
Siwon tersenyum. "Itu persis yang akan aku lakukan setelah kau menerima maafku."
THE END
KAMU SEDANG MEMBACA
HATE YOU LOVE YOU (a fanfiction written for a friend)
Fiksi PenggemarBaca aja laaah! :D