Jilid 6 : Kate dan Bungkuk

4.3K 59 1
                                    

Sebenarnya Pengemis-sakti Hoa Sin sedang dalam perjalanan mencari jejak putera Kim Thian cong yang hilang. Hari itu ia tiba di Kabupaten Hoa-im-koan wilayah Siamsay. Karena sudah tiba di daerah itu, pikirnya sekalian ia datang
saja ke Hoa-san. Sekedar kunjungan persahabatan dan sekalian menanyakan tentang keadaan ketua Hoa-san-pay yang tak dapat datang pada upacara pemakaman jenazah Kim Thian-cong.
Pada saat tiba di sebuah bukit, hari pun sudah malam. Dan ketika mendaki di lereng, ia melihat seorang kakek tua sedang menyerang seorang anak muda. Dan sebagai seorang tokoh persilatan yang tajam pandangan, cepat ia dapat melihat kalau anak muda itu terancam bahaya maut. Mau segera ia timpukkan sepotong kayu untuk mencegah tindakan si kakek.
Tetapi kakek itu pun sakti. Cepat ia dapat mendengar kesiur angin yang melanda punggungnya. Dan segera ia pun menghindar ke samping. Akibatnya si Blo'on yang terdampar ke dalam jurang.
Memang diantara ketujuh Partai Persilatan besar di dunia persilatan, dewasa itu Hoa-san-pay sedang mengalami masa kemunduran. Perguruan itu tak mempunyai murid yang menonjol kepandaiannya dan ketuanya, Kam Sian-hong, pun lesu semangat. Lebih banyak menyekap diri di dalam gua pertapaannya daripada turun ke dunia persilatan.
Entah apa yang menjadikan sebabnya, orang luar tak dapat mengetahui. Apa yang orang dengar, entah apa sebabnya yang menjadi ketua Hoa-san-pay mengganti Tiang Bi lojin yang meninggal dunia, adalah Kam Sian-hong murid yang kedua, bukan Pang To-tik murid yang pertama. Dan sejak itu Pang To-tik pun tak mau menampakkan diri lagi di dunia persilatan. Demikian pula dengan sikap Kam Sian-hong yang tampaknya kurang gairah.
Orang hanya dapat menduga-duga, tetapi tak dapat mengetahui persoalannya yang sesungguhnya. Dengan adanya peristiwa dalam tubuh perguruan itu maka Hoa-san¬pay pun makin mundur. Banyak desas desus dan ejek cemoohan dilontarkan orang kepada alamat perguruan Hoa-san-pay. Tetapi selama itu, fihak Hoa-san-pay tak mengadakan suatu reaksi apa-apa.
Sebagai tetua dari Hoa-san-pay sudah tentu Naga-besi Pui Kian ikut prihatin akan keadaan perguruan itu. Dan karena dikuasai oleh rasa prihatin itu, kakek itu pun mudah sekali tersinggung perasaannya.
Walau pun Hoa Sin sebagai ketua Partai Pengemis sudah minta maaf dan memberi penjelasan tetapi Naga-besi Pui Kian tetap merasa terhina. Ia merangkaikan tindakan Hoa Sin itu sebagai sikap menghina perguruan Hoa-san-pay.
Naga-besi Pui Kian menyerang ketua Partai Pengemis dengan hebat. Tetapi Hoa Sin tak mau meladeni. Ia tetap berusaha untuk menghindar.
"Pui totiang, harap berhenti dulu," katanya meminta kepada kakek yang marah itu.
Namun Naga-besi sudah seperti kemasukan setan, la tak mau menghiraukan kata-kata ketua Partai Pengemis. Bahkan sambil melancarkan serangan yang makin dahsyat, ia menghambur ejekan: "Hm, kiranya hanya begitu sajakah kepandaian dari pangcu Kay-pang itu ? Main mundur macam kura-kura menyurutkan kepala, tak berani menghadapi lawan

Setelah menyelinap dari pukulan kakek Hoa-san-pay, tiba-tiba Hoa Sin berdiri tegak dan berseru dengan nada bengis : "Pui Kian, dengarkan. Aku mengalah bukan karena aku takut kepadamu. Tetapi demi memandang persahabatan antara Hoa-san-pay dengan Kay-pang. Kita sama-sama partai
sahabat dan sehaluan. Mengapa kita harus saling berhantam
sendiri?"
"Lebih baik tak bersahabat daripada bersahabat menderita hinaan !" Naga besi Pui Kian menutup kata-kata dengan lepaskan sebuah pukulan Thi-an-lui-oiang atau pukulan Geledek-menyambar, bum..
Balu karang meledak pecah, tanah dan pasir berhamburan ke sekeliling penjuru hingga sekitar tempat itu sampai gelap. Ketika gulungan debu te bal itu hilang, tampaklah dua pemandangan yang mengejutkan.
Pengemis-sakti Hoa Sin lenyap, Naga-besi Pui Kian duduk di tanah pejamkan mata . ,
Apakah yang terjadi ?
Ternyata ketika Pui Kian bergerak memukul, Hoa Sin sudah menduga. Serentak la pun menghantam tanah sehingga debu berhamburan memenuhi sekeliling tempat itu. Ketika angin pukulan kakek Hoa-san-pay melanda, Hoa Sin pun sudah melambung ke udara. Sambil berjumpalitan melayang turun, ia menimpuk dengan biji tiok-ki atau catur ke arah lutut Pui Kian.
Pui Kian terkejut ketika lututnya terasa terpukul benda kecil yang keras. Ia menyadari kalau dirinya diserang benda rahasia oleh ketua Partai Pengemis. Tak mau ia mengerang kesakitan karena lebih penting mengerahkan tenaga dalam untuk mempertahankan keseimbangan kakinya yang kena timpukan itu. Namun lututnya terasa lunglai sekali sehingga tak kuat menahan tegak tubuhnya. Akhirnya jatuhlah ia terduduk di tanah.
"Hm, jalan darah lututku tentu tertutuk," diam-diam ia
menduga seraya kerahkan tenaga dalam untuk berusaha membukanya kembali.
Demikian keadaan tempat di tepi pegunungan bukit karang itu segera sunyi senyap lagi. Angin malam berhembus makin dingin.
Tak berapa lama Naga-besi Pui Kian pun ber bangkit.
Memandang ke sekeliling ia tak melihat ketua Partai Pengemis
itu lagi.
Ia pun segera ayunkan langkah hendak pulang ke markas Hoa-san-pay. Tiba-Tiba matanya tertumbuk pada gunduk batu
yang terletak di tepi jalan. Pada batu itu terdapat gurat-gurat
tulisan yang berbunyi :
Pengemis Hoa Sin menghaturkaan maaf kepada Pui totiang. Lain hari akan menghadap ke Hoa-san untuk menerima hukuman.
Geram sekali kakek Hoa-san-pay itu. Tetapi diam-diam ia
mengagumi kesaktian ketua Partai Pengemis. Tulisan pada batu itu dibuat dengan guratan jari tangan! Suatu pertanda betapa hebat ilmu tenaga dalam pengemis sakti itu.
Naga-besi Pui Kian menghela napas, tundukkan kepala dan lanjutkan langkah .
Bukit karang itu disebut Hek hou-san atau gunung Macan Hitam. Disebut bukit Macan Hitam karena memang di daerah
pegunungan itu banyak dihuni kawanan macan hitam yang bersarang di dalam guha-guha karang yang banyak terdapat
di pegunungan itu.
Diantara yang paling terkenal menyeramkan ialah lembah Hek-hou-ko atau lembah Macan Hitam. Sebuah lembah yang menyerupai jurang. Mulut jurang tidak berapa luas. tetapi dalamnya sampai mencapai ratusan meter sehingga apabila orang berdiri ditepi jurang dan melongok ke bawah, hanya seperti sebuah kawah hitam yang tak kelihatan apa-apa.
Memang jarang dan boleh dikata tak ada seorang penduduk yang berani turun kedalam jurang lembah Macan Hitam itu. Kecuali menjadi sarang harimau hitam, pun banyak juga terdapat bangsa ular beracun.
Tetapi sebenarnya jurang Macan Hitam itu mempunyai seorang penghuni manusia. Seorang kakek yang amat tua renta, umurnya sudah lebih dari seratus tahun. Tubuhnya pendek sekali, tingginya hanya satu meter lebih sedikit. Yang aneh. kakek pendek itu rambut kepala, kumis dan jenggotnya masih hitam.
Sejak lima hari yang lalu, kakek jenggot hitam itu menerima kedatangan seorang tetamu. Juga seorang kakek tua renta yang usianya sebaya dengan kakek pendek,
Diantara kedua kakek itu terdapat hal yang menyolok sekali bedanya. Kalau tuan rumah seorang kakek yang bertubuh kate dan berambut hitam adalah tetamunya seorang kakek yang berpunggung bungkuk. Sebuah benjolan daging bundar besar hinggap di punggungnya. Rambut kepala dan kumis serta jenggotnya putih semua.
Kakek bungkuk itu tinggal di gunung Hok-gu san atau gunung Kerbau Mendekam. Dan tempat itu memang sesuai dengan penghuninya. Sepintas pandang, kakek bungkuk itu memang menyerupai seekor kerbau yang tengah mendekam di tanah.
Ah, biasanya orang yang datang berkunjung ke rumah orang, tentulah karena bersahabat. Kakek dari lembah Macan
Hitam dan kakek dari lembah Kerbau Mendekam, memang sering kunjung mengunjungi. Tiap tahun mereka bergantian saling mengunjungi. Tahun yang lalu kakek Macan Hitam yang berkunjung ke lembah Kerbau Mendekam. Tahun ini kakek lembah Kerbau Mendekam yang datang ke lembah Macan Hitam.
Ah, sungguh manis sekali hubungan kedua kakek itu. Mereka tentu sahabat yang kental dan rukun. Tetapi apabila anda menyangka demikian, itu salah.
Kedua kakek yang tampaknya begitu rukun dan karib ternyata bukan bersahabat tetapi saling bermusuhan. Musuh bebuyutan. Ya, memang aneh tetapi nyata.
Sudah berpuluh-puluh tahun mereka melangsungkan permusuhan bebuyutan itu. Tiap tahun mereka bergantian datang berkunjung untuk melangsungkan adu kepandaian. Adu kepandaian itu berlangsung sampai beberapa hari. Setelah sama mengakui bahwa kepandaian mereka berimbang, yang satu tak dapat mengalahkan yang lain, barulah mereka berjabat tangan. Duduk minum arak, makan enak. Setelah itu baru berpisah. Suatu perpisahan dari dua orang sahabat yang tampaknya mesra dan karib sekali.
Dunia ini memang penuh dengan manusia-manusia aneh. Diantaranya ialah kedua kakek itu. Mereka sudah tua renta tetapi pikiran, ulah tingkah dan bicaranya masih seperti anak kecil. Mungkin karena usianya yang sudah kelewat tua, mereka berobah menjadi anak lagi.
"Hai, sahabat Kerbau Putih." seru kakek pendek, sudah empat hari kita adu kepandaian. Ternyata tangan kita sama kuatnya, kaki juga sama kuat, mulut sama kuat Sekarang hari kelima, hari terakhir Kita adu kepala. Kalau masih sama kuat,
bubar. Aku menyediakan arak istimewa untukmu. Lain tahun kita adu kepandaian lagi. Setuju bukan ?
"Ho, ho. Macan Hitam. Tahun ini aku sebagai tetamu. Sudah tentu aku menurut saja apa kehendakmu. Lain tahun kalau aku yang jadi tuan rumah, engkau harus menurut peraturanku."
"Tentu, tentu" sahut kakek Macan Hitam, "pokok yang penting, kita jangan mengingkari janji Mati yang telah kita buat dengan darah itu."
"Jangan kuatir, Macan Hitam," seru kakek berambut putih, "takkan kulupa Perjanjian Mati itu."
"Bagus engkau. Kerbau Putih," seru " kakek Macan Hitam, "sekarang mari kita langsungkan pertandingan hari kelima atau hari terakhir ini. Kepalaku akan beradu kekuatan dengan daging bundar di punggungmu itu. Tahun yang lalu, kepalaku pusing sampai aku jatuh. Tetapi punggungmu juga kesakitan sehingga engkau pun rebah mencium tanah, bukan ?"
"Ya, benar," sahut kakek Kerbau Putih, "tetapi dalam setahun ini, daging benjolan punggungku sudah kuperbaiki dan kuperkokoh dengan tenaga dalam yang lebih hebat. Apakah kepalamu juga sudah engkau tambah kuat ? Kalau tidak, tentu pecah. Dengan begitu berarti engkau menambah beban padaku !"
"Jangan kuatir, Kerbau Putih," seru kakek Macan Hitam seraya menampar-nampar kepalanya "cukup keras. Pernah kucoba dengan batu karang, batu karang yang remuk."
"Ah, sebenarnya aku tak mau berlatih tenaga dalam lagi, biar daging benjol yang mengeram di punggungku selama berpuluh-puluh tahun itu hancur saja. Ya, biar dihancurkan oleh kepala mu"
"Manusia licik, engkau ini !" teriak kakek Macan Hitam seraya deliki mata menuding kakek berambut putih, "engkau
mau cari enak dan hendak mencelakai aku, ya ! Kalau engkau mati, tentu aku yang harus mengubur mayatmu. Itu saja masih tak apa. Tetapi kalau engkau mati, lalu siapakah
tetamuku lagi ? Bukankah aku akan kesepian tak punya tetamu ? Lalu siapa kawanku bicara ? Siapa kawanku
bertanding kepandaian ? Ho, kakek Kerbau Putih, jangan engkau cari enak sendiri, ya !"
Memang kedua kakek aneh itu telah membuat perjanjian. Perjanjian itu disebut perjanjian Mati. Barangsiapa mati dalam
pertandingan tiap tahun itu, yang hidup harus menguburnya. Perjanjian Mati itu diteguhkan dengan saling minum darah. Kakek Macan Hitam minum darah kakek Kerbau Putih, kakek Kerbau Putih juga minum darah kakek Macan Hitam.
Tiba-Tiba kakek Kerbau Putih melonjak bangun dan balas memaki : "Ho, engkau kakek tak tahu kebaikan orang !"
Kakek Macan Hitam melongo: "Kebaikan siapa Kebaikanku,
sudah tentu!" teriak kakek Kerbau Putih.
"Kebaikanmu? Aneh, mengapa aku tak merasa, kakek Macan Hitam garuk-garuk kepala, "kapan engkau antar kebaikanmu itu kemari ?"
Jika orang biasa, tentu sudah kaku perut atau paling tidak
tentu sudah muntah karena mendengar omongan yang tak
genah dari kakek itu. Tetapi karena keduanya itu memang
kakek yang linglung, yang sinting, yang aneh, yang bego
Mereka bicara menurut apa yang dipikirkan sendiri, menurut
gerak lidahnya Tak peduli lain orang yang mendengarkan, apakah akan tersinggung hatinya, apakah akan merah mukanya, apakah akan panas telinganya apakah akan meringis, marah.
"Edan," pekik kakek Kerbau Putih." masakan engkau tak merasa ?"
"Huh, kalau merasa, masakan aku bilang tidak !"
"O, benar," kata kakek Kerbau Putih, "tetapi mengapa aku merasa sudah berbuat baik kepadamu
"Bagaimana kebaikanmu itu ?" seru kakek Macan Hitam.
"Pikir-Pikir, aku kasihan juga kepadamu. Kalau aku mati, engkau harus mengubur. Engkau tak punya kawan bicara lagi. Oleh karena itu aku pun lalu berlatih lagi, agar aku jangan sampai kalah dalam pertandingan tahun ini.
"Ho, jangan sombong engkau, Kerbau Putih, teriak kakek Macan Hitam, "betapa pun engkau berlatih sampai setengah mati, tak mungkin engkau mampu mengalahkan kesaktian kepalaku ini."
"Uh, sombong engkau. Macan Hitam," kata kakek berambut putih, "coba sajalah nanti berapa.
"Setan engkau!" bentak kakek Macan Hitam, "mengapa terhadap seorang sahabat, engkau tetap mau menyimpan rahasia ?"
Kakek berambut putih mendelik. Ia merasa akan bertanding kepandaian dengan kakek Macan Hitam, tetapi ia pun merasa apa yang dikatakan kakek Macan Hitam itu benar. Kakek Macan Hitam itu memang seorang sahabat. Ah, ia bingung memikirkan.
"'Eh, Macan Hitam, coba engkau bilang, kita ini musuh atau sahabat?" akhirnya ia bertanya.
"Musuh bersahabat, Sahabat bermusuhan," sahut kakek Macan Hitam.
"Musuh bersahabat, sahabat bermusuhan . . ." kakek berambut putih mengulang lalu merenung, "o, benar, benar, tetapi eh, apakah maksudnya itu? Mengapa aku tak mengerti?"
"Tak perlu mengerti, cukup asal engkau mendengar saja !" kata kakek Macan Hitam.
"Lho, orang mendengar tentu harus mengerti" bantah kakek berambut putih.
"Tolol !" damprat kakek Macan Hitam, "coba kutanya kepadamu. Engkau pernah mendengar kerbau menguak ?"
"Pernah "
"Lalu apakah engkau harus mengerti apa arti dari suara kerbau itu ?"
Kakek berambut putih merenung diam. Tiba-Tiba berseru: "Tidak bisa! Aku orang, mana bisa mengerti suara kerbau ?"
"Itulah," seru kakek Macan Hitam, "engkau cukup mendengar tak perlu mengerti. Nah, sekarang engkau dengarkan lagi. Baru-Baru ini aku mengeluarkan dua guci arak simpanan selama seratus tahun. Coba bilang arak itu enak
atau tidak ?"
"Arak makin disimpan lama, makin enak. Orang makin disimpan lama, makin tua. tidak enak"
"Ho, ho, ho . . . " tiba-tiba kakek Macan Hitam tertawa gelak-gelak, "bagus, bagus. Sekarang engkau pandai bersajak juga. Penyair, ya ?"
"Entah apa jadinya," sahut kakek berambut putih.
"Eh, engkau belum belang. Engkau ingin minum arak simpanan seratus tahun itu atau tidak ?" "Semua !"
Kakek Macan Hitam mendelik : "Ho, dasar kerbau, tentu rakus. Kalau engkau minum semua, lalu aku minum apa?"
"Tak perlu minum, cukup asal membau baunya.
"Ho, mana bisa ? Orang membau, harus minum dong !" bantah kakek Macan Hitam.
"Gila" seru kakek berambut putih, "sekarang aku yang bertanya, engkau yang menjawab. Kalau aku kencing, engkau membau tidak ?"
"Belum tentu " kakek Macan Hitam masih ngotot membantah.
"Kalau aku kentut disini, engkau membau atau tidak ?'"
Kakek Macan Hitam berdiam sejenak lalu berseru : "Belum tentu. Harus lihat-lihat anginnya. Kalau aku duduk di sebelah timur dan angin meniup ke barat, aku tentu takkan membau kentutmu."-
.""Hm, kalau aku berak disini, engkau tentu membau,
bukan ?"
"Kurang ajar ! Tentu saja bau !" teriak kakek Macan Hitam.
"Apakah kalau membau, engkau harus meminum kotoranku?"
"Cabul!" teriak kakek Macan Hitam seraya loncat mundur dan mendekap hidungnya kencang-kencang "hayo, enyah dari sini, kakek cabul !"
Kakek Kerbau Putih melongo : "Aku tidak berak sungguh, hanya bertanya, kalau aku berak apakah engkau tak mencium baunya. Setan, mengapa engkau mendekap hidungmu? Apa engkau kira aku berbau busuk ?"
Kakek Macan Hitam lepaskan hidungnya.
Demikian pembicaraan apabila kedua kakek linglung itu saling bertemu. Setiap persoalan, tentu berlarut berkepanjangan sehingga apa yang ditanyakan, sering kabur dengan lain soal.
"Eh, Kerbau Putih, karena engkau mengoceh panjang lebar, aku sampai lupa apa yang hendak kutanyakan kepadamu itu. Hayo, sekarang engkau harus bertanggung jawab, memberitahu kepadaku apa yang hendak kukatakan kepadamu tadi !"
Kakek rambut putih terkesiap, kerutkan jidat, merenung. Tetapi dia lupa.
"Ho, goblok benar engkau Kerbau Putih," seru kakek Macan Hitam, "masakan soal begitu mudah saja engkau lupa ?"
"Ya, memang aku lupa. Cobalah engkau beri tahu kepadaku, agar aku dapat, mengingatkan hal itu kepadamu."
"Aku tadi bertanya soal arak ... "
"O, benar. Sekarang aku pun akan memberi-tahu apa yang engkau bilang kepadaku tadi. Ya, engkau bertanya kepadaku soal arak."
"Benar, ah, mengapa aku lupa," seru kakek Macan Hitam. Pada hal dialah yang ingat soal itu lalu memberitahu kepada kakek Kerbau Putih. Kakek itu segera memberitahu kepada kakek Macan Hitam.
"Belum cukup !" seru kakek Macan Hitam.
"Kalau begitu, engkau harus memberitahu lagi kepadaku agar akan dapat menyampaikan kepadamu."
"Huh. aku juga lupa!" seru kakek Macan Hitam "Celaka ! Kalau engkau sendiri lupa, bagaimana aku bisa ingat ?" kakek Kerbau Putih menggerutu .
"Ah, siapa bilang aku lupa ?" kakek Macan Hitam menyeringai, "bukankah engkau bilang kalau berhasil mempelajari ilmu tenaga dalam gaya baru ?
"Benar!" seru kakek Kerbau Putih, memang ilmu tenaga
dalam yang kuyakinkan itu luar biasa".
"Engkau harus memberitahu kepadaku apa yang disebut ilmu tenaga dalam gaya baru itu. Atau arak itu takkan kusuguhkan kepadamu, akan kuminum sendiri ... "
"Engkau licik, Macan Hitam ! Masakan musuh minta keterangan tentang kekuatan lawannya. Tetapi, benarkah arak itu arak simpanan seratus tahun yang lalu, engkau tidak bohong ?"
"Ha, ha," kakek Macan Hitam tertawa bangga, "diseluruh
jagad ini tak ada arak yang lebih hebat dari arak buatanku.
Coba engkau dengarkan, arak-arak yang kubuat itu. Engkau
tentu akan mendelik keheranan. Arak itu "
"Bohong ! Bohong !" teriak kakek Kerbau Putih seraya
mendekap telinganya, "tak usah banyak omong, lekas sebutkan macam arak yang engkau buat itu"
"Hou-thau-ciu, arak Kepala-macan."
"Heh, apa itu ?"
"Kepala harimau direndam arak sampai puluhan tahun.
Khasiatnya minum arak itu, Ukiran terang, ingatan jernih. Nih, lihatlah aku. Walau pun sudah tua sekali tetapi aku tidak
simpai linglung ... "
"Lalu ?"
"Hou gan-ciu atau arak Mata-macan. Minum arak itu, mata menjadi tajam dan terang sekali"
"Ha.. "
"Hou-si-ciu atau arak Kumis-macan. Dapat menyuburkan tumbuhnya rambut Lihat, walau pun umurku sudah se . . . eh, tua sekali, tetapi rambutku tetap tumbuh subur dan hitam."
Sebenarnya kakek itu hendak mengatakan kalau umurnya sudah seratus tahun lebih. Tetapi tiba-tiba saja ia teringat bahwa karena rebutan umur, rebutan lebih tua, dengan kakek Kerbau Putih, mereka sampai menjadi musuh bebuyutan.
"Ho ... "
"Hou-kut-ciu arak Tulang macan, menguatkan tulang-
tulang, gigi dan kuku."
"Hi... "
"Hou-sin-ciu atau arak Ginjal-macan. Minum arak itu, orang tentu menjadi muda kembali, ingin kawin dengan gadis-gadis cantik. Kakek tua semacam engkau, dilarang minum arak itu !"
"Heh . . . apa engkau sering minum sendiri ?"
"Berbahaya! Lalu Hou-si m-ciu, arak Hati macan. Minum arak itu, nyali akan bertambah besar, segala apa tidak takut."
"Hih.. "
"Dan terakhir, yang paling hebat sendiri, Hou hiat-ciu. arak Darah-macan. Minum arak itu, darah akan mendidih, tenaga bertambah kuat berlipat ganda."
"Amboi . . . !"
"Sekarang engkau boleh pilih mau minum arak yang mana,
bung?"
Kerbau Putih tak lekas menyahut melainkan merenung diam. Beberapa jenak kemudian baru berkata : "Aku ingin arak Hou-sin-ciu saja."
"Hai, goblok benar engkau!" teriak kakek Ma can Hitam, "arak itu arak Kumis-macan, khasiatnya hanya menumbuhkan dan menghitamkan rambut"
"Memang aku ingin rambutku yang putih ini jadi hitam kembali."
"Mengapa engkau tak minta arak Hati-macan atau Darah-macan yang dapat menambah tenaga kekuatanmu ?" seru kakek Macan Hitam.
"Tidak perlu," sahut kakek Kerbau Putih, "aku sudah mendapat ilmu tenaga dalam gaya baru. Tak perlu mencari tambahan tenaga lagi."
"Kurang ajar, hayo, lekas engkau beritahukan rahasia ilmu tenaga dalam gaya baru itu. Kalau tak mau, pergilah engkau dari sini, jangan minta arak kepadaku !"
Kerbau Putih melongo. Untung dia itu juga seorang kakek linglung hingga tak menyadari kata-kata kakek Macan Hitam yang gila. Ia malah marah juga : "Setan tua, engkau hendak mengusir aku ? Jangan main-main engkau! Kalau engkau tak mau memberikan arak itu, sarangmu ini tentu kubakar !"
"Ya, ya, akan kuberi arak itu tetapi sahabatku yang baik, engkau pun harus memberitahu tentang ilmumu tenaga dalam gaya baru itu," tiba-tiba kakek Macan Hitam berganti nada ramah.
Mendengar itu kakek Kerbau Putih pun tenang juga : "O, baiklah, sahabat yang manis. Dengarkanlah Sebenarnya
secara tak sengaja aku telah menemukan cara menimbulkan tenaga dalam gaya baru itu . . . "
Kakek Macan Hitam makin gelisah tak sabar. Ia berdiri lalu duduk, berdiri lagi dan duduk pula.
""Ketika itu aku sakit hampir mati. Dan kukira memang tentu mati. Aku sampai tak dapat bangun ... "
"Hai, mengapa engkau tak memberitahu kepadaku ? Tentu aku akan datang menolongmu !" kakek Macan Hitam memutus omongan orang.
"Engkau edan !" damprat kakek Kerbau Putih, "sedang
bergerak bangun saja tidak bisa, mana aku dapat
memberitahu kepadamu !"
"O, benar, benar," kata kakek Macan Hitam sambil menampar-nampar kepala.
"Perutku sakit sekali, terpaksa aku paksakan diri merangkak keluar guha untuk buang air. Tiba di muka guha aku sudah tak tahan dan berak terus menerus sampai kotoran habis hanya tinggal berak air. Tetapi tetap tak berhentinya. Sehari terus berak-berak saja, aku sampai lemas sekali dan rubuh pingsan di muka guha ... "
"O. kasihan benar," kembali kakek Macan Hitam menyelutuk.
"Entah berapa lama aku terhampar pingsan, ketika membuka mata mukaku basah kuyup dan perutku melembung. Ah, ternyata karena rebah dengan kepala menghadap ke atas dan mulut menganga, hujan yang turun malam itu telah masuk ke dalam perutku. Buru-Buru aku masuk ke dalam guha lalu duduk menjalankan pernapasan. Peredaran darah kuhentikan, kusalurkan saja air itu ke seluruh
tubuh, untuk mencuci bersih kotoran-kotoran dalam tubuh Isi daging benjolan pada punggungku pun kucuci. Eh, di dalam menjalankan peredaran air itu, aku menemukan sesuatu yang belum pernah kualami. Kekuatanku bertambah, semangatku penuh. Kucoba untuk menghantam karang. Eh, mudah juga, tak kalah dengan pengerahan tenaga-dalam. Lama kelamaan baru kusadari bahwa selain tenaga dalam yang berasal dari pengerahan hawa dan darah dalam tubuh, ternyata air dalam tubuh manusia itu pun dapat dikerahkan dan dibentuk menjadi suatu kekuatan yang tak kalah hebatnya. Maka kusebutnya sebagai tenaga dalam gaya baru. Tidak menggunakan hawa dan darah tetapi dari air dalam badan manusia ini."
"O, hebat," seru kakek Macan Hitam, "tetapi masakan dapat menyamai kehebatan ilmu tenaga dalam yang biasa ?"
"Nanti engkau dapat merasakan sendiri " kata kakek Kerbau putih, "Cui-sin-kang atau Tenaga-air-sakti, demikian kunamakan ilmu itu."
"Huh, jangan berlagak sok, engkau !" tiba-tiba kakek Macan Hitam marah, "aku pun hendak melatih ilmu itu, tentu dapat menyamai kepandaianmu."
"Bangsat, engkau hendak mencuri ilmuku ? Aku yang jerih payah dan menderita kesakitan baru dapat menemukan ilmu itu, sekarang enak-enak saja engkau terus hendak menjiplaknya !"
''Siapa menjiplaknya ? Aku toh belajar sendiri ? Aku toh tidak mencuri ilmumu ?"
Tiba-Tiba kakek Macan Hitam berseru kaget : "Hai, Macan Hitam, jangan, janganlah engkau belajar ilmu itu. Percuma dan sia-sia sajalah !"
Kakek Macan Hitam melongo kemudian deliki mata : "Huh, apa engkau kira aku tak dapat meyakinkan ilmu itu? Lihat saja besok lain tahun !"
"Ha, ha, ha . . . !" tiba-tiba pula kakek Kerbau Putih tertawa gelak-gelak dan panjang.
"Setan, mengapa engkau tertawa ?" seru kakek Macan Hitam terlongong.
"Karena tak mungkin engkau dapat melatih ilmu itu !"
"Mengapa?" seru kakek Macan Hitam makin heran.
"Karena hanya orang yang punggungnya tumbuh benjolan daging seperti aku ini, baru dapat melatih ilmu tenaga Cui-sin-
kang !" "Bohong!"
"Aku bicara dengan sungguh, terserah engkau mau percaya
atau tidak !"
"Sekarang keluarkan dulu arakmu itu !" seru kakek Kerbau
Putih.
"Hai !" tiba-tiba kakek Macan Hitam menjerit dan melonjak, "celaka, celaka engkau Kerbau Putih!"
Sudah tentu kakek Kerbau Putih melongo. Tanpa sebab apa-apa, mengapa mendadak sontak Macan Hitam menjerit dan mengerang seperti orang kebakaran jenggot.
"Engkau gila barangkali. Mengapa engkau menjerit-jerit seperti orang edan ?" seru Kerbau Putih.
"Lihatlah keluar itu," seru kakek Macan Hitam seraya menunjuk ke dasar lembah yang merupakan sebuah tanah datar, "bukankah disana tampak terang benderang ? Itulah,
matahari sudah berada di tengah langit, hari sudah tengah
hari !"
Kakek Kerbau Putih menurut arah yang ditunjuk kakek rambut hitam, serunya : "O, lalu maksudmu ?"
"Mengapa engkau masih mengajak aku bicara begitu bertele-tele saja ? Bukankah kita harus menyelesaikan pertempuran yang terakhir ? Atau apakah memang engkau sudah mengaku kalah ?"'
"Setan tua, siapa bilang aku kalah dengan engkau ? Bukankah engkau sendiri yang terus menerus mengoceh tak keruan? Hayo, kita mulai saja pertempuran itu !" sahut kakek Kerbau Putih yang sudah lupa untuk menagih arak kepada tuan rumah.
Memang hampir setengah hari mereka bertele-tele berdebat dan ngotot tak keruan. Setelah matahari naik di tengah, barulah kakek Macan Hitam itu kelabakan.
"Hayo," katanya seraya melangkah keluar menuju ke tanah datar yang letaknya tepat di dasar jurang yang menjurus ke atas sehingga sinar matahari langsung menimpa kesitu.
Setelah saling mengambil kedudukan mereka lalu saling merapat. Macan Hitam menundukkan kepalanya. Kerbau Putih berputar tubuh membelakangi dan songsongkan daging bundar di punggungnya ke kepala lawan. Sesaat terjadilah pemandangan yang lucu. Kakek Macan Hitam menunduk, sorongkan kepalanya ke daging benjol di punggung kakek Kerbau Putih. Sepintas pandang kepala kakek Macan Hitam itu seperti menyorong sebuah bantal daging.
Demikian adu kepandaian yang aneh dari dua orang kakek yang aneh. Pertandingan itu mereka sebut adu tenaga kepala. Dan sesungguhnya, walau pun orang linglung tetapi kedua
kakek itu memiliki kepandaian yang sakti sekali. Mereka termasuk tokoh-tokoh luar biasa. Adu tenaga kepala itu diiambari dengan tenaga dalam yang hebat. Dengan kepalanya itu, kakek Macan hitam dapat menyorong hancur batu karang. Demikian pun dengan kakek Kerbau Pulih. Daging benjol pada punggungnya itu mampu mendorong rubuh pohon besar.
Ternyata kesaktian kedua kakek itu berimbang. Sudah empat hari lamanya mereka adu kepandaian. Hari pertama mereka adu tangan. Hantam menghantam, pukul memukul, cengkam mencengkam dan dorong mendorong dengan tenaga-dalam. Tetapi sampai malam rembulan tepat berada di atas mulut jurang, barulah pertandingan itu berhenti tanpa ada kesudahannya. Demikian pun dengan hari kedua, ketiga dan keempat.
Hari itu adalah hari kelima, yaitu hari yang terakhir. Menurut perjanjian yang telah disepakati berpuluh-puluh tahun, pertandingan itu hanya dilangsungkan selama lima hari. Setelah itu dibubarkan.
"Aduh, kurang ajar engkau Kerbau Putih," tiba-tiba kakek Macan Hitam berseru, "mengapa daging punggungmu berobah sedingin gumpalan es ?"
"Ha. ha, itulah yang namanya Cui-sin-kang, sahut kakek Kerbau Pulih, "dalam waktu beberapa jam saja kepalamu tentu beku dan keras seperti es !"
"Gila," teriak Macan Hitam, "kalau engkau tetap menggunakan Cui-sin-kang, aku bisa mati !"
"Ha, ha, ha," seru kakek Kerbau Putih, "ka lau memang tak tahan, bilang saja kalah. Nanti tentu segera kuhentikan Cui-sin-kang ... "
"Kalah ? Ho, bukankah kalau kalah aku harus mencium kakiku dan menyebutmu 'ayah'? Tidak tidak, aku tak sudi. Masakan aku yang lebih tua harus menyebut ayah kepadamu!"
"Siapa bilang engkau lebih tua ! Pantasnya engkau ini cucuku. Karena sejak aku lahir, aku tak pernah melihat engkau hidup. Baru setelah aku menjadi kakek setua ini, engkau muncul di dunia !" bantah kakek Kerbau Putih.
Demikian kedua kakek yang linglung itu mengadu kepandaian tenaga dalam sambil berbantah. Sekali pun begitu, tenaga dalam yang dipancarkan dari kepala dan daging benjol di punggung kakek Kerbau Putih, bukan kepalang dahsyatnya.
Tampak kakek Macan Hitam itu makin gemetar tubuhnya Rupanya ia mulai kedinginan menerima serangan Cui-sin-kang atau Tenaga-dalam-air-sakti yang memancarkan hawa sedingin es.
Berjam-jam lamanya kakek Macan-Hitam itu menggigil kedinginan. Dan matahari pun sudah silam ke balik gunung, hari mulai gelap. Tiba-Tiba kakek Macan Hitam menggembor keras lalu menarik-narik rambutnya, kumis dan jenggotnya. Berulang kali ia melakukan hal itu.
"Hai, hangat, hangat!" teriak kakek Kerbau Putih, "mengapa kepalamu mulai hangat?"
Kakek Macan Hitam tak menghiraukan. Ia terus menarik rambutnya kencang-kencang dan menggerung seperti macan. Tubuhnya yang menggigil itu pun mulai tenang kembali.
"Kurang ajar, mengapa kepalamu makin panas?" beberapa saat kemudian kakek Kerbau Putih berteriak kaget.
"Ho, ho, ho," kakek Macan Hitam tertawa meloroh, "sekarang rasakanlah pembalasanku. Memang Hou-hwat-sin-kang itu baru mau memancar apabila matahari sudah silam."
"Hou-hwat-sin-kang ? Apakah itu ?" tanya Kerbau Putih.
"Hou-hwat-sin-kang ialah tenaga dalam sakti dari Rambut-harimau. Jangan kira rambutku yang hitam ini tidak ada gunanya. Ada, ada gunanya, bung ! Apabila matahari sudah silam, rambutku itu dapat kutarik khasiatnya yalah memancarkan tenaga dalam yang kekuatannya seperti tenaga harimau."
"O," desus kakek Kerbau Putih, "mengapa saat matahari silam baru dapat memancarkan tenaga-dalam."
"Karena sesuai dengan namanya Hou-hwat a-atau rambut macan, haruslah malam hari dapat digunakan. Bukankah macan hitam itu baru berkeliaran dan unjuk kekuatan pada waktu malam hari?"
"Kurang ajar, engkau Macan Hitam," teriak kakek Kerbau Putih, "mengapa engkau diam saja? Bukankah engkau hendak mengelabui aku? Kapan engkau mendapatkan ilmu semacam itu ?"'
"Baru dalam tahun ini," sahut kakek Macan Hitam, "tetapi aku lupa bilang. Sekali-kali aku tak bermaksud mengelabuhi engkau."
"Hm, setan tua engkau !" damprat kakek Kerbau Putih lalu berdiam diri.
Jika tadi setengah hari, dari tengah hari sampai petang, kakek Macan Hitam yang menggigil kedinginan: Sekarang dari saat matahari terbenam sampai tengah- malam, kakek Kerbau Putih yang mengerenyut muka karena kepanasan. Kiranya
tenaga dalam yang memancar dari Hou-hwat-sin-kang si kakek Macan Hitam itu mengandung hawa panas.
Berjam-jam lamanya kakek Kerbau Putih harus menahan panas sehingga tubuhnya mandi keringat. Memang pada hakekatnya, tenaga-sakti dari ilmu Hou-hwat-sin-kang itu lebih unggul sedikit dari Cui-sin-kang.
Tiba-Tiba rembulan tampak menjulang di tengah angkasa, wajahnya pun tepat terlihat di bawah dasar lembah sehingga sinarnya dapat mencapai tempat kedua kakek itu bertempur.
Sekonyong-konyong kakek Kerbau Putih menguak-nguak tak henti-hentinya. Dan beberapa saat kemudian, kakek Macan Hitam menjerit: "Hai, mengapa tenaga-dalamku menyurut balik ?"
Namun kakek Kerbau Putih tak mau menyahut. Dia tetap diam saja.
"Kerbau Putih, ilmu apa yang engkau keluarkan sekarang ini?" teriak kakek Macan Hitam pula. Tubuhnya mulai gemetar, kepalanya agak pusing.
"Jawab dulu," sahut kakek Kerbau Putih, "bagaimana rasanya kepalamu ?"
"Pusing, huh, kalau terus begini, kepalaku bisa berputar-putar mengelilingi dunia ... "
"Ha, ha, ha . . ," kakek Kerbau Putih tertawa girang, "rasakanlah sekarang pembalasanku. Rembulan sudah berada di tengah, kerbau yang sesat di jalan tak dapat pulang kandang, tentu akan marah, bukan ?"
"Ya"
"Nah, itulah yang dinamakan ilmu Hong-gu-sin-kang atau tenaga dalam Kerbau-gila. Kepalamu dalam beberapa kejab lagi tentu akan berputar-putar dan setelah itu engkau tentu akan jatuh mencium kakiku !"
"Keparat !" kakek Macan Hitam mendamprat lalu ulurkan
kedua tangannya kemuka dan berulang-ulang mencakar. Bukan mencakar punggung lawan tetapi mencakar tempat kosong.
"Uh, uh," sesaat kemudian kakek Kerbau Putih mendesuh-
desuh, "setan tua, hebat sekali tenaga-dalammu yang menghalau tenaga dalamku."
"Hou-jiau-sin-kang !"
"Apa ? Hou-jiau-sin-kang ?"
"Ya, engkau boleh rasakan betapa kekuatan dari ilmu
tenaga dalam Macan-mencakar itu."
Demikian silih berganti kedua kakek itu mengeluarkan ilmu tenaga dalam yang aneh-aneh. Ilmu tenaga dalam yang hanya dimiliki oleh mereka berdua. Dalam dunia persilatan memang tak terdapat ilmu tenaga dalam yang seaneh itu. Karena ilmu-ilmu itu adalah hasil ciptaan mereka sendiri.
Rembulan makin merebah ke barat dan malam pun makin larut. Tengah kedua kakek itu bertempur mati-matian,
sekonyong-konyong mereka di kejutkan oleh sesosok tubuh
yang menimpa tepat di atas kepala yang melekat rapat
dengan daging panggung. Bluk
Yang jatuh itu bukan lain adalah si Blo'on. Karena tertimpuk
banggol kayu oleh Pengemis-sak-ti Hoa Sin, anak itu terlempar
jatuh ke dalam jurang. Dasar belum takdirnya mati. Saat itu di
dasar lembah sedang berlangsung pertempuran antara kakek
Macan Hitam dengan kakek Kerbau Putih. Dan jatuhnya Blo'on
tepat duduk di atas kepala kakek Macan Hitam dan daging benjul kakek Kerbau putih.
"Aduh . ." Blo'on menjerit karena paha kanan menduduki kepala kakak Macan Hitam yang keras. Tetapi paha yang kiri menduduki daging benjul kakek Kerbau Putih tak terasa sakit.
Kedua kakek linglung itu tidak merasa bahwa ada tubuh orang yang menduduki kepala dan daging punggung mereka. Dan mereka pun tak menyangka kalau ada manusia yang

Pendekar Blo'onTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang