Jilid 15 : Karma

3.5K 47 3
                                    

Ceng Sian suthay adalah ketua partai Kun-lun-pay yang merupakan salah sebuah partai besar dalam dunia persilatan dewasa itu.
Pernyataan rahib itu tentang pengalamannya cukup menarik perhatian sekalian ketua persilatan yang hadir.

Dan mulailah suthay itu bercerita : "Aku menuju ke selatan untuk mencari jejak putera Kim tayhiap yang hilang itu. Sampai tiba di ujung daratan yang berbatasan dengan laut selatan, tetap belum berbasil kuketemukan sesuatu. Tetapi laut Lam-hay itu segera membangkitkan ingatanku akan suatu peristiwa besar yang menyangkut mendiang orangtuaku dan kepentingan partai perguruan Kun lun-pay. Segera kuputuskan untuk menyeberangi laut menuju pulau Hailam."

Bimbanglah hati Gwat-ngo menghadapi persembahan cinta diri kedua suhengnya itu. Hendak menerima cinta Hong-kiat. tetapi ia lebih tertarik! kepada Ong Han. Namun kalau menerima cinta Ong Han, iapun kasihan kepada Hong-kiat.
Diantara simpang jalan antara Kasihan dan Cinta itu. akhirnya pertimbangan Gwat-ngo lebih condong kepada Cinta. Cinta itu suara hati tetapi kasihan itu hanya getaran hati.
Kalau ia memilih Hong-kiat, ia merasa lebih kasihan lagi kepada pemuda itu Karena bukankah suhengnya kesatu itu nanya menerima cinta yang berdasar rasa kasihan saja ? Cinta yang sesungguh nya bukan keluar dari hati nuraninya yang tulus? Bukankah dengan demikian suhengnya itu akan men derita batin ?
Ah, tak mau Gwat ngo memaksa suara hati nya dan menipu Hong-kiat. Lebih baik ia berterus terang menolak cinta Hong-kiat. Biarlah suhengnya itu menderita siksaan batin. Tetapi itu
tentu hanya untuk sementara waktu. Kelak tentu suhengnya itp akan memperoleh seorang gadis yang mencin» tainya. Dan diam2 Gwat-ngo berjanji dalam hati akan membantu suhengnya mendapatkan jodoh yang sesuai.
Dengan pertimbangan itu maka mulailah Gwat ngo membuka hatinya untuk menerima cinta Ong Han, suhengnya yang kedua.
Pergaulan antara kedua muda mudi yang menjadi Suheng dan sumoay itu makin hari makin akrab. Walaupun sedapat mungkin Gwat-ngo tak ingin menyakiti hati Hong-kiat karena melihat hubungannya dengan Ong Han, namun Gwat-ngo ta dapat menahan suara hatinya yang mendambakan cinta. Bagaikan sekuntum bunga yang mekar, ia menyambut dengari gembira akan kedatangan sang kumbang berbulu emas.
Hong-kiat bukan tak tahu akan perkembangan kedua sute dan sumoaynya itu. Namun ia seorang yang jujur. Ia mencintai Gwat ngo dengan se tulus hati. Apabila Gwat-ngo gembira, ia turut gembira. Kebahagiaan Gwat-ngo, merupakan keba hagiaanya pula. Karena ia selalu ipgih membahagiakan sumoaynya itu. Melihat hubungan Gwat-nyo dengan suhengnya yang kedua makin bertambah erat, ia hanya dapat menghela napas ...
Pada suatu hari Pek Thian tojin jatuh sakit
"Sudahlah, kalian tak perlu bersedih." kata nya kepada ketiga muridnya yang dengan penuh perihatin siang malam menjaga disampingnya. "setiap awal tentu ada akhir. Apa yang Hidup tentu Mati. Itu sudah kodrat alam. Yang penting bukan lah menjaga dan mempertahankan supaya aku tetap hidup seratus tahun lagi. Karena toh hal itu akan sia2 belaka. Tetapi haruslah menjaga dan mempertahankan apa yang telah kulakukan semasa hidupku"
Ketiga anakmurid itu mengangguk.
"Aku mati, bukan suatu hal yang aneh dan patut disayangkan. Karena setiap manusia tentu tak lnput dari kematian. Tetapi Pek Thian tojin mati, bukan berarti Kun-lun-pay mati juga. Kun-lun-pay harus tetap hidup sampai di akhir jaman. Kun Iuri pay telah menyumbangkan ilmu pusaka dari bang sa kita yang berupa ilmu silat, baik dengan pukul an tangan kosong maupun ilmu permainan pedang Dan hal itu telah diakui oleh dunia persilatan.

Berhenti sejenak untuk mengambil napas, ke tua Kun-lun-pay itu berkata pula :
"Kun-lun-pay didirikan oleh kakek moyang kita dengan jerih payah. Maka sudahlah menjadi kewajiban dari anak2 muridnya untuk menjaga dan mempertahankan perguruan kita itu. Maka kalau kalian bertiga benar2 cinta dan sayang kepadaku, kalian harus berlatih keras untuk mencapai tataran kesempurnaan dari berbagai ilmu kepandaian yang telah kuajarkan itu."
"Baik suhu" kata ketiga murid itu.
Pek Thian tojin tertawa girang. Wajahnv» memancarkan sinar kebahagiaan.
"Puaslah sekarang apabila ajalku tiba" katanya pula, "Kun-lun-pay pasti tetap jaya di tangan kalian. Namun lepas dari tanggung jawabku kepada partai perguruan, masih ada sebuah tanggung jawabku sebagai seorang ayah terhadap puterinya "
"Yah, janganlah engkau terlalu mencemaskan diriku,'' buru2 Gwat-ngo berseru, "aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku, Yang penting ayah harus lepaskan pikiran dan mengasoh secukup-cukupnya agar sakit ayah lekas sembuh"
Pek Thian tojin tersenyum : "Sekarang engkau dapat mengatakan begitu kepadaku, Gwat. Tetapi kelak apabila engkau sudah menjadi orang tua. tentu lain lagi bicaramu."
Kemudian orangtua itu berpaling memandang Hong-kiat lalu Ong Han.
"Hong-kiat." katanya kepada murid pertama "kutahu engkau seorang pemuda yang baik, jujur dan setia. Walaupun engkau agak lamban berpikir tetapi engkau penuh tanggung jawab. Sifat itu amat diperlukan pada pimpinan partai Kun lun-pay . . "
Lalu Pek Thian memandang Ong Han: '"Han engkau seorang pemuda yang berbakat, cerdas dan tangkas. Sifat2 itu juga dibutuhkan oleh seorang pemimpin partai perguruan. Maka aku agak bingung untuk menentukan, siapakah yang kelak a-kan kuserahi pimpinan perguruan Kun lun-pay."
"Suhu," cepat Ong Han berkata, "harap suhu jangan berbanyak pikiran. Toasuhenglah yang harus mengganti kedudukan sebagai pemimpin Kun-lun-pay karena toa suheng adalah murid pertama"
Pek Thian tojin mengangguk : "Benar, memang demikianlah naluri pergantian pimpinan pada tiap partai persilatan. Murid pertama harus yang diangkat sebagai pengganti suhunya. Tetapi aku mempunyai pendirian lain. Pengganti pimpinan partai Kun-lun pay takkan didasarkan atas urut-urutan kedudukan muridnya tetapi akan berdasar pada kecakapan dan rasa tanggung jawabnya terhadap partai Kun-lun-pay".
"Engkau lebih cerdas dan lebih cakap," kata Pek Thian tojin.
"Tetapi toa suheng lebih jujur, setia rasa dan besar tanggung jawabnya," tukas Ong Han.
"Itulah sebabnya maka aku bingung," Pek Thian tojin cepat merebut pembicaraan. Setelah itu ia merogoh kebawah kasur tempat tidurnya. Sesaat kemudian ia sudah mencekal sebatang pedang dengan kerangkanya. Kerangkanya terbuat dari kayu cendana yang diukir macam bentuk seekor naga.
"Inilah pedang pusaka Ceng-lui-kiam." kata Pek Thian tojin". sekarang hendak kupersilahkan kalian untuk memilih : pedang atau kerangkanya."
"Hong-kiat, sebagai murid pertama, engkau kuberi kelonggaran untuk memilih lebih dahulu." serunya kepada Hong-kiat.
Tetaoi pemuda jujur itu menolak : "Maaf, suhu murid tak mempunyai pilihan Baik pedang maupun kerangkanya, murid tetap akan menerimanya dengan penuh hormat dan tanggung jawab."

Pendekar Blo'onTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang