Lacuna

61 2 4
                                    



Aku menyukai mata elok yang kau miliki. Berbentuk almond, pekat, layaknya batu obsidian. Aku suka tatapan itu. Kuat dan menghipnotis. Tatapan indah yang membuatku tak berdaya. Manikmu selalu bersinar terang, melebihi kilauan bintang dimalam hari. Galaksi Bima Sakti sekalipun akan kalah dengan sinarmu. Sorot matamu seolah menghisapku masuk dan menenggelamkanku dalam lautan pekat. Kau adalah rasi bintang terindah.

Senyummu yang tiba-tiba merekah dari bibir tipismu selalu membuat jatungku berdegup hingga batas maksimalnya. Kepingan sel darah bekerja lebih cepat mengikat oksigen dalam tubuhku. Tubuhku kaku namun juga lemas sesaat. Ingin sesekali kukecup bibir itu dengan sepenuh cintaku. Senyumanmu indah, melebihi pemandangan paling indah di dunia sekalipun.

Aku suka jari-jari lentikmu. Terkadang kau memolesnya dengan warna-warna kesukaanmu, kau beri pola-pola lucu sehingga tidak terkesan monoton. Jari-jarimu panjang, namun kecil. Seperti jemari pianis yang suka menari-nari di atas tuts hitam-putih. Ingin sekali hati ini untuk menggenggamnya erat-erat, membawamu lari hingga ujung dunia. Hanya kita berdua.

Suaramu selalu menggema dalam dinding kalbu. Lembut sekali. Seperti kain sutra dengan kualitas tinggi yang membutuhkan proses panjang untuk didapatkan. Saat kau berbicara, melodi indah selalu tercipta tanpa kau sadari. Kicauan burung yang paling indah sekalipun akan kalah dengan melodi indahmu. Kau adalah lagu kesukaanku.

Parasmu yang indah membuatmu tampak seperti satu-satunya keindahan yang sempurna bagiku. Kau adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Tidak cacat, tak berkekurangan.

Rambutmu hitam bergelombang. Seperti ombak yang indah di sepanjang pantai. Ingin kubelai lembut helaian-helaian legam itu hingga kau tertidur dalam pelukku. Tak akan habisnya kau membuatku terkagum-kagum.

Kau begitu indah. Aku tak ingin menyentuhmu. Aku terlalu takut bila ternyata jari-jemariku hanya akan merusakmu. Bisa melihatmu saja aku sudah bahagia bukan kepalang. Walaupun kita dekat, hubungan kita sama seperti tanah yang telah jatuh cinta kepada langit malam penuh bintang. Indahnya tubuh itu hanya bisa kupandangi. Sekali lagi, tak kuasa aku menyentuhmu. Aku sungguh tergila-gila padamu. Kau adalah ekstasi yang tak akan pernah berhenti kucandu. Kau adalah morfinku. Kau membahayakan hidupku yang akan habis hanya dengan menyandumu.

Kau tidak akan pernah tahu dimana keberadaanku. Eksistensiku untukmu hanyalah khayalan. Mungkin kau tak menganggapku ada. Tapi aku ada. Aku selalu di sisimu, menyiapkan bahu untuk tempatmu bersandar, menyiapkan tangan yang selalu bersedia kau genggam erat. Tapi kau tak kunjung menyambutnya. Aku hanya diabaikan seperti seonggok peralatan olahraga tua di dalam gudang olahraga. Aku menunggu saat di mana tangan ini akan berguna, saat bahuku akan menjadi tempatmu tertidur pulas. Aku menunggu kau menyandarkan diri kepadaku.

Hingga kau bertukar janji dengan orang lain. Kau terlihat bahagia bersamanya. Aku hanya bisa melihatmu tersenyum. Sakit sekali, ribuan tombak menghujani hati kecilku. Kini, kau telah memiliki sandaran bagi tubuhmu. Ia telah menjadi tempatmu untuk tertidur dalam peluk. Hati ini telah terpenuhi dengan kekosongan. Sang langit malam telah jatuh cinta dengan sang angin malam.

Ratusan surat yang biasa kuletakkan dalam loker sepatumu tidak lagi ada gunanya. Kata-kata manis yang biasa kukirimkan lewat surat-surat itu tidak membuahkan hasil apapun. Ratusan telepon dariku sudah biasa kau abaikan. Mungkin, kau memang bukan untukku.

Seperti biasanya, aku tidak suka kau dekat dengan orang lain. Aku ingin kau menjadi milikku seutuhnya. Aku tidak tahu, mengapa setiap kau dekat dengan orang lain, dunia dan tubuhku selalu bereaksi. Merah. Seluruh jalanan dan kedua tanganku. Yang kutahu, aku ingin memilikimu. Aku ingin mendapatkanmu. Melihatmu dari dekat. Menyentuhmu dengan lembut. Kali ini, aku ingin membiarkanmu bebas.

Sudah satu bulan lamanya, kau meratapi kepergiannya. Melihat seseorang yang kau cintai sudah bersimbah darah tentu bukan hal mudah dan juga bukan pekerjaan yang mudah untukku. Ia mati karena kutukan. Kutukan karena kau telah mengambil keindahanku. 

Aku tahu yang kau rasakan, kehilangan. Untuk itu, aku ada di sini. Aku menunggumu untuk memeluku.

Oh, afeksiku, mengapa kau sekarang diam saja? Dimana cahayamu yang biasa menarikku itu? Aku tahu kau meratapi kepergiannya. Namun, sebegitukahnya ia berpengaruh untukmu? Tak hanya kukumu yang berpoleskan cat merah. Seluruh tubuhmu pun bersimbah warna merah. Bahkan, pisau yang kau bawa dengan tangan kanan kau beri warna merah. Aku tak berani untuk menyentuhnya. Aku tak mau keindahan tubuhmu koyak karena sentuhanku.

Sudut ruang kamarmu, tempat biasa aku mengawasimu dalam diam berubah menjadi singasanamu dengan dominasi warna merah.

Aku hanya bisa menunggumu menghampiriku.

Langkah kaki yang kian mendekat terdengar. Dari luar kamarmu, kudengar suara ketukan pintu. Apakah ia laki-laki lain yang berusaha mendekatimu? Ku beri tahu kau. Aku lebih baik daripadanya.

Kuambil pisau dari tangan kananmu. Kubuka pintu perlahan sekaligus waspada bila ada serangan mendadak.

Begitu pintu kamarmu terbuka, aku hanya bisa diam kaku. Nafasku terhenti. Jantungku berdegup hingga mencapai batas maksimalnya.

Tak kusadari, pisau itu sudah lebih dulu terjatuh dengan posisi menancap lantai kayu kamarmu.

Kini, kau tersenyum padaku.

Aku tak dapat menahan luapan perasaan yang telah lama kupendam. Oh, gugus bintangku. Afeksiku.

Kurengkuh dia, kupeluk ia erat-erat. Ku bisikkan kalimat ketelinganya dengan lembut,



'jangan pergi, lacuna,'  

LacunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang