🌦️Kelas 2 : K A D O

416 45 0
                                    

_S H I L A_

"Sulit mengungkapkan sosok Adhit dalam satu kalimat. Terlalu banyak kelebihan dan kebaikan pada dirinya. Dia adalah sosok yang kuinginkan dan juga yang kubutuhkan. Dia seperti jawaban atas doa-doaku. Dia selalu berada di tempat dan waktu yang tepat. Adhit adalah cahaya. Tanpanya aku buta."

Duh ..., telattt!

Aku berlari-lari sepanjang koridor kelas 3, kemudian menyeberangi lapangan menuju kelasku. Belum ada guru, syukurlah. Untung saja aku datang tepat waktu, sebelum pintu gerbang di tutup. Jika terlambat sedikit lagi, aku sudah masuk ruang BP dan mengisi buku hitam.

Kelas masih riuh. Teman-teman masih asyik mengobrol dan bercanda. Kulihat Adhit sedikit kesal melihat aku nongol di depan pintu. Aku tersenyum cepat padanya dan buru-buru melangkah ke bangku di sebelah Febi.

"Dah baikan? Kok, dah masuk?" tanya Febi.

"Bosen di rumah terus, lagian pipiku dah nggak bengkak lagi, kan? Tinggal luka di sudut bibir aja. Itu pun dah mengecil," jelasku.

"Adhit kayaknya kesal, deh," kata Febi menunjuk ke arah Adhit yang sedang memperhatikanku. Aku menoleh dan tersenyum padanya. Dia hendak berdiri tapi dilihatnya Bu Beth memasuki kelas. Pelajaran seni musik akan segera dimulai.

~o0o~

"Aku baik-baik saja, Dhit. Udah nggak bengkak. Yang di bibir juga udah nggak terlalu kelihatan, kan?" Aku menjelaskan padanya, ketika Adhit bertanya kenapa aku sudah masuk sekolah.

"Aku cape terus-terusan di rumah."

Sebenarnya surat izin sakitku masih sehari lagi. Baru besok aku masuk sekolah. Adhit pasti kesal karena aku berangkat sendirian. Kadang-kadang pacarku ini terlalu berlebihan kasih perhatian. Aku yang biasanya mandiri sekarang jadi tergantung padanya.

"Kantin?" tanya Adhit melembut.

Kelihatannya dia sudah tidak terlalu kesal lagi. Seharusnya dia senang aku sudah masuk sekolah. Karena aku juga gitu, aku senang bisa masuk dan ketemu dia lagi. Punya pacar kayak Adhit benar-benar anugerah buatku. Pinter, cakep, baik lagi. Kalau orangtuanya kaya, itu, sih bonus. Toh, aku nggak suka manfaatin kekayaan ortunya. Sebisa mungkin kalau jajan atau makan di luar aku lebih suka bayar sendiri. Kami juga nggak pernah malam mingguan. Menurut Adhit malam Minggu dan hari Minggu adalah waktu buat kumpul sama keluarga. Meskipun anak tunggal, Adhit sangat dewasa. Kadang aku mikir kalau kami ini nggak seumuran. Padahal umurku hanya beda setahun di bawah Adhit.

"Mau beli apa?" tanya Adhit ketika tiba di kantin.

"Aku bisa beli sendiri. Aku juga bisa milih sendiri," sahutku.

"Aku tunggu di bangku sana, ya," kata Adhit sambil menunjuk bangku kosong di kantin. Aku mengangguk.

Setelah memilih dan membayar, kuhampiri Adhit. Aku tahu, banyak yang memperhatikan kami. Biasanya mereka memperhatikan aku karena ingin tahu, cewek seperti apa, sih yang disukai adhit? Kalau mereka memperhatikan Adhit sudah bisa di tebak, mereka semua mengagumi sosok Adhit sekaligus kasian karena harus pacaran dengan cewek seperti aku.

Ishh ..., emang aku cewek seperti apa, sih?

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Adhit heran.

"Nggak. Lagi inget sesuatu yang lucu aja," jawabku sok misterius.

"Kamu mulai main rahasia-rahasiaan, ya sama aku?" tanya Adhit ketus. Matanya menatap bibirku. Masa, sih dia pengen kita ciuman? Di sini? Yang bener aja!

"Masih belum mau cerita siapa yang bikin kamu babak belur?" tanyanya. Hhh, ternyata aku kege-eran.

Aku menggeleng. "Udah lewat. Nggak perlu di bahas," jawabku sambil memsukkan risoles ke dalam mulut.

Rain to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang