Ini jam sepuluh pagi, biasanya Javas sedang membolak-balik halaman buku di perpustakaan, tapi hari ini sepertinya bukan hal biasanya bagi Javas. Laki-laki itu kini ikut serta bermain sepak bola di lapangan, bersama anak-anak satu angkatan, juga kakak kelas. Kalau ditanya, jawaban Javas yaitu karena ia ingin olahraga. Semalam ia bergadang, jadi kalau istirahat pagi ini dia habiskan dengan membaca buku, ia takut berakhir ketiduran.
Padahal, letak lapangan bola dekat dengan kelas Dara. Jadi, bisa saja ada alasan lain.
Javas sedang meneguk minuman di botol saat salah satu kakak kelas, namanya Romy, menepuk bahunya. "Sering-sering main dong, Vas. Kita welcome kok, sama adek kelas," ucap kakak kelas itu.
Javas mengelus dadanya, untung saja barusan ia tak tersedak. "Ya, asal lo nggak bikin gue keselek aja, sih."
Romy tertawa, kemudian menepuk bahu Javas lagi. "Main bola itu kece, Vas. Jadi kutu buku sih, boleh-boleh aja, tapi jadilah kutu yang suka main bola. Kutu kece."
"Kalau yang begitu namanya kutu buku atau kutu bola?"
"Kutu kece. Ive said it."
Kini Javas yang menepuk bahu Romy sambil tertawa. Dua orang itu sedang berdiri di pinggir lapangan, teman-teman yang lain masih asyik berebut bola di lapangan. Javas sendiri, memang hendak minum sebentar, dan kebetulan Romy juga haus.
Sambil menutup botol minumannya, Javas melirik ke arah koridor. Dara di sana, berjalan sendirian sambil membawa tumpukan kertas-kertas. Ia sontak menaruh botol minumnya di lantai, kemudian melangkah hendak menghampiri Dara. Sebelum itu, Javas melambaikan tangannya pada teman-teman di lapangan. "Hoi! Gue udahan, ya. Duluan!"
Kala Javas mulai berjalan menjauh, dengan jelas ia mendengar Romy berteriak dari belakang, "Untung ganteng, Vas!" Javas hanya tertawa kecil, kemudian mempercepat langkahnya, dan berhenti tepat di hadapan Dara. Menghalangi langkah cewek itu.
"Bawa apa, Dar?" tanya Javas sambil tersenyum.
Dara balik tersenyum. "Kertas. Gue nggak tau ini kertas apa, yang jelas gue disuruh bawa ini ke ruang guru," tuturnya.
"Yaudah, biasanya kan di saat kayak gini, cowok-cowok bakal bantuin bawa. Jadi, sini gue bantuin bawa," kata Javas. Cowok itu langsung mengambil alih semua kertas di tangan Dara. "Lo bawa tiga perempat, gue seperempat." Javas memisahkan kertas-kertas itu dan memberikan sebagian di antaranya pada Dara.
"Masa banyakan gue?"
Javas tersenyum, kemudian mengambil langkah lebih dulu untuk mulai berjalan, membuat Dara ikut berjalan, dan kini mereka menyusuri koridor berdampingan.
"Karena lo beda dari cewek lain, lo harus lebih tangguh dari mereka," jelas Javas, matanya mengamati lalu lalang siswa-siswa lain di depannya. "Dan gue yang bakal ngajarin lo untuk lebih tangguh lagi. Diawali dengan bawa kertas-kertas ulangan fisika ini."
Dara hanya tersenyum samar. "Kalo gitu, biarin aja gue yang bawa semuanya," ucapnya.
"Jangan dong, nanti lo-nya jadi tangguh, gue-nya jadi gemulai," sahut Javas, cowok itu lalu menoleh ke arah Dara. "Semalem nggak apa-apa, kan? Atau jangan-jangan lo belum tidur?"
"Iya, emang gue belum tidur, jangan-jangan lo juga?" Dara menatap Javas menyelidik.
"Yah, kalo banyak kesamaan biasanya jodoh, lho, Dar," gurau Javas sebagai jawaban.
"Emangnya mau berjodoh sama gue?"
"Asal lo-nya juga mau sama gue, Dar. Dan gue tau lo nggak mau." Javas menyengir. Momen-momen berikutnya mereka hanya terus mengobrol, memperdebatkan hal-hal tidak penting, hingga akhirnya keduanya sampai di ruang guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Estetika Cinta (hiatus)
Teen Fiction[Dunia yang menunggu untuk kau kunjungi] "Mereka bertanya, buta kah aku telah memilihmu? Entahlah, apakah cinta butuh alasan?" - Javas Aharon. "Walaupun yang setiap hari mereka cibir itu kita, aku tahu kita bisa, kalau mereka seribu aku dan kamu sat...