Liam bersin, untuk yang kesebelas kalinya dalam kurun waktu dua jam. Tugasnya belum selesai, walaupun menurut Liam gudang keluarga Malik sudah sangat rapi. Liam berkeliling gudang, mengamati piano tua yang masih layak pakai, menekan tuts hitam dan putih yang berjajar rapi.
Dia menggeser rak buku berayap dengan segenap tenaga yang tersisa, ya barang kali ada pintu atau semacamnya yang sembunyi di balik rak. Kosong. Hanya dinding berdebu. Liam mengambil kemoceng dan membersihkannya.
"Akhirnya selesai juga," Liam mengelap peluh, mengedarkan pandangan ke seisi gudang. Penampilannya masih seperti pertama kali Liam menginjakkan kaki di sini, tapi lebih bersih dan kelihatan lebih teratur.
Prang!
Dengan itu Liam menghela napas. Sebuah pigura jatuh dan pecah berkeping-keping karena tersenggol sikunya. Liam membungkuk untuk mengambil pecahan kaca, lalu menatap potret yang ada di dalam pigura. Potret sebuah keluarga. Zahra juga termasuk di dalamnya. Di bagian bawah kertas foto, terdapat tulisan; dari kiri ke kanan: Zahra, Ameera, Zayn, Adilla, Trisha, Yasser.
"Adiknya Mbak Zahra yang cowok cakep juga," gumam Liam. Sedetik kemudian, dia merasa malu sendiri.
"Woy!" terdengar suara bentakan dari belakang Liam. "Ngapain lo ngelihatin foto keluarga gue? Kerja yang bener!" Ameera mendelik marah sambil berkacak pinggang.
"Y-yaelah, Mbak, u-udah selesai juga. Saya boleh pulang kan, Mbak?" Liam nyengir unyu. Ameera memasang muka jijik.
"Gak usah pasang wajah begituan. Jijik gue liatnya. Apa lo bilang tadi? Pulang? Lo baru boleh pulang pas Mbak Zahra udah balik, paham lo? Paham gak?!" seru Ameera, menghentakkan kakinya kuat-kuat.
"Paham, Mbak. Tapi, Mbak Zahranya pulang jam berapa?"
"Yah... Sekitar jam delapan malem lah."
"What? Jam delapan? Kak Ara bisa pukulin saya pake panci kalau saya belum pulang lebih dari jam enam sore! Mbak, plis lah. Kasihani saya."
Ameera mengerutkan dahi, dan menoleh ke belakang Liam. Seulas senyum lega terukir di wajahnya. Dia menatap Liam penuh haru. "Makasih udah bantuin gue buat mecahin tu poto..."
"Hah?"
"Kita ke atap yuk?" Ameera tersenyum, bukan senyuman sinis atau pedo, melainkan senyum tulus. Kedua matanya membentuk bulan sabit, dan Liam baru sadar bahwa Ameera punya gingsul.
Diraihnya tangan Liam, dan menyeret cowok itu ke sebuah ruangan kosong. Ameera membungkuk, diikuti oleh Liam, masuk ke dalam perapian. Ameera memanjat bata demi bata. Gerakannya lincah, lincah banget malah.
Liam terus memanjat, sesekali menoleh ke atas, Ameera sudah sampai di ujung cerobong asap. Sementara dia masih setengah jalan. Dia melihat Ameera berusaha membuka penutup cerobong, dipukulnya triplek kayu itu berkali-kali, hingga akhirnya cahaya matahari sore merembes masuk dan mengenai mata coklat Liam.
Ketika sampai di ujung cerobong, bertumpu pada kedua kaki, Liam melompat. Suara gedebuk menggema. Ameera meringis.
"Lo gak papa?" tanyanya polos.
"Gak papa palelu, Mbak! Eh, maksud saya, saya gak papa, hehehe," Liam ketawa bego.
Mereka duduk di ujung atap, menatap matahari kemerahan di ujung barat langit. Ameera menutup mata, Liam menunggunya bicara. "Sekali lagi, makasih udah mecahin foto keluarga gue. Gue berterima kasih banget sama lo."
"T-ta-tapi Mbak, itu kan p-penting. Masih bagus, bisa dipajang. Maksudnya, Mbak Zahra gak marah, gitu?" suara Liam bergetar. Biasanya, Ara akan memarahi Liam habis-habisan jika berani mengotori foto keluarga mereka. Nah, sementara Ameera? Ameera malah bersyukur dan bahkan berterima kasih karena Liam sudah memecahkan foto keluarganya.
"Mbak Zahra gak bakal marah. Percaya sama gue, bahkan dia sendiri yang naruh foto itu di gudang," mata hijau Ameera mulai berkaca-kaca. "Gue gak butuh foto itu. Gue sama sekali gak butuh."
"Maksudnya?"
"Maksud gue... Setelah dua belas tahun gue berusaha mecahin foto itu, tapi gak pernah bisa. Dan lo ngebantu gue," ada jeda sejenak, sebelum Ameera menunduk dalam dan meneteskan air mata.
"Gue tertarik buat nyoba hidup kayak lo. Gue gak peduli seberapa sengsaranya hidup lo sama kakak lo yang galak itu."
"Hidup saya nggak sengsara," ujar Liam, menoleh ke arah Ameera. "Ya, mungkin saya sering digampar atau dipukul sama Kak Ara. Meskipun gitu, hidup saya juga nggak sempurna."
"Lo masih mending. Nah gue? Orang tua gue cerai, gue, kakak gue, sama dua adek gue yang lain terpaksa tinggal bareng sama nyokap. Bokap gue kawin lari sama cewek lain. Nyokap gue bunuh diri, lompat dari jembatan, pas banget Mbak Zahra lagi masuk rumah sakit. Gue terpaksa banting tulang buat Zayn sama Adilla. Gak ada keluarga gue yang bisa diandelin selain saudara jauh gue di Maluku. Sekarang sakit mana, lo ato gue?"
Liam bungkam seribu bahasa.
"Gak cuma itu aja, Li, gue bahkan terpaksa daftar SMA sendiri. Pas lulus pun, gue gak sempet bilang sama Mbak Zahra kalo gue dapet nilai UN yang tertinggi di sekolah. Sekarang? Gue terpaksa putus kuliah, padahal gue pingin banget jadi sarjana," sepertinya Ameera tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis sesenggukan di bahu Liam.
"Sabar, Mbak," Liam mengusap bahu kiri Ameera.
"Cerita lo sendiri gimana?" kata Ameera sambil menyedot ingus.
"Hah. Cerita saya? Gak jauh beda dari Mbak Ameera sendiri. Ya, emang sih ortu saya gak cerai. Mereka dulu jarang kontak-kontakan. Bahkan saya pernah lihat, nama Mama di hape Papa diganti jadi 'Home'. Lucu, ya?"
Ameera ngakak.
"Kakak saya pun gitu. Strict tingkat dewa. Saya gak boleh jadian sampai saya umur 24 taun. Saya gak boleh pulang lebih dari jam enam sore. Saya gak boleh bawa cewek, apalagi cowok ke dalam rumah. Saya gak boleh dapet peringatan satu kali pun dari kampus. Saya gak boleh nonton sinetron yang tung tung tararara tung tara tung itu," Liam menghela napas kesal. "Padahal saya suka banget," dia berbisik.
"Apa?" Ameera terbelalak tak percaya. "Lo suka Uttaran?"
"E-eh? G-gak, Mbak. Astaga, demi dewa saya gak suka," Liam gelagapan. Bisa malu kalau ketahuan bahwa Liam suka Uttaran sejak dulu.
"Terus terus? Cerita lo gimana?"
"Ya begitu lah, Mbak. Mama saya meninggal pas saya masuk SMA. Jadi, saya terpaksa hidup sama kakak dan Papa saya. Papa saya juga gitu, gak pernah ngurusin kami bertiga. Kesannya kayak... Saya cuma hidup bareng Kak Ara sama adik saya Niall. Papa kerjanya tiap hari. Saya aja gak tau ngapain aja itu tua bangka di kantor. Nyebelin deh, benci saya," kata Liam panjang lebar.
"Eh tapi kalo didenger-denger, cerita lo itu sa--"
Perkataan Ameera terputus oleh dering telpon. Buru-buru cewek itu mengangkat telponnya. Setelah beberapa detik, matanya melebar, kembali berkaca-kaca. Liam mendadak was-was.
"Li..." kata Ameera begitu sambungan dimatikan. "Adek gue yang cowok masuk rumah sakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel Without Wings //ziam\\
FanficCase 1: Liam Payne, 19 tahun, skripsi gak kelar-kelar, playboy cap golok, begajulan, anak dugem, depresi kuliah, broken home, suka Matematika, PPKN, dan seabrek pelajaran anak SD lainnya, gak pernah serius sama suatu hubungan. Solusi:: Zayn Malik Ca...