Seperti sebuah sihir, Wonderland mendadak berubah terang.
Gadis itu menatap sekelilingnya dengan tatapan kosong. Lampu-lampu neon membuat kabut menghilang, menampakkan langit-langit tinggi dengan pipa yang menghembuskan angin dingin. Tekstur kasar tanah berbatu berubah menjadi permukaan halus keramik berlumur darah, dinding tumbuhan berduri digantikan dengan dinding putih yang menjulang.
Project Alice hanyalah sebuah permainan dengan latar hologram.
Sei masih tidak tahu apa yang mendorong mereka semua membuat ini, membuat tujuh orang saling membunuh satu sama lainnya hanya demi gelar Alice yang entah apa gunanya. Ia tak tahu apakah mereka memiliki agenda dan tujuan tersembunyi.
Atau hanya ingin menikmati rasa frustasi milik orang lain.
Hasegawa Aoi menarik Sei berdiri, menjaga satu tangan di atas mata Sei selagi mereka berjalan. Yang sesungguhnya sia-sia, karena Sei dapat melihat tangan pucat Hisato Ryou dan kaki Miyamura Atsushi yang berlumuran darah. Rambut platina Nymph dan jemari lentik Minami Fuyukashi yang patah. Telinga kelinci Hashiri Noga dan Kiba. Serta darah Kuroki Nanami dan enam sosok yang terbaring tanpa nyawa.
Bila ini mimpi, Sei ingin terbangun.
Atau lebih baik lagi; mati.
Aoi berhenti, dan Sei mengintip dari sela jemari. Terdengar suara desis besi, dan dinding berhiaskan sulur tumbuhan serta bunga di hadapan mereka bergeser ke atas, menampakkan lorong putih dan lantai keramik yang sama menyilaukannya dengan Wonderland.
"Apakah kau benar-benar ingin melihat dunia?" suara Aoi turun beberapa oktaf, berubah menjadi lembut dan samar. Seolah ia tahu apa yang tidak Sei ketahui, sesuatu tentang dunia di luar sana—semesta yang dirindukan Sei.
Gadis itu tidak menjawab, alih-alih menatap kedua telapak tangannya sendiri.
Darah masih menodai telapak tangannya, dan samar-samar ia ingat denyut leher pemuda berambut cokelat muda yang ia cengkram sekuat tenaga. Ia ingat kala cahaya menghilang dari mata gadis berambut platina. Ia juga ingat teriakan tanpa suara pemuda berambut hitam yang matanya secerah langit malam tanpa bintang.
Ia juga ingat gerak bibir Kuroki Nanami sebelum wanita itu tumbang.
Setelah adrenalin menghilang, kesadaran menghantam; ia membunuh banyak orang. Jiwa manusia, nyawa makhluk hidup lainnya. Dua di antara enam adalah apa yang dapat ia sebut sebagai temannya—seorang gadis berambut gelap yang masih percaya bahkan pada ambang kematian, dan pemuda berambut biru yang menepuk bahunya sebelum tumbang.
Sei berhenti berjalan.
Dan Aoi pun pula.
"Aoi."
Suaranya kosong dan hampa, sama seperti pikirannya. Sama seperti Alice yang terbangun di tengah kegelapan Wonderland, dengan secarik kertas dan kemampuan untuk bertahan hidup. Ia mencengkram ujung pakaiannya yang ternodai darah kering, satu lagi pengingat ketika ia merobek kulit dan menusuk daging, ketika ia merebut nyawa yang bukan miliknya.
"Apakah dunia seimbang dengan kematian mereka?"
Dan hati Aoi menetes, menetes, menetes.
"Bila kau berpikir begitu, maka demikian."
Sei ingin menjerit dan meringkuk di lantai.
Aoi menariknya kembali berjalan, melewati lorong putih yang kosong. Gadis itu hampir dapat membayangkan sosok Miyamura Atsushi berlarian di lorong, di belakangnya adalah Hisato Ryou yang murka. Ia hampir dapat menyentuh Kuroki Nanami yang berjalan dengan setumpuk kertas di tangan, di sisinya adalah Nymph dan Minami Fuyukashi dan Iva Lucille. Ia hampir membayangkan dirinya menatap Hashiri bersaudara mengintip dari belokan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Project Alice
FantasySatu cerita, dua sandiwara, tiga menara; yang mana yang nyata?