Fajar dan Senja

609 1 0
                                    

Fajar dan Senja

Kita tidak akan pernah bisa bersama. Terlalu jauh untuk bisa mengenal satu dengan yang lain. Jangankan untuk saling memahami, sekedar saling menyapa pun rasanya tidak akan mungkin. Aku untuk malam, dan kau untuk siang.

Indahnya matahari terbenam selalu bisa menenangkan hatiku. Langit kini menjadi oranye kemerah-merahan. Siluet dua bocah kecil yang berlarian dihadapanku, ditambah debur ombak yang kencang seakan memanggilku untuk kembali ke masa itu; kembali ke masa di mana Aku dan Dia dapat bertemu, dapat saling menyentuh, meskipun semua orang berkata Fajar dan Senja tidak akan pernah bertemu. Ku pejamkan mataku sejenak, bukan untuk membuat mata ini basah karena air mata, aku hanya ingin mengenang.

Flashback

6 TAHUN YANG LALU (2000)

“Halo teman-teman namaku Fajar, aku pindahan dari SMP di Surabaya. Senang bertemu kalian.” Suara cempreng dan medok itu, suara sahabat kecilku sewaktu dia memperkenalkan diri di depan kelas. Ya, dia anak pindahan dari Surabaya. Dia anak yang culun, berkacamata tebal, tubuhnya pendek. Teman-temanku pada saat itu tidak ada yang mau bergabung dengannya. Tapi tidak denganku, aku merasa dia anak yang baik, dan aku mau bergabung dengannya.

“Hai Fajar, aku Senja” Ucapku sambil mengulurkan tanganku. “Hai, kamu orang pertama yang mau berkenalan denganku” Ucapnya sembari membalas jabat tanganku. “mmmm sepertinya teman yang lain tidak menyukaiku dan tidak mau berteman denganku. Apa kamu tidak malu berkenalan denganku senja?” Ucapnya sambil menundukan kepalanya. “Berteman itu dengan siapa aja kali. Ngapain aku harus malu sih? Aku yakin kamu anak baik. Merekanya aja tuh yang lebay, kenal kamu aja belum. Ya nggak? Hehe” Aku menghibur. Sejak perkenalan itulah kisah kami dimulai. Kami menjadi teman yang sangat dekat.

27 Desember 2002

Tangis air mata menyeruak dari rumah itu, rumah sederhana yang penuh dengan pepohonan dan bunga, mengisyaratkan sang pemilik rumah sangat mencintai kehijauan. Namun ada yang aneh dari rumah itu. Rumah itu tampak sangat ramai, dipenuhi banyak tamu berbaju hitam. Aku melihat sekeliling rumah itu, tepat di depan kotak pos terdapat sebuah bendera berwarna kuning. Tanpa berpikir panjang aku langsung melepas tasku dan masuk ke rumah itu, aku melihat seorang bocah seusiaku sedang menangis memeluk jenazah seorang wanita yang telah dikafani “Mama mama… bangun… mama bangun” Isak bocah tersebut. Aku pun tak kuasa menahan tangis, aku pun pernah berada di posisi itu, meskipun yang aku panggil itu bukan mama, melainkan papa. “Fajar….” Panggilku lirih. “Senja… mamaku.. heuheuheu” Ucap bocah itu sambil memelukku, aku balas pelukannya. Aku ingin sekali menenangkan bocah ini, namun melihatnya menangis, membuatku juga ingin menangis. Aku hanya bisa menepuk-nepuk bahunya, aku harap, dengan tepukan itu ia bisa merasa sedikit lebih tenang.

Lantunan bacaan Al-Quran terdengar sangat indah, semua orang terhanyut, semua orang mendoakan perempuan ini, perempuan yang sudah ku anggap sebagai ibu keduaku. Mendengar Fajar masih terus menangis sampai saat ini, membuatku sesak. Kebersamaan kami, kebersamaan orang tua kami, meskipun baru terjalin 2 tahun, tapi aku merasa seperti sudah selama usiaku ini mengenal mereka, Tante Indri dan Fajar. Tante Indri merupakan perempuan cantik berhati malaikat, sangat keibuan, sangat pengertian. Tidak heran seisi rumah ini penuh dengan pelayat-pelayat yang tidak henti-hentinya datang dan mengirimi bunga, atau sekedar ucapan turut berduka cita. Aku yakin Allah menyayangi Tante Indri makanya Allah memanggilnya secepat ini, sama seperti papa. Allah ingin Tante Indri dan Papaku bisa bersamaNya, mengisi surga yang menanti banyak orang baik untuk tinggal disana.

Proses pemakaman berlangsung khidmat, cuacanya sejuk, tidak panas. Tante Indri benar-benar disayangi Allah, pikirku. Fajar sudah berhenti menangis, kini ia berada dipelukan ayahnya, Om Rendra. Om Rendra sosok ayah yang sangat diinginkan banyak orang, lelaki tampan, baik hati dan tegas. Selintas terpikir di benakku, Mama dan Om Rendra itu cocok. Om Rendra cocok menggantikan Papa, begitupun sebaliknya, Tante Indri juga pasti senang Fajar mendapat ibu tiri yang baik seperti mamaku. Tapi aku langsung menghapus pikiranku, bagaimana mungkin aku berpikiran seperti ini disaat Tante Indri baru saja dimakamkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 21, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fajar dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang