38.5 - Alice of White, Alice of Violet

87 12 0
                                    

Bagaimana mereka masih bertahan di tengah kekacauan bernama Wonderland?

Mungkin karena mereka memiliki satu sama lainnya.

Mereka adalah dua terakhir dari empat yang identik di antara tujuh. Rahasia yang terbagi di antara mereka jauh lebih dalam dari yang terlihat. Dalam satu lirikan mata, tidak ada yang pernah menyangka bahwa mereka berbagi masa lalu pula. Karena berbeda dari dua yang lainnya, mereka berbagi imaji yang sama. Seolah mereka adalah satu dalam tubuh berbeda.

Tetapi toh, memang itu kebenarannya.

Mereka saudara—tidak sedarah, namun mereka menghabiskan waktu yang sangat lama bersama. Dari awal mereka membuka mata, menatap dunia untuk pertama kalinya, hingga mereka didorong jatuh ke dalam permainan yang melibatkan nyawa tujuh anak manusia.

Yang tertua adalah gadis yang berambut platina, Takahashi Airi. Yang nantinya mengangkat busur dan panah dalam akuransi yang mustahil dimiliki seorang remaja belia. Yang wajahnya hampa akan emosi, namun matanya dipenuhi bara determinasi. Yang mematuhi Queen of Spade bagaikan marionette terikat benang transparan yang mustahil dilepas jemari.

Yang termuda adalah gadis berambut hijau, Takahashi Ai. Yang nantinya menciptakan retakan kecil pada awal kisah Alice di Wonderland mereka. Yang menuruti Chesire Cat tanpa usaha untuk melawan yang pasti. Yang senantiasa tenggelam dalam kekosongan di dalam hatinya kala ia sadar bahwa untuk pertama kalinya, ia berdiri sendirian di tengah semesta.

Dalam konteks yang berbeda, mereka berdua adalah dua diantara tujuh yang paling menyedihkan—satu-satunya yang berpikir dilempar ke dalam Wonderland adalah sebuah berkah, bukan siksaan, bukan pula pemaksaan. Tidak seperti Miyamura Atsushi yang kehilangan emosi, atau Hisato Ryou yang direngut dari mimpi, atau bahkan gadis berambut cokelat tua yang hanya sanggup bergantung kepada serpihan dunianya sendiri.

Masa lalu mereka terlalu berat untuk ditanggung sendiri, jadi mereka berbagi.

Keluarga Takahashi adalah sebuah keluarga biasa. Jauh lebih menyedihkan dari Hisato, apalagi bangsawan seperti Futaki dan Soushi. Mereka hidup di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk semesta, hampir tak terjangkau oleh cahaya lampu jalanan yang melayang di atas aspal dan suara desis mobil yang berkendara di tengah gemerlap dunia.

Karena walaupun dunia sudah menjadi kesatuan tanpa batas geografi, bukan berarti ekonomi sudah merata dan semua manusia hidup bahagia—karena pada dasarnya, realita berbeda dengan buku cerita. Setiap hal selalu memiliki kelemahan, dan di tengah politik diktator yang dipenuhi kerahasiaan, kemiskinan adalah salah satu hal yang belum juga terselesaikan.

Airi bukanlah anak yang diinginkan. Ia dilempar ke dalam tempat sampah yang diangkut setiap paginya oleh petugas kota. Disembunyikan di dalam kardus penuh selimut dan mainan agar ia tetap tenang hingga kardus itu dihancurkan di dalam api beserta sang anak malang.

(Mungkin seharusnya Airi memang mati saja—toh, tak ada yang berbeda dari takdirnya.)

Keluarga Takahashi menemukannya secara tidak sengaja, dan melawan segala logika serta prospek kehidupan ekonomi mereka di masa depan, mereka memungut Airi. Mengenalkannya kepada Ai, memberikan keduanya cinta yang sanggup diberikan dunia ini.

Semakin kedua gadis itu bertumbuh besar, kebutuhan semakin banyak, uang menjadi masalah lagi, dan semesta indah mereka yang terdiri dari cinta dan kasih sayang hancur begitu saja.

Karena bagaimana pun juga, semuanya dapat dibeli dengan uang. Pada masa yang mungkin akan datang, uang akan jauh lebih dibutuhkan daripada oksigen—karena, hey, Kau bisa membeli apapun dengan uang, tetapi oksigen hanya untuk bernapas semata, semuanya hanyalah masalah proritas; hidup untuk mati, atau mati untuk hidup?

Ayah mereka, seorang pria paruh baya berambut hitam berantakan yang tenggelam dalam keputusasaan, mengambil satu langkah terakhir hanya demi setumpuk uang kertas yang akan habis dalam hitungan waktu. Karena dunia masih berputar dan detik tidak akan berhenti.

Ia menjual Airi dan Ai.

Di tengah utopia yang penuh sesak akan segala hal yang dapat manusia bayangkan, penjualan manusia tetap berlanjut untuk tujuan lain yang jauh lebih buruk daripada penghibur klub malam atau pekerjaan-pekerjaan sejenis yang dipandang sebagai sesuatu yang hina.

Penjualan manusia tetap eksis untuk organ mereka.

Takahashi menjual Airi dan Ai untuk seluruh organ tubuh mereka, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mereka hanya sedikit lebih beruntung karena jatuh ke tangan seorang agen pemerintah yang membutuhkan sumber daya manusia yang lebih.

Mereka dibawa ke dalam sebuah fasilitas di suatu tempat yang tersembunyi. Kedua mata mereka ditutup hingga mereka menatap pintu ganda berlapis besi yang mendesis terbuka dalam beberapa ketikan jemari pada kunci hologram otomatis di salah satu sisi.

Ai berbisik kepada Airi, dan gadis yang lebih tua hanya dapat menggenggam tangan adiknya lebih keras lagi—apa yang akan terjadi pada mereka setelah ini? Hidup? Mati? Hidup lalu mati? Ai hanya ingin pulang, tetapi Airi tahu mimpi itu hanya tinggal delusi.

Airi melihat jendela di lorong yang sepi.

Wanita paruh baya yang membeli mereka tidak pernah mengambil langkah yang lebih untuk berhati-hati, jadi Airi menarik tangan adiknya dan berlari. Membuka jendela yang kacanya jauh lebih keras daripada kaca pada umumnya dan melompat dua lantai ke bawah.

Airi dan Ai hanya sedikit lebih beruntung.

Fasilitas itu tidak begitu jauh dari ujung hutan, hanya beberapa meter dan lima puluh lima tarikan napas panjang. Ketika mata mereka bertemu dengan sinar matahari, ekspetasi mereka jatuh kepada jalanan yang sepi dan gedung-gedung pencakar langit jauh di tengah kota hingga hanya terlihat ujung dinding beton mereka yang berkilau menusuk langit.

Bukan asap yang membumbung tinggi dan ledakan demi ledakan yang bersahutan kala seluruh kendaraan menabrakan diri. Segalanya terjadi begitu cepat hingga Ai dan Airi sama sekali tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Sosok-sosok berlarian ke sana dan kemari, dalam jeritan dan teriakan yang campur-aduk hingga kalimat mereka tidak lagi membentuk kesatuan yang dapat dimengerti.

Di tengah suara bising dan kepanikan yang membuat dunia berhenti, Ai berteriak.

(Apakah dunia mencapai akhir?)

Airi tidak tahu, dan ia tak ingin tahu.

Gadis berambut platina itu menarik adiknya, merangsek maju menembus asap dan jelaga. Melewati seorang anak laki-laki berambut cokelat muda yang meringkuk di sudut penuh bayangan, seolah berusaha menyembunyikan dirinya. Mereka menangkap sosok gadis kecil berambut cokelat tua yang meneriakkan tantangan kepada sekumpulan orang dewasa. Mereka melirik sosok anak perempuan yang berdiri membeku di tengah jalanan. Mereka mendengar suara tembakan dari tangan amatir yang dipenuhi dengan rasa teror dan ketakutan.

Airi menarik adiknya masuk ke dalam sebuah gedung yang jauh dari percikan api dan jalanan, merunduk di tengah bayang-bayang dan berbaring di bawah meja kayu yang dihiasi dengan sobekan-sobekan kertas yang dilempar dalam kepanikan.

Semuanya terjadi dalam satu peristiwa yang saling berhubungan.

Karena pada dasarnya, mereka bertujuh ada di dalam tempat dan waktu yang sama, takdir dan kehidupan yang sama, keadaan yang berbeda. Seolah takdir memang benar adalah tiga wanita yang mencengkram benang beserta guntingnya, mengikat tujuh benang kehidupan menjadi kesatuan yang mustahil untuk dilepaskan dengan tangan.

Dan benang yang mereka jadikan basis utama, adalah milik gadis berambut cokelat tua.

.

.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang