Dia yang dahulu pernah aku gilai. Yang orang lain katakan aku tak dapat mendapatkannya. Yang orang lain katakan aku hanya bisa berteman dengannya. Dia yang berkulit putih pucat bibirnya merah alami. Secantik kata kiasan di puisi-puisi lama. Tetapi dia sudah lama menjauh, memutuskan hubungan yang sangat sangat indah. Susah untukku membawanya kembali, hanya kerana 'insiden' itu."Orang itu sudah jauh em. Lupakan" Kata seorang yang tiba-tiba memelukku.
Aku memutar tubuhku menatapnya seduktif. "Apa yang bisa aku dapatkan ketika aku melupakannya dan tak pernah mengingatnya lagi."
"Kau akan dapatkan aku sebagai gantinya." Pelukkannya makin erat.
Matanya menantang mataku. Matanya indah berbeda dengan dia yang pergi, meskipun lebih cantik dia. "Jika itu terjadi, maka dia akan berpikir 'insiden' itu nyata."
Pelukannya melonggar, aku tau 'insiden' itu baginya begitu sensitif. "Kau terus mengungkit 'insiden' itu dan masih menganggap aku yang salah."
Pelukannya terlepas sepenuhnya, hanya tubuhnya yang masih mendempetku ke tembok. "Lupakan dia em, dan kita akan bahagia." Katanya sebelum bibirnya mendarat di bibirku, dan pergi.
***
Jika kau berpikir kalau aku terobsesi dengan kulit pucat itu tidak sepenuhnya salah dan tidak sepenuhnya benar. Memang aku selalu dikelilingi dengan gadis-gadis kulit pucat. Mulai dari teman wanitaku, teman dengan keuntungan, hingga sahabat sekaligus mantan pacarku hampir semua berkulit pucat.
Aku sedang berdiri di tempat kemarin, ketika seorang gadis memintaku melupakan dia. Memandangi langit dari ketinggian seakan aku juga dengan langit. Dia suka dengan langit, suka dengan hujan, dan suka dengan warna biru. Biru dan kulit putih pucat. Seperti langit dan awan.
"Em, aku mohon lupakan dia." Suara itu tepat di telinga kiriku, merinding merasakan deru nafasnya yang hangat.
"Queen, aku mohon berikan waktu kepadaku untuk mengambil keputusan. Aku juga sayang kamu. Aku bingung Queen." Bentakku kepadanya.
Aku menoleh kearahnya, dia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya, dan memegang tangannya untuk mendekat. Aku merengkuhnya dalam pelukanku. Tanpa suara hanya deru angin semilir menerpa tubuh kita berdua. Aku mencium pipinya yang putih itu. Tetapi Queen mendorongku sampai aku terjatuh.
"Jangan pernah bermimpi kau bisa mengagahiku sampai kau berkata 'Iya' untuk melupakannya dan bersama denganku Emmet." Queen meludah kearahku dan berjalan terus tanpa menoleh kearahku.
Hufft, kalau dia tau kelakuan temannya seperti ini dia pasti akan tertawa.
***
Awalnya aku, Queen dan dia adalah tiga orang sahabat yang bahagia. Hingga dia menyatakan perasaannya kepadaku dan dia juga berkata kalau Queen juga menyukaiku. Aku mencoba berpikir rasional dan membicarakan hal itu kepada Queen. Queen berkata "Kalau Jesse bahagia aku akan bahagia." Kalimat yang sungguh bullshit. Insiden itu terjadi saat pesta kecil-kecilan yang kita bertiga lakukan. Aku mabuk dan aku tidak sadar apa yang kedua gadis itu lakukan kepadaku. Hingga paginya aku sadar, aku telah dilecehkan oleh mereka berdua. Oleh sahabat dan pacarku sendiri dan aku sebagai lelaki tidak berdaya melawannya gara-gara aku mabuk. Bodoh.
Sejak saat itu dia pergi dari kehidupanku dan Queen. Meninggalkan cerita cinta dan persahabatan kita. Kenyataan kedua yang membuatku terpukul. Antara benci dan cinta, dan bodohnya aku tak bisa melacak keberadaanya.
***
Pagi datang terlalu cepat. Setiap pagi datang aku pun harus menerima kenyataan dia tak lagi bersamaku. Tapi, aku mencium aroma kopi yang diseduh. Aromanya khas seperti buatan seseorang yang dulu pernah dekat. Kopi yang mendekatkan kita bertiga dahulu. Aku bergegas bangun dan melongok ke arah dapur. Bangsat. Dia dan Queen sedang ngobrol ringan di dapur rumahku. Ditemani beberapa potong roti bakar dan seteko kopi panas.
"Tuhan mengirimkan iblis cantik ke rumahku, tapi sekarang manusia mengusir iblis cantik itu. Silahkan keluar iblis." Kataku dingin.
Mereka berdua hanya menatapku.
"Emmet duduklah, aku dan Queen hanya mampir saja." Dia berkata dengan lembutnya. Pesonanya tidak pernah hilang. Tetap gadis berkulit putih yang terlihat cantik tapi beracun.
Aku mengikuti permintaannya. Hening.
"Maaf, telah pergi dan tak memberi kabar setelah insiden itu. Aku tak bisa bisa bersamamu Em. Biarlah Queen yang menggantikanku." Sunggingan jahat itu muncul perlahan.
Kenyataan pahit ketiga. Setelah dia memperkosaku lalu aku dicampakkan dengan beribu kenangan tentangnya, dan sekarang dia berbicara kalau dia tak bisa bersamaku lagi. Iblis cantik apa yang diciptakan Tuhan.
Aku menghela nafas panjang. Menatap mereka berdua bergantian. Aku tak bisa berkata apa-apa. Seakan semua kata-kata dan huruf di kepalaku sudah tidak mungkin di rangkai dalam kalimat lagi.
"Aku seperti gigolo yang dilemparkan dari wanita satu ke wanita lainnya. Yang dengan senangnya merengkuh kenikmatan itu. Padahal tidak."
"Maaf em, aku tak mungkin bersamamu lagi." Ucapnya seakan menutup segalanya.
Dia berdiri dari tempat duduknya dan mendekat kearahku. Dia melumat bibirku dengan lembut aku berusaha menolak tapi dia meremas bagian bawahku. Aku hanya mengikuti ritme ciuman panjang itu.
Setelah ciuman itu dia pergi dengan senyuman menggembang.
***
Sudah seminggu sejak kedatangan dia ke apartmentku. Aku memutuskan untuk pergi ke luar kota dan menonaktifkan handphone ku. Aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Aku malas bertemu Queen dan mantan kekasihku yang sedikit sakit itu, meski aku tak yakin aku bisa bertemu dengannya.
Entah kenapa aku bersyukur dia meninggalkanku. Aku sebagai lelaki cukup takut dengan kelakuannya yang diluar batas wajar itu. Jika ada lelaki lain setelahku yang berhubungan dengannya aku akan menyemangatinya. Karna sifat dan wajahnya sangat begitu jauh berbeda.
Hubunganku dengan Queen juga belum aku pikirkan lagi. Mungkin ada cerita lain setelah cerita ini tentang aku dan Queen. Mungkin.
EGW