Kulihat seberkas cahaya kecil dari sini. Jaraknya cukup jauh kurasa.
Gelap. Disini sangat lah gelap. Hanya kepada titik itu mataku berlabu.
Terdengar samar suara seseorang. Suara itu lirih ketika tertangkap telinga ku, namun dapat ku dengar dengan jelas ketulusannya melafalkan kata demi kata.
Kulihat cahaya itu seperti bergerak ke arahku, bentuknya semakin membesar.
Sampai akhirnya cahaya itu berada tepat di depan ku. Menjadi satu-satunya penerangan dalam kegelapan yang menyelimuti.
Kulihat samar sebuah tangan mengangkat dan mendekatkannya ke wajahku. Ah, bukan ke wajahku ternyata. Tapi kepada si pemilik tangan itu. Sepertinya ia ingin menunjukkan sesuatu.
Wajah itu. Aku mengenalnya, dia tersenyum kepada ku.
Tapi untuk apa dia berada di sini, di tempat gelap ini?
Dan seperti memiliki alasan yang kuat, dia lah yang membawa cahaya yang kulihat tadi.
***
"Ra, kantin yuk." Aku mengenal sekali suara itu, milik salah satu sahabatku Dista. Dia juga teman sebangkuku. Seperti biasa dia memang selalu tidak pernah absen untuk ke kantin saat bel istirahat baru berdering beberapa detik yang lalu. Ya aku yakin semua siswa juga seperti itu, lain dengan ku yang mungkin dalam satu minggu hanya 2 atau 3 kali mampir ke kantin. Itu pun jika sedang lapar yang sudah tingkat akut. Alasannya? Aku hanya tidak suka berdesak-desakan. Pemandangan seperti itu mungkin sudah biasa saat memasuki kantin, bahkan saat pelajaran berlangsung masih tetap ada beberapa siswa yang duduk santai di sana. Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Karena aku pernah menjadi salah satu di antara mereka. Jangan salahkan aku, karena Gina yang mengajakku dan aku belum sarapan.
"Satu kalimat lagi." Jawab ku dengan tangan yang masih berkutat dengan pulpen dan buku. Ada sedikit kelegaan hari ini, 2 jam sebelum istirahat guru Sejarah ku berhalangan hadir jadi beliau meninggalkan materi untuk di catat. Bisa ditebak karena yang mencatat hanya beberapa siswa saja, yang lain nanti bisa meminjam yang sudah mencatat atau bahkan men-fotocopy materi itu. Dan Dista salah satu diantara yang meminjam, bukuku.
"Yuk." Ajak ku setelah memasukkan buku ke dalam tas. Bukan tas ku, tapi tas Dista.
"Va, Na ayok!" Dista memanggil pasukan kami. Yap, kami memiliki pasukan yang terdiri dari aku -Naura-, Dista, Silva, dan Gina.
"Ssstt..sssttt Ra, ada Raehan tuh di lapangan." Silva lah yang meluncurkan kalimat itu. Aku berjalan di bagian depan, berdampingan dengan Gina yang kulihat sedang menyibukkan diri memilih lagu yang akan di putar di earphonenya. Kulirik dari ekor mata ku ke arah lapangan, dan memang benar dia di sana bersama teman-temannya. Entah ini minus mata ku semakin parah atau bagaimana, tapi sepertinya dia melihat ke arah kami berempat.
"Hm" Aku hanya menjawab sekenanya. Memangnya aku harus merespon seperti apa? Raehan. Baiklah aku akui aku memang mengaguminya, dan pernah dekat dengannya saat duduk di bangku SMP dulu. Tapi itu dulu, dan sialnya mengapa rasa kagum itu masih ada sampai sekarang?
"Dia ngelihatin lo Na." Baiklah sepertinya aku yang terlalu berharap disini. Dia memang melihat ke arah kami berempat, tapi matanya hanya bertumpu pada satu titik. Gina.
"Kalian mau pesan apa?" Sungguh bukannya aku cemburu atau bagaimana, hanya saja aku ingin mengakhiri pembicaraan tentang Raehan. Aku juga sudah sangat lapar.
"Bakso"
"Mie ayam"
Dista dan Gina menjawab bersamaan. Lain dengan Silva yang kulihat masih sibuk mengamati Raehan. Wah sepertinya aku perlu mengirim Silva ke Antartika agar dia bisa mengamati es-es yang mulai mencair di sana, daripada mengamati Raehan.