Harry Styles; Secret Admire

209 24 9
                                    

Saat yang paling menyebalkan di dunia ini menurutku adalah saat pindah rumah. Huh, sungguh menyebalkan. Rumah baru, sekolah baru, teman baru—aku ragu bisa mendapatkan teman baru di sini. Ck, sungguh, aku lebih suka sekolahku yang lama daripada sekolah baruku ini. Lihat saja murid-murid yang akan menjadi teman sekelasku ini rata-rata menatapku dingin—walaupun ada yang berwajah menyenangkan. Apalagi pria yang duduk sendiri di ujung sana, ia tak menatapku yang berada di depan kelas! Ia sibuk menulis di bukunnya. Entah belajar atau apa, aku tak tahu. Kuakui, dia cukup tampan.

“Silahkan perkenalkan dirimu.” Suruh Mrs. Hurst yang notabane-nya adalah wali kelas dari kelas yang akan kutempati. Aku tersenyum dan mengangguk ke arahnya.

Aku menghela nafas dan menatap ke depan dengan senyuman semanis mungkin, “Hi. Namaku Lidia. Semoga kalian bisa menerimaku sebagai teman kalian.”

“Nah, Lidia, silahkan duduk di sana.” Ujar Mrs. Hurst menunjuk kursi kosong di sebelah pria-yang-sedang-menulis tadi. Aku mengangguk dan berjalan mendekat ke arahnya. Lalu duduk di sampingnya. Ia bahkan tak melirik kepadaku.

“Hi, aku Lidia. Kau?” Aku berusaha seramah mungkin pada pria ini. Mugkin saja aku bisa menjadi sepasang teman?

“Harry.” Balasnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Ia masih saja berkutat dengan bukunya. Aku mengerutkan keningku cepat, penasaran apa yang sedang di tulis pria bernama Harry ini.

“Kau sedang menulis apa?” Tanyaku berbasa-basi.

“Bukan urusanmu.” Aku memberenggut kesal mendapat balasan seperti itu. Kugembungkan pipiku dan menatap ke depan. Pelajaran pun di mulai dengan membosankan.

*

Hari pertamaku di sekolah benar-benar membosankan. Harry, hanya dia satu-satunya orang yang kuajak berbincang, itupun dengan balasan yang singkat darinya. Dan sekarang, sudah seminggu aku sekolah di sini. Dan aku belum mempunyai teman satu pun! Payah, aku memang tak pandai dalam bergaul. Harry? ah, aku tak tahu dia menganggapku teman atau bukan.

Jam istirahat, aku masih duduk di kursiku. Di kelas hanya ada Harry dan aku. Semua murid memilih keluar. Memanjakan perutnya di kantin bagi mereka yang merasa membutuhkan asupan makanan. Berkutat dengan buku-buku bagi mereka yang cinta membaca atau bahkan tidur di sana—tenangnya perpustakaan menjadi tempat stategis untuk tidur, kau tahu! Berduaan di taman bersama sang kekasih. Atau di tempat yang lainnya.

“Mau cokelat, Harry?” Tawarku menyodorkan sebatang cokelat padanya. Harry menoleh ke arahku. Ya tuhan, orbs emeraldnya itu membuatku membeku. Mengapa indah sekali ciptaanmu yang satu ini, tuhan?

“No, thanks.” Ujarnya dan kembali berkutat dengan buku kesayangannya itu. Aku penasaran apa yang ia tulis sebenarnya. Aku mengangkat kedua bahuku dan memakan cokelatku.

Aku menoleh ke arah Harry yang sedang memandangku sembari tersenyum. Lesung pipinya itu... Ya tuhan... Untungnya saja jika aku merasa malu, semburat merah di pipiku tak begitu terlihat. Aku masih aman? “Ada apa?” Tanyaku. Harry tertawa kecil yang membuatku bergidik—oh bergidik dalam artian menyenangkan. Bukannya suara tawanya itu seram, tapi kau tau kata merdu? Nah, itu pantas disandingkan dengan suara tawanya.

“Apa kau penggemar cokelat?” Aku mengangguk riang mengiyakan pertanyaan Harry. Kau tahu, ini kali keduanya Harry bertanya padaku. Pertama kali ia bertanya, saat itu hari ketigaku sekolah. Ia bertanya apakah aku berbincang dengan teman yang lain. Aku jawab tidak, lebih baik berbincang dengannya dari pada orang lain. Entah ia peka atau tidak, bahwa aku menyukainya. Ups. Sungguh. Itu benar.

“Kau makan berantakan sekali, seperti anak kecil.” Ujarnya. Aku langsung mengalihkan wajahku malu dan membersihkan cokelat-cokelat yang menempel di sisi-sisi bibirku.

Little MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang