Lembayung Di Lembah Sengon

8K 536 113
                                    

Nasi tiwul sisa pagi tadi masih teronggok di atas meja tanpa pelitur bersama selembar telur dadar tipis yang dibagi tiga. Tipis karena dicampur air dan banyak garam agar cukup untuk lauk tiga orang. Api dalam tungku masih menyisakan bara, Trimasih meletakkan kayu-kayu basah kiriman Edi Gudel. Kabarnya ia baru saja menebang pohon nangka di depan rumahnya. Ditebang lantaran beberapa hari sebelumnya pohon itu bergerak tak wajar tanpa sebab.

Waktu itu, katanya, tidak ada angin yang bertiup cukup kencang hingga salah satu cabang pohon nangka itu meliuk sampai ujungnya hampir menyentuh tanah. Itu terjadi berkali-kali hingga kesimpulan pun diambil; ada Genderuwo yang sedang bermain-main di pohon itu. Makhluk gaib tinggi besar itu juga suka mengintip orang mandi. Kesimpulan ini pun didasarkan pada laporan istri Karjo. Perempuan bertubuh subur itu melihat sosok hitam yang mempunyai mata berwarna merah sebesar tatakan gelas, mengintipnya saat mandi. Dia berteriak kaget sekaligus ketakutan hingga membuat sosok itu berlari ke arah pohon nangka dan menghilang di sana. Karjo yang dilapori istrinya tidak bisa menemukan tertuduh yang mengintip ibu dari empat anaknya itu. Maka atas dasar lapran-laporan dari tetangganya, Edi Gudel menebang pohon nangka yang sudah berbuah ratusan kali itu atas perintah bapaknya, tandas hingga akarnya.

"Mak, makanan sudah siap. Mau makan di mana?"

Gadis itu melongokkan kepala, masuk melalui singkapan kain pembatas antara kamar tidur dan ruang tamu. Dia mendapati neneknya yang sedang melipat baju di atas lincak. Tangan keriputnya sibuk menjumputi kerut di baju yang baru saja kering, sesekali memukul dan mengusap dengan tangkup tangannya agar seratnya lurus. Sesekali perempuan tua itu membenahi gelung rambut yang sudah penuh dengan uban yang mengkilap diterpa cahaya matahari sore yang menyusup di antara dinding gedek yang merenggang dimakan usia.

"Selehna kana wae, Nduk. Suapi adikmu dulu. Nanti aku makan belakangan."

Trimasih meletakkan nasi tiwul di dekat neneknya dan berlalu menuju bilik Ponidi.

"Le, ini aku buatkan telur dadar kesukaanmu ... Mbakyumu punya rejeki lebih. Tadi aku pergi ke kios untuk membelikanmu telur. Makan ya, Le...."

Hening.

Satu suapan telah masuk ke dalam mulut bocah itu. Ponidi dengan tatapan kosong ke dinding mengunyah nasi tiwul dan telur dadar yang disuapkan padanya. Bocah laki-laki itu sudah seperti itu sejak lama. Dia hidup, tetapi seperti orang mati. Kesadarannya menurun, beberapa tahun setelah bilah kayu memasung kakinya.

"Ayo makan yang banyak, nanti kalau nasi tiwul ini habis, aku akan nembang buatmu."

Masih hening, Ponidi acuh seperti biasanya.

"Tahu tidak? Tadi di kali aku melihat dua ekor ayam alas. Yang satu berwarna merah, satunya lagi berwarna hijau. Tumben-tumbennya ada ayam alas yang main di kali siang hari bolong. Awas besok kalo ketemu lagi, akan kutangkap dan kujadikan lauk."

Trimasih tak menghiraukan Ponidi yang tak menanggapi ceritanya. Dia tetap saja bercerita tentang kejadian hari itu seolah-olah adiknya mengerti apa yang dibicarakan. Tangannya sibuk memotong-motong telur, mulutnya tak berhenti bercerita; tentang kopi, tentang sekolahan yang biasa mereka datangi dulu, tentang beruk, juga tentang ... Mandor Parman.

Nasi tiwul yang ada di piring tinggal satu suap. Trimasih ketar-ketir melihat Ponidi yang sepertinya masih lapar. Benar dugaannya. Begitu suap terakhir habis, adiknya berteriak dan meracau tidak jelas. Tanpa penerjemah pun, Trimasih tahu mulut adiknya masih ingin diisi. Gadis itu berusaha menenangkan adiknya dengan dongeng-dongeng yang biasa diceritakan bapak mereka semasa masih hidup, tetapi tidak berhasil. Ponidi masih saja menggeliat kesana-kemari dan meracau dengan teriakan memekakkan telinga. Trimasih mendekap adiknya lalu mulai menembang, lagu jaranan.

Ponidi pun mulai tenang dalam dekapan kakaknya. Tembang jaranan bekerja seperti bius bagi Ponidi. Tangannya tak lagi menegang, matanya kembali menatap kosong ke arah dinding bambu, melihat sisa sinar matahari yang menerobos di sela-selanya. Trimasih pun menidurkan adiknya, menyelimuti dengan jarik usang lalu kembali ke bilik neneknya setelah Ponidi benar-benar tenang.

"Mak, tadi Mandor Parman memberiku sepasang ceplik." Trimasih mengeluarkan benda berkilau pemberian kepala regunya dari stagen, mengulurkan pada neneknya.

Perempuan tua itu tidak bereaksi apa-apa, dia masih mengunyah nasi tiwul terakhir yang ada dalam mulutnya, mengecapnya sebentar lalu menelannya. Setelah kunyahan terakhir selesai, perempuan renta itu menatap Trimasih. Mulutnya memang tak mengeluarkan sepatah kata pun, tetapi bisa membuat gaduh hati gadis muda itu, lebih gaduh dari pukulan lesung yang beradu meremukkan kulit beras. Trimasih menunduk, tahu neneknya tidak berkenan. Dia bergeming pada posisinya; tangan terulur dengan sepasang ceplik dalam tangkup tangan.

"Sih, apa kamu sudah berpikir sebelum kamu menerima ceplik ini?" Mbah Jibah bertanya dengan saksama pada cucunya.

"Sudah, Mak. Mandor Parman bilang ini hadiah buatku karena aku memetik kopi paling banyak. Aku ya menerima saja pemberiannya. Rejeki."

"Hadiah? Dari mana kamu tahu kalau kamu adalah pemetik kopi paling banyak? Ingat, Nduk ... kita harus rumangsa. Bukannya Makmu ini melarang-larang kamu menerima pemberian orang tapi sekali lagi kita harus waspada."

"Waspada bagaimana to, Mak?"

"Nduk, kamu tahu kan siapa saja pemetik kopi musim panen kali ini?" Mbah Jibah meletakkan alas makannya, benda bulat dari seng bergambar ayam jago. "Buruh petik itu bukan hanya dari desa kita saja, bukan hanya kamu. Mereka juga didatangkan dari desa atas, Sumbersari, Jeruk, Sirah Kencong. Juga dari desa bawah, Semen dan Krisik yang terkenal dengan kegesitan memetik biji kopi dan kekuatan mengangkut beban dalam rinjing mereka." Mbah Jibah terdiam sebentar, mengelus kepala cucu perempuannya itu lalu mendesah. "Sedangkan kamu? Kamu baru musim ini menjadi pemetik kopi. Apa mungkin kamu bisa mengalahkan hasil timbangan pekerja lain yang sudah berpengalaman?" Sorot mata dari mata cekung perempuan tua itu kembali menatap dalam, tepat di maniknya. "Nduk, sekarang kamu sudah tidak gembelengan lagi, kamu sudah nyunggi wakul. Kamu bukan bocah lagi. Kamu sekarang sudah jadi perempuan utuh. Kamu seharusnya tahu jika seorang laki-laki tanpa sebab yang masuk akal memberimu sesuatu."

Trimasih terdiam merenungi kata-kata neneknya. Kenapa tidak ada pikiran itu? Apakah omongan Yu Karni sewaktu menunggu beruk lewat tadi benar? Apakah Mandor Parman menaruh perasaan untuknya? Dia mulai mengingat-ingat lagi kejadian yang terjadi belakangan ini. Mengapa Kang Boidi bersusah payah membawakan rinjingnya, sedangkan rinjing istrinya ditinggalkan begitu saja saat melihat dirinya terhuyung-huyung mengangkat rinjing penuh kopi. Mengapa pula Kang Narno tanpa ba, bi, bu, mau menukar wilayah petiknya yang landai dengan wilayah petiknya yang terjal. Mengapa pula Kang Bejo selalu membawakannya mangga kweni kesukaannya. Mengapa pula Mandor Parman memberikannya sepasang ceplik jika ternyata Trimasih bukan pemetik kopi terbanyak seperti yang dikatakannya? Dan, mengapa pula ia selalu ingin mengantarnya pulang naik motor? Trimasih menghubung-hubungkan simpul kejadian itu.

Bagi perempuan muda seperti Trimasih, persoalan seperti ini teramat pelik. Urusan laki-laki dan perempuan yang baginya sangat awam tiba-tiba tersuguh di hadapannya, tidak masuk dalam nalarnya. Hanya hati saja yang bisa diajak berdialog, menerka-nerka benang merah kejadian satu dengan kejadian lain, yang ternyata menuju pada jaring yang sama; asmara.

Lagu dolanan Gundul-gundul Pacul mulai sayup mengiang di kepalanya. Wejangan neneknya merasuk ke sumsum dan nadinya. Trimasih sekarang bukan bocah yang bisa dengan seenaknya gembelengan. Sekarang dia sudah nyunggi wakul, wakul yang berisi martabat sebagai perempuan seutuhnya. Dia sudah harus berperilaku dan berpikir sebagai perempuan dewasa, masa itu sudah datang menyongsong, sekarang! Di usianya yang masih belia; tanpa pandu, tanpa guru.

Sore itu langit menyemburat jingga. Trimasih menghadap ufuk, berdiri tepat di samping pohon mawar yang sudah memekarkan puluhan kuntum putih. Cantik, sama-sama cantiknya. Kulit kuning langsatnya berpendar, bersaing dengan cahaya emas Sang Surya. Rambut hitam ikal tersanggul rapi, seperti gelap gunung Kawi di malam hari. Anak rambut di tengkuknya yang luput dari gelung melambai-lambai diterpa angin gunung yang berembus dingin, membelai pundak yang terbentuk sempurna seperti busur Arjuna yang direntangkan kuat-kuat. Mata cokelat Kembang Kawisari itu menatap lembayung senja yang menaungi lembah Kawisari, dia baru saja bersiap untuk menjalankan perannya sebagai perempuan.

Kembang KawisariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang