Minggu, 06 November 2016
***
Pria itu tidak bergeming. Duduk di atas tumpukan mayat, membantai sarang bandit hanya ditemani salah satu abdinya yang paling nyentrik.
Aroma kematian kian menguap, bercampur amisnya darah yang menodai semesta bumi. Wajahnya kotor, bajunya pun menguarkan aroma besi. Dia sama sekali tidak terusik dengan nyanyian burung pemakan bangkai yang berpesta pora memakan tumbal.
Mata kelamnya kini semerah darah. Masih belum puas dan haus akan jeritan kesakitan menjelang mati. Dia sedang marah. Sangat-sangat marah.
Abdinya melompat ke dekatnya setelah menghujamkan katana ke wajah salah satu mayat yang tidak berdaya. Menyeringai puas, dia seolah tidak merasa terganggu dengan lengan kanannya yang mendapat sayatan luka.
Langit kini berubah jingga, satu warna dengan bumi yang kini dipijak oleh mereka.
"Seperti kehebatanmu lainnya, Taka-chan. Dua minggu, dan kita sudah menghancurkan sarang vital para bedebah itu. Berapa yang sudah kau bunuh? Berapa-berapa-berapa?"
Takahiro tetap membungkam. Dia justru mengibaskan katana ke arah Hirasaki dan spontan ditahan oleh katana di tangan pria itu. Hirasaki tertawa ringan saat Takahiro kembali menarik pedang kemudian menyarungkannya.
"Kau masih tidak mau bicara padaku?" Hirasaki menghela napas. Sampai kapan Takahiro akan mendiamkan semua orang di sekitarnya? Begitu terluka kah ego yang seharusnya saat ini sudah dihukum mati di depan rakyat Kerajaan Langit?
Sepertinya, Takahiro memang lebih memilih mati daripada dipecundangi oleh wanita yang sangat-sangat dia benci.
"Takahiro-sama!" seruan gadis kecil itu menginterupsi. Kedua pria bernyawa di antara puluhan mayat menoleh ke arah gadis kecil yang berlarian dengan yukata merah muda yang roknya sedikit diangkat agar lebih leluasa bergerak. "Saya sudah mendapat ikan untuk makan malam, Takahiro-sama!"
Tersandung nyaris terjatuh. Chi buru-buru menyeimbangkan posisinya berdiri sambil mengelus dada. Untung dia tidak jatuh, tanahnya kotor sekali. Sekotor pakaian tuannya yang tadi siang berwarna biru muda kini menjadi merah.
Chi harus berusaha keras untuk mencucinya nanti.
"Takahiro-sama." Chi tersenyum lebar saat Takahiro berdiri dan menghampirinya, tidak balas mengukir sunggingan seperti kebiasaan sang Tuan beberapa minggu ke belakang. "ikannya sudah matang."
Takahiro berjalan melewatinya. Diikuti Chi dan Hirasaki. Mereka bertiga beriringan menuju hutan hendak pergi ke sungai yang menjadi tempat pertemuan mereka tadi.
Di kejauhan, Akari yang bertugas mengawasi Chi tersenyum, dia membungkuk hormat ketika jaraknya dengan Takahiro kian dekat.
"Kerja bagus, Takahiro-sama. Seperti biasa, tidak ada yang mengecewakan dari hasil pekerjaan anda."
Lagi-lagi Takahiro tidak menjawab. Dia hanya melangkah melewati Akari seolah bisu dan juga tuli. Tidak ada yang bisa menyalahkan sikap diamnya. Terutama setelah penghinaan yang dia dapatkan sebelum pergi ke tempat ini.
***
Dia berubah menjadi sebongkah es yang tidak lagi terusik. Dia semakin sukar disentuh bahkan oleh seseorang yang berjalan di belakangnya.
Dia selalu menunjukkan punggungnya, seolah tidak seorang pun bisa menggapai.
Takahiro bukan lagi pria yang sama seperti sosok yang Chi kenali selama ini. Dia duduk di atas sebongkah batu, sambil memakan ikan bakar yang Chi berikan untuknya. Tidak bercakap, hanya diam tanpa sepatah kata pun menembus kerongkongannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yami No Tenshi
FantasyChapter 21 sampai ending diprivate Semua part masih lengkap. "Jika kematianku adalah bukti cinta untukmu, maka hidupku selamanya akan jadi milikmu." Sekejam setan namun serupawan malaikat. Setiap wanita yang melihatnya terbius dengan kar...