"Park Chanyeol ! Sebenarnya kau menganggapku apa, huh ?!... dasar dokter brengsek !"
Mimpi Buruk.
Sungyeong berharap kata-kata yang terdengar dalam bilik kepalanya itu hanyalah bagian dari bunga tidurnya, atau imajinasi otaknya semata akibat tak pernah dibawa relaksasi berminggu-minggu. Sungguh, apapun itu asal jangan dia secara nyata – dan brutal – memaki pria raksasa itu sambil menunjuki hidungnya di depan umum.
"Itu benar, kau meneriakinya seperti itu."
Itulah jawaban Jongdae. Sungyeong terbangun di pagi buta dalam keadaan mengenaskan, turun dari ranjang sambil menggaruk rambutnya yang berubah menjadi surai singa dan saat ia meneguk air putih, monolog itu menyambangi kepalanya seperti halilintar dan dia buru-buru menelepon Jongdae untuk memastikannya. Sekarang perut Sungyeong rasanya terpelintir 360 derajat. Tak apa jika pria itu adalah teman karib yang selalu menempel bersamanya selama sepuluh tahun dan caci maki semcam brengsek adalah sapaan mereka tiap hari. Masalahnya, Park Chanyeol adalah atasannya, dokter sekaligus pemilik klinik tempatnya bekerja. Dan melakukan hal seperti itu sama dengan minta di tendang ke emperan jalan.
"Kalau saja aku tahu bagaimana tabiatmu saat mabuk, aku pasti tidak akan membiarkanmu minum walau segelas"
Bohong sekali. Justru Jongdae lah yang bersorak paling kencang layaknya suporter liga Inggris tiap kali kepala botol yang berputar menunjuknya.
Semalam dokter Park mengajak staf di kliniknya – termasuk dirinya yang merupakan apoteker pendamping di sana – untuk merayakan seratus hari masa prakteknya sebagai dokter spesialis internis. Menghabiskan waktu di restoran simpang empat, saling melempar lelucon dan berakhir dengan permainan Truth or Dare. Disitu lah puncaknya. Entah nasib sial apa yang mengikuti Sungyeong sampai dia harus kalah berulang kali. Sungyeong memilih tantangan. Dia berikrar tidak akan pernah memilih jujur, karena jujur sama saja dengan mempermalukan diri sendiri. Meskipun itu artinya ia harus merasakan minuman yang belum pernah terjamah tonsil lidahnya. Gelas ke tiga, Sungyeong tak ingat apapun lagi selain kalimat laknat yang lidahnya layangkan untuk sang pimpinan.
"Apa lagi yang kulakukan ?"
Terdengar tawa khas Jongdae dari seberang, terkesan meledek, membuat Sungyeong harus bersabar meski sekarang jemarinya meremat ponsel terlalu kuat."Kau harus menyediakan antiaritmia untuk berjaga-jaga," Jongdae tertawa lagi kali ini lebih keras.
Matilah. Sambil kepayahan menelan ludah, Sungyeong bertanya lagi, "Bagaimana reaksinya ?"
Hanya, "Yeah, begitu lah" yang dikatakan Jongdae sebelum akhirnya memutus perbincangan dengan dalil harus segera mandi, memberi makan anjingnya dan bla bla bla. Sungyeong sudah tak mendengar rentetan alasan Jongdae karena sebagian pikirannya tengah menggali memori semalam dan sebagian lagi tengah membayangkan ekspresi paling mengerikan Park Chanyeol serta dampak dari perbuatannya.
#
Jam delapan tepat. Sungyeong memastikan lengan menit pada jam tangannya berkali-kali agar tak melewati angka dua belas ketika ia sampai. Memarkir BMW putihnya, mata Sungyeong dengan jeli menyisir kendaraan yang terparkir di pelataran klinik. Terpujilah, luxury Chanyeol belum nampak. Akan jadi runyam jika Sungyeong menambah daftar keterlambatannya dan bertemu Chanyeol sekarang. Terlebih karena ia sudah berani melemparkan bumerang ke mukanya.
Turun dari mobil, berlari-lari kecil menuju bangunan tiga lantai, otak Sungyeong menyusun strategi. Hari ini dia akan menghindari Park Chanyeol, bersemayam dalam bilik racik sampai jam kerja berakhir. Yang sesungguhnya tantangan terberat karena Chanyeol punya seribu satu alasan untuk menyeretnya keluar. Bahkan jika enggan sekali pun, Sungyeong tidak bisa berkutik jika disuruh mengambil resep langsung di meja kerja Chanyeol.
KAMU SEDANG MEMBACA
His Prescription
FanfictionDia hanyalah seorang farmasis muda dan dokter itu memanfaatkannya dengan cara lain...