Leader…
Leader…
Leader…
Ingin rasanya kucabut seluruh helai rambut di kepalaku. Semua sakit ini, semua denyut berirama yang membawa satu persatu paku tak kasat mata menancapi ruang kosong di tengkorakku, semua perih yang membawa otakku menuju kapasitas maksimum kewarasan, semuanya terlalu memuakkan. Aku lelah, aku ingin berhenti, aku tak sanggup lagi.Tidak…
Aku bukan milikku, sendiri. Wajah-wajah malaikat itu masih membutuhkan makhluk tak berguna sepertiku. Entahlah, aku bahkan mungkin lebih rapuh dari kayu lapuk tempat mengenyangkan barisan rayap, aku lebih bodoh dari keledai dungu yang sering mereka ceritakan dalam dongeng, aku lebih tak berguna dari sampah yang terbuang sengaja, lebih dari itu.
Kulepas telungkup tangan yang menutupi wajahku sejak tadi. Mata merah sembab yang menghiasi kanvas ekspresi mungkin menjadi tontonan menarik jika aku tak segera mengenyahkannya. Lupakan saja, bahkan untuk bernafas sekalipun, detik ini pun, aku sangat kesulitan. Bagaimana aku bisa comeback dengan keadaan kacau seperti ini.
Jatuh lagi, bening surga itu jatuh lagi. Merembes hingga daguku menjadi tujuan akhir sebelum benar-benar jatuh ke pangkuanku. Tuhan, kenapa ini tak bisa berhenti ? Pertanyaan bodoh yang selalu kuucapkan selama 30 menit terakhir aku menghempaskan tubuhku di kursi ini, di ruangan ini. Ruang tunggu yang menjadi tempat ritual merenaungku yang baru.
(Flasback on)
“ Aaahh… aku capeeeeekk..” gadis bermata sipit itu menghempaskan tubuhnya berbaring di lantai.
“ Kau kira hanya tubuhmu yang capek ? Aku juga sama.” Gadis lain yang akrab disapa Emma datang dengan sebotol air mineral di tangannya.
“ Paaaaath… “ si sipit kembali merengek tatkala melihat gadis bertubuh tinggi semampai masuk dengan sebuah roti di tangannya.
“ Apa ? Mau ? Lapar ?” ujar gadis tinggi itu sambil menjulurkan tangan beserta rotinya ke arah Mira, gadis perengek itu.
“ Patricia, berhenti menggodaku seperti itu. Perutku benar-benar konser tunggal tau !”
“ Lah, terus apa masalahku ?”
“ Paaaaaaaatthh..”
“ Ckck.. Ini, berhenti bersikap seperti bayi seperti itu.” Akhirnya Patricia memberikan separuh potongan rotinya.
“ YEAYY.. MAKASIH KAKAAAAKK..”
“ HEI.. HEI.. MIRA ! JANGAN MEMELUKKU SEPERTI INI… TUBUHMU BERAT TAU !”
Aku hanya tertawa melihat kelakuan mereka lewat kaca besar yang menjadi teman kami selama latihan bertahun-tahun di tempat pelatihan agensi ini. Ya.. kami disatukan melalui tempat pelatihan ini. kami dipertemukan di gedung dan asrama yang sama sejak empat tahun yang lalu, tepatnya setelah kami lolos audisi masuk agensi pencarian bakat terbesar di negara ini.
Aku beserta keempat temanku telah menjadi layaknya saudara kandung. Susah, senang, sakit, kami rasakan bersama. berat, ringan, kami hadapi berlima. Sulit memang, tapi karena itulah kami bisa sedekat ini selama empat tahun terakhir. Mira, gadis perengek yang cerewet itu menjadi adik terkecil kami disini. Patricia, si tinggi yang cukup keras kepala itu menjadi anggota tertua ketiga setelah aku dan Emma. Emma, gadis manja yang paling cantik diantara kami. Dan Crysta, gadis penggerutu yang hobi tidur. Bahkan saat ini pun ia sedang menikmati waktu berkualitasnya di pojok ruang latihan.
“ Sarra ! istirahat sebentar, jangan berkencan terus dengan tarianmu itu.”
“ Sebentar, Path !”