Karena kami terlalu asyik sendiri. Kami sampai lupa waktu. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Matahari perlahan-lahan turun. Langit biru berubah menjadi langit senja yang indah. Namun mendung menutupi keindahan itu, lambat laun hujan turun rintik-rintik yang semakin lama semakin deras. Redo tetap melajukan motornya dengan hati-hati. Hawa dingin mulai menusuk tubuhku, meski aku sudah memakai jaket dan jas hujan. Aku mengeratkan peganganku pada Redo agar sedikit merasa hangat. Jalanan tampak sepi. Namun tiba-tiba datang sebuah truk berkecepatan tinggi dari arah berlawanan menuju ke arah kami. Sepertinya supir truk itu sedang mabuk dan tidak melihat di depan ada motor kami. Truk itu bergerak cepat dengan arah yang tidak beraturan. Redo yang kaget, langsung kehilangan konsentrasinya. Ia sangat panik. Tanpa berpikir panjang Redo membanting stir ke arah kiri dan akhirnya motor kami menabrak pagar pembatas dan kami pun jatuh ke dalam jurang. Aku sangat ketakutan, ingin sekali berteriak minta tolong, tapi suaraku tak dapat keluar. ‘Ya Tuhan… kumohon tolonglah kami.’ Aku hanya bisa menangis, dan pasrah dengan apa yang akan terjadi pada kami. Namun aku merasakan sebuah tubuh merengkuh tubuhku dengan sangat erat. Tubuh itu berusaha melindungiku. Aku merasakan detak jantungnya yang teramat kencang serta desahan nafasnya yang tidak teratur. Aku juga merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat. Tubuh itu adalah Redo. Dia memelukku dengan erat. Sampai akhirnya aku tak sadarkan diri.
# # #
Di alam bawah sadarku. Aku bertemu dengan Redo, wajahnya begitu cerah, ia tersenyum sangat manis padaku. Aku membalas senyumannya dan berlari memeluknya.
“Kania, maafkan aku, jika aku pernah membuatmu marah. Dan maafkan aku karena tak bisa lagi menemani dan melindungimu. Aku senang bisa memilikimu dan aku berterima kasih banyak karena kamu selalu ada untukku. Aku sangat mencintaimu. Maafkan aku.” Ujarnya lembut.
Aku sangat bingung dengan perkataanya. Ia lalu berbalik pergi meninggalkan aku. Aku berlari mengejarnya, tapi ia tetap pergi dan akhirnya menghilang. Di saat aku mengejar Redo, sebuah suara yang begitu lembut memanggil-manggil namaku dan muncul seberkas cahaya sangat terang sampai akhirnya aku membuka mataku. Aku melihat wajah-wajah khawatir di sampingku.
“Mama… Papa… mbak Karin… Sari… Kenapa kalian terlihat begitu tegang?” tanyaku dengan suara lemah. “Dimana aku? Dan kenapa kalian menangis?” lanjutku. Tanpa menjawab pertanyaanku, mama langsung memelukku. Aku beranjak bangun, namun kepalaku sakit sekali dan badanku sangat lemas. Papa melarangku untuk bangun dan menyuruhku tetap berbaring di tempat tidur. Aku memegangi kepalaku yang masih terasa sakit, aku merasakan ada perban yang melekat dikepalaku. Mama dan Papa keluar meninggalkan kamar untuk menemui dokter. Tinggal aku bertiga dengan mbak Karin dan Sari.
“Kamu ada di rumah sakit Kania. Kamu tidak ingat? Kamu sudah 2 hari tak sadarkan diri. Kami semua cemas.” jawab mbak Karin. Keningku berkerut, mencoba mengingat sesuatu. Tak lama kemudian potongan-potongan ingatan itu mengalir bak banjir. Terus berputar di kepalaku. Canda tawa itu, senyuman itu, lalu hujan deras, truk yang melaju cepat, motor kami yang menabrak pagar pembatas dan…
“Redo? Di mana Redo?” aku berteriak histeris. “Sari? Bagaimana keadaan Redo? Apa dia baik-baik saja? Aku ingin bertemu dengannya.” Racauku panik.
“Tapi Kania, tubuhmu masih sangat lemah. Redo ada di ruang rawat.” Jawab Sari.
“Tapi aku ingin melihat keadaan Redo. Sari… tolong.” Sari tidak menjawab ia melirik pada mbak Karin. “Mbak Karin… Kania mohon. Aku ingin ke tempat Redo.” Mohonku pada mbak Karin, tanpa sadar air mataku pun menetes perlahan. Mbak Karin dan Sari tak tega melihatku.
“Tunggu sebentar.” Ujar mbak Karin seraya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Setelah mendapat persetujuan ia menutup teleponnya. “Baiklah…” ujar mbak Karin akhirnya. Tak lama kemudian seorang perawat mengantarkan kursi roda untukku. Perawat itu memindahkan tubuh Kania ke kursi roda di bantu oleh mbak Karin. Merekapun segera mengantarkanku menuju kamar Redo. Di sana. Di depan ruang rawat Redo ada Faris, wajahnya tampak begitu lelah, tegang dan sangat cemas. Kami mendekatinya.
“Faris, bagaimana keadaan Redo?” Tanya Sari pada kekasihnya.
“Belum ada perkembangan tentang Redo. Kondisinya makin lama makin memburuk. Kata dokter, kita harus bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Kita semua hanya bisa berdoa, semoga dia baik-baik saja. Di dalam masih ada orangtua Redo.” Jawab Faris lemah. Semua terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing. “Bagaimana dengan keadaanmu Kania?” tanyanya padaku.
“Aku baik-baik saja Faris, hanya kepalaku masih sakit dan kakiku masih belum bisa aku gerakkan.”
“Syukurlah.” Kata Faris seraya tersenyum padaku.
“Aku ingin melihat keadaan Redo, apa aku sudah boleh masuk?” tanyaku.
“Tentu, di dalam sudah ada orangtua Redo, langsung masuk saja.” Jawab Faris.
Sari membantuku mendorong kursi rodaku masuk dalam kamar Redo. Ia membuka pintu kamar Redo. Ada kedua orangtua Redo di samping ranjangnya. Aku masuk menghampiri mereka. Tante Asri berdiri menghampiriku. Tersenyum dan menggenggam lembut kedua tanganku.
“Pasti Kania ingin bicara berdua saja dengan Redo kan?” ujarnya lembut. Tampak garis kerutan menghiasi wajah tante Asri. Terlihat jelas sekali wajah lelahnya yang berusaha untuk tabah atas cobaan yang diterimanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Kami akan menunggu di luar nak… ayo Pa, beri mereka waktu untuk menemui Redo.” Ujar tante Asri kepada suaminya. Merekapun ke luar kamar. Tinggal aku berdua dengan Sari dan Redo dalam kamar.
Aku menghampiri ranjangnya. Rasanya begitu berat melihat kondisinya sekarang. Jantungku berdebar amat keras. Aku ketakutan. Ia hanya diam terbaring di atas ranjang. Aku melihat berbagai selang dan kabel menempel pada tubuhnya. Aku tak mengerti apa fungsi mesin-mesin itu. Aku hanya tahu satu mesin yang menunjukkan detak jantung Redo. Monitor itu masih menampilkan garis yang tidak beraturan. Jantung Redo masih berdetak. Redo masih hidup, meski ia hanya terdiam di atas ranjang. Wajahnya hampir tak terlihat dengan jelas karena tertutupi perban dan selang oksigen. Matanya terpejam, wajahnya terlihat tenang sekali, seperti sedang tidur. Aku mendekat ke samping ranjangnya, mengelus rambutnya, dan menggenggam tanganya perlahan dan lembut.
“Redo? Apa kau tidak bosan berada di atas ranjang terus menerus?” ujarku. Suaraku mulai serak menahan air mata yang ingin tumpah. “Hari ini aku sudah boleh pulang. Aku baik-baik saja. Aku kangen kamu Do. Karna itu cepat bangun. Aku ingin bercanda denganmu seperti dulu. Aku rindu saat-saat kita berdebat karena masalah kecil. Aku rindu segala hal yang berbau tentangmu.