Part 1

67 2 0
                                    

Sebelum saya memulai cerita, saya akan menyampaikan beberapa informasi :

1.    Cerita ini pernah diikutsertakan dalam Event Kastil Fantasi pada tahun 2011.

2.    Karena tidak lolos seleksi, maka cerpen ini saya masukkan dalam salah satu buku antologi solo saya yang berjudul Yang Terabaikan (DeKa Publishing, 2011).

3.    Ada sedikit editing dari naskah awal (penyelarasan) agar enak dibaca.

Selamat membaca :)

-----------------------------------------------------------------------------  

Anak-anak tetangga sebelahku selalu saja memandangiku dengan sedikit sinis. Tetapi aku tak ingin menggubrisnya. Aku sedang sibuk dengan proyekku untuk meneruskan pembangunan rumah kedua. Tetapi ada saja halangannya. Kali ini mereka tak segera pergi untuk bermain atau masuk ke rumah masing-masing. Malah sengaja mengambil anak tangga yang ku sandingkan di batang pohon yang sekarang ku panjat.

“Memangnya aku takut jatuh jika mereka mengambilnya? Silakan saja.” Gumamku sembari melanjutkan proyek dengan bersemangat.

Beberapa menit berlalu, tanpa dipanggil mereka kembali menghampiriku. Kali ini mereka datang dengan membawa sebilah kayu. Entah dengan atau tanpa arti mereka membawanya.

“Wah, terimakasih. Tak usah repot-repot. Taruh saja di bawah. Nanti aku turun untuk mengambilnya.” Pikirku positif, karena tak tahu apa yang akan mereka lakukan.

“Turun tidak!? Berisik tahu!! Turun!!” sahut orang yang menenteng kayu tersebut dan menunjukkannya padaku.

“Memang aku takut? Coba saja kalau berani?!” tantangku lagi. Tanpa aku hiraukan mereka. Kembali aku teruskan rumah impianku di sela-sela cabang yang kokoh.

Lagian, mengapa mereka ribut sendiri? Rumah-rumahku sendiri, pohon-pohonku sendiri, di pekarangan orang tuaku sendiri. Aneh! Kalau berisik tutup mata. Eh, tutup telinga. Biar tak mendengar sekaligus melihatnya. Atau, mereka sirik denganku? Karena aku bisa memanjat pohon di ketinggian 2,5 meter. Di usia remaja yang sudah menginjak dua belas tahun, pikirku, harus mulai berani untuk mencoba hal-hal yang menantang. Tetapi mungkin tidak dengan mereka. Di umur delapan tahun saja mereka sudah berbobot lima puluh kilogram. Sehingga menjelang umur sebaya denganku, mereka bertambah gemuk. Itulah sebabnya anak mami tersebut iri padaku. Karena aku dapat memanjat dengan tubuh yang ideal.

Hampir satu Minggu proyekku telah delapan puluh lima persen berdiri. Kini tinggal memasang atap dan anak tangga yang menngantung dengan tali. Tanpa bantuan siapapun apalagi tukang kayu, orang tuaku pun membebaskanku bermain sesuka hati.

Bulan ini memang  sedang panen. Semua pemetik buah segera bekerja. Memanjat semua pohon tapi tidak dengan pohonku. Ya, satu pohon yang ku jadikan proyek rumah pohon. Walaupun banyak yang matang di sela-sela ranting pohonku.

Memang pohon ini milikku. Tanpa aku larang, mereka tak berani memetiknya. Karena sudah dapat amanat dari juragan mereka.

“Senangnya bisa menikmati buah manis. Sembari leyeh-leyeh1 di rumah pohon ini,” sambil terus mengupas buah yang sudah aku kumpulkan. Tanpa sengaja kulit rambutan yang aku buang mengenai seseorang anak mami yang waktu lalu menantangku dengan kayu untuk segera turun.

“Hei, jangan seenaknya membuang kulit rambutan itu. Apalagi mengenai kepalaku.” Celoteh Beni sambil menyudutkan tangannya di pinggang.

Aku acuh saja pura-pura tidak tahu.

“Salah siapa lewat di bawah Istanaku tanpa permisi.” Sahutku.

Dengan kesalnya Beni bergegas menghindar dengan marahnya bak pesumo handal. Serasa gempa di sekeliling pohon akibat ulah si gembul.

Anak RambutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang