Untuk saat ini, aku beruntung memiliki seseorang sepertimu.
Kadang, kamu berada di depanku hanya untuk melindungiku dari serangan orang - orang jahat. selalu berada di sampingku untuk menggenggam erat tanganku agar aku tidak ragu untuk melewati semua jalan yang akan kita tuju.
Dan terkadang pula, kamu berada di belakangku untuk melihatku bahagia dengan semua pegorbananmu tanpa aku ketahui.
Kini bisakah aku hidup tanpamu?
- KEANNE TARISSA JULIAN
***
Yang aku pandang sekarang, adalah seseorang yang menurutku sangat tampan setelah Ayah dan Kakakku, cowok idaman semua wanita, dan kebahagiaan terbesar yang aku milikki setelah keluargaku.
Pandangan indah dari perpustakaan sebelum istirahat berakhir.
Tak sadar, aku melamunkan Jingga sambil menopang daguku dengan tangan yang selalu aku pakai untuk mengerjakan tugas sekolah yang sangat menyiksa di jendela yang terbuka. Ketampanan Jingga makin bertambah saat dia sedang bermain sepak bola seperti ini. Perempuan mana yang tidak akan jatuh hati padanya?Tiba - tiba, ada bisikkan setan yang sangat menggangguku entah datang dari mana tapi, suaranya sangat menyejukkan hati.
"Heh putri lemot, lagi merhatiin siapa? Cowok ganteng?" tiba - tiba lamunanku buyar, jelas - jelas aku terganggu.
"Rese banget ya, ganggu orang yang lagi berimajinasi tingkat tinggi!" Dengan nada kesal, aku menoleh ke arahnya.
"Ya Tuhan!!! Eh... hm... bukan gitu" sial, aku salah tingkah! hampir spot jantung rasanya. Kapan Jingga ada di sebelahku? Kapan dia datang ke sini? Bukannya tadi masih main bola?
"Ok, you're ignore me." Dengan nada datar ia pergi menjauhi jendela yang aku diami.
"Jinggaaaaaa tunggu. Capek banget tau nungguin kamu disini." Teriakku sambil keluar dari perpustakaan dengan melompati jendela.
"Duh lemot ya, aku kan ceritanya marah. Jadi kamu harusnya rayu aku." Ucap Jingga sambil mengacak - acak rambutku dengan sedikit tersenyum.
"Yaudah, aku min-" sebelum perkataanku selesai, tiba - tiba dia memotong omonganku "Pokoknya nanti sore aku jemput kamu di rumah, kamu harus dandan yang cantik buat aku. Bukan menor, inget.. bu-kan me-nor"
Inilah kebiasaan dia, selalu mengajakku pergi ke suatu tempat tanpa meminta persetujuan dariku. Tapi, aku suka.
Cuacanya sangat cerah sore ini, sayang sekali jika dilewatkan hanya untuk bersantai dan bermalas - malasan di dalam rumah. Semangat sekali rasanya pergi bersama lagi walaupun ini yang kesekian kalinya, bukan yang pertama. Entah, hanya saja rasanya berbeda.
"Bip... bip..." terdengar suara klakson mobil Jingga sampai membuatku berlari ke arah pagar. Benar saja itu dia. Aku membukakan pagar dan kembali ke dalam rumah bersama Jingga untuk pamit ke Kakak ku. Kebetulan aku tinggal di Bandung hanya bersama Ka Johan, kakakku satu - satunya.
Sepanjang jalan, Jingga menggenggam lembut tanganku. Ada satu kalimat yang tak mampu aku lupakan, tiba - tiba ia berbicara seperti ini "aku sayang kamu Ne" tanpa ada pembicaraan sebelumnya. Teduh sekali hatiku. Nyaman. Benar - benar nyaman. Sampai aku tak mampu berkata apa - apa. Hanya membalas kalimat itu dengan menatapnya dan tersenyum penuh arti.
Kami sampai di wahana arena bermain di daerah Bandung yang sebelumnya tidak aku ketahui sebenarnya kita akan pergi ke mana.
Dia banyak menarikku untuk menaiki wahana bermain, sampai menaikki wahana air. Banyak sekali foto - foto yang kami dapatkan yang suatu saat itu akan dikenang indah.
"Ne, kita kayaknya harus naik yang itu deh." Sambil menunjuk - nunjuk ke arah wahana permainan berbentuk kincir angin yang berputar 360 derajat dilangit dengan kecepatan tinggi. Dia menarik - narik tanganku untuk mengambil antrian. Padahal aku sudah lelah sekali karena semua wahana hampir sudah kita naikki.
"Jingga, aku naik wahana disini kayaknya olahraga jantung banget deh. Kamu aja deh yang naik. Aku diem disini kasih semangat buat kamu. Mwah! Hehe" ucapku spontan dan membuat Jingga tertawa.
"Oke! Kamu liatin aku ya? Jangan lirik - lirik cowok lain. Inget!" canda Jingga sambi meninggalkanku di luar antrian wahana permainan tersebut.
Waktunya Jingga menaikki wahana itu. 1 menit pertama belum terlihat ekstrim, Jingga masih sempat melambaikan tangan ke arahku. Di menit ke 3, wahana permainan tersebut mulai menyeramkan bagiku.
"AAAAAANNNNNNEEEEEEE...!!!! AAAKUUUU SAYANGGGG KAMUUUUU!!!"
Di tengah permainan tersebut sedang berlangsung, Jingga melakukan sesuatu yang tak terduga. Dengan teriakan seperti itu, semua orang melihat ke arah wahana permainan yang menjadi sumber suara dan menemukan orang yang berteriak keras.
Pada saat itu juga, pipiku langsung bersemu merah. Tak terasa permainan itu telah berakhir. Orang yang teriak di wahana tersebut -Jingga- datang mendekatiku. Semua orang memandangi langkah Jingga sampai semua orang yang berada di sekitarku sadar bahwa teriakan itu untukku. Malunya.
"Kamu apa - apaan sih, liat deh semua orang jadi pada merhatiin aku." Ucapku bahagia sambil menunduk malu.
"kamu tau? Aku teriak tadi itu karena aku takut. Aku inget nama kamu, karena kamu adalah sumber kekuatan aku. Jadi aku gak takut lagi deh." Ucapnya polos.
"Selalu nyebelin ya... dimanapun." Ucapku asal - asalan.
"Yuk kita makan." Ajaknya.
Hari semakin larut. Akhirnya aku sampai di depan rumah dihiasi dengan hujan rintik - rintik.
Terima kasih Jingga, hari ini aku bahagia.
***
Keesokan harinya di sekolah, aku tidak menemui Jingga di sudut manapun. Dia seperti orang hilang, seperti seseorang yang tidak diketahui keberadaannya. Setiap aku tanya teman sekelasnya, mereka menjawab dengan menggelengkan kepala. Kalau mereka tidak mengetahui keberadan Jingga.
7 hari sudah berlalu, hari dimana aku tanpa Jingga. Setiap aku kirim pesan di WhatsApp, di DM twitter, dia tidak meresponnya. Pada akhirnya aku menemui seseorang yang sudah seminggu ini aku rindukan dari balik jendela perpustakaan yang biasa aku tempati di perpustakaan. Ya, itu Jingga!!!
Dengan polosnya dia memainkan handphone di pinggir lapangan sepak bola yang dekat sekali dengan perpustakaan, tempat yang setiap hari aku kunjungi untuk mendapatkan ketenangan. Setiap hari aku mengiriminya pesan, tapi tak dia balas. Aku rasa dia bukan tipe orang yang bisa jauh dari smartphonenya. Ah sudahlah.
Dia melihat kearahku, aku melambai - lambaikan tangan dengan senyum simpul yang terlihat jelas bahwa aku merindukannya.
Berbeda dengan raut wajahnya yang aku pandangi dari kejauhan. Dingin, hampa, tanpa ekspresi, bisa dibilang berbanding terbalik dengan suasana hatiku sekarang.
Tanpa permohonan maaf karena telah mengabaikanku, atau basa - basi memberitahuku selama 1 minggu ini dia pergi kemana, dia justru mengatakan sesuatau yang tak ingin aku dengar.
"Aku harus bilang ini ke kamu." Ucapnya tanpa menatap mataku.
"Bilang apa Jingga? Aku seneng loh akhirnya aku bisa nemuin kamu lagi. Kok kaya orang sibuk banget sih sampe gak bales semua pesan aku." Ucapku riang sambil meraih jari kelingkingnya.
Dengan lembut dia melepaskan kaitan jari kelingkingku yang terselip di jari kelingkingnya. Sambil tersenyum manis.
"Buat besok, kamu harus terbiasa sendiri tanpa aku. Aku gak bisa selamanya ada di samping kamu, gak bisa selamanya ada buat kamu. Aku gak bisa terus maksain hubungan yang kita jalanin sekarang. Jangan tanya kenapa!"
Hening, tak ada yang berbicara. "Ne, kita udahan aja!" Tak sempat aku mengeluarkan sekata dua kata, Jingga sudah meninggalkanku sendirian.
Hanya punggungnya yang kini aku lihat. Air mataku mulai menetes setetes demi setetes. Tak sadar aku mengeluarkan air mata. Sejahat itukah Jingga? Haruskah dia meninggalkan luka di tempat yang sama? Di tempat yang pernah ia selamatkan dulu? Di tempat yang pernah ia jaga supaya bisa sembuh? Dan akhirnya akan tetap menggoreskan luka lagi?
JADI, SEPERTI INI RASANYA DILUKAI DI TEMPAT YANG SAMA. LUKA DI HATI
KAMU SEDANG MEMBACA
Out Of The Blue
Teen FictionSINOPSIS Keanne Tarissa Julian Ketika kalian kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidup kalian, lihatah sekeliling! Kalian akan menemukan banyak orang yang mengalami kepedihan yang sama dan bahkan lebih buruk dari yang kalian rasakan. Itulah...