Kakek Yang Bijak

22 0 0
                                    

Kata kawanku, di daerah bekas petilasan Raja Hayam Wuruk —seorang raja dari Kerajaan Majapahit pada saat itu— terkenal dengan penampakan seorang kakek tua yang telanjang dada namun memakai semacam sarung batik. Rambutnya acak-acakan. Kulitnya gelap dan wajahnya keriput. Seperti seluruh tubuhnya, keriput.

Aku yang pada saat itu, sedang bersantai ria di bawah pohon, di belakang makam Troloyo, ada pembicaraan yang mendadak membuat rasa penasaranku menjadi-jadi.

"Katanya sih, yang ku ketahui itu, ada seorang kakek tua yang duduk. Kerjaannya memang hanya duduk-duduk saja di depan bekas petilasan itu." Kata Abdul.

"Dia hanya duduk?" Tanyaku.

"Lebih tepatnya, menjaga tempat itu." Jawabnya kembali dengan meminum segelas kopi yang hangat di siang yang panas. Rasa penasaranku pada saat itu meningkat drastis. Ada, seperti rasa ingin tahu yang lebih dalam akan keberadaan kakek itu. Entah kakek itu nyata ataupun ghaib, aku hanya ingin tahu tempat dan keberadaan kakek itu. "Yang ku ketahui, dia semacam kakek dari dunia lain." Kata Abdul. Rasa penasaranku menjadi-jadi. Kakek dari dunia lain? Dunia yang seperti apa yang dimaksudkan Abdul itu. "Kalau ada orang yang melakukan lelaku tertentu, akan di temui oleh sang kakek tersebut." Lanjutnya.

Memang bukan hal yang asing lagi, tempat itu memang mengandung banyak cerita mistis. Apa yang ku dengar selama ini, banyak orang yang pergi kesana untuk bisa mendapatkan keberkahan tersendiri.

Mungkin karena rasa penasaranku yang menjadi-jadi, aku memutuskan untuk pergi kesana malam ini. Aku pun tak sabar menunggu malam. Abdul tak bisa menemaniku karena dia ada janji dengan ayahnya, "Aku sarankan kau untuk tidak mamang daripada kau celaka atau terjadi apa-apa. Yakinkan diri sebelum berangkat." Pesannya kepadaku.

Sore menjelang, dan aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menuju tempat tersebut. Dengan segala niat yang aku kumpulkan yang hanya bermodalkan 'rasa penasaran' yang tinggi, membuatku menjadi tak bisa menahan rasa keingin-ketahuanku. Selain keberadaan kakek tua tersebut, aku juga ingin mengetahui bagaimana bentuk dari tempat petilasan itu sendiri. Entah kenapa, aku begitu suka dengan tempat-tempat semacam itu atau hal-hal yang berbau dengan 'pertapaan'. Adzan Magrib sudah berkumandang, kini, malam semakin dalam. Tiba-tiba, dalam bayanganku, teringat akan perkataan Abdul. Aku sarankan kau untuk tidak mamang daripada kau celaka atau terjadi apa-apa. Yakinkan diri sebelum berangkat. Dan kata-kata itu terus terulang, hingga akhirnya membuatku menjadi ragu. Sialan, ucapku dalam hati. Apakah aku harus berangkat malam hari? Atau, aku berangkat siang hari saja? Tapi, jika aku berangkat di waktu siang, aku takkan berjumpa dengan kakek tua tersebut. Namun, jika aku bertemu dengan kakek tua, apa yang akan aku lakukan? Lari? Dan rasa raguku pun menjadi-jadi.

Tepat pukul delapan malam, aku mulai keluar dari rumah. Di perjalanan, aku mulai ragu. Keraguanku terus menjadi-jadi dan bertempur dengan rasa penasaranku. Yang aku rasakan, antara ingin berjumpa dengan kakek tua itu dan mengetahui tempat itu dan ketakutan akan keberadaan kakek tua itu dan aku yang masih terus berjalan menuju tempat petilasan itu. Tanpa berhenti sedikitpun, aku terus berjalan. Tanpa ragu sedikitpun aku tak berbalik arah. Hingga akhirnya, aku terpaksa berhenti di pinggir jalan yang dimana di kanan-kiriku adalah sawah. Jalanan yang gelap, tanpa ada penerangan apapun, yang hanya mengandalkan lampu penerangan dari Handphone yang kubawa, aku mulai turun dari sepeda motorku. Aku melihat kebawah, sial, ban ku bocor. Sekali lagi, aku melihat kanan-kiriku dan aku mulai berpikir, mustahil disini ada tempat untuk menambal ban yang bocor. Aku yang entah harus bagaimana lagi, mencoba menuntun sepeda motorku. Aku terus menuntun ke arah tempat petilasan tersebut, dengan harapan, aku menemukan orang yang mampu menambalkan ban yang bocor ini. Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, aku bertemu dengan seorang kakek. Wajahnya tak terlalu terlihat begitu jelas, mungkin karena tak ada lampu penerangan sedikitpun disini dan hanya ada lampu dari sepeda motorku yang menyala, kakek itu datang menghampiriku dan berkata "Mbók yoo nék koncone ngandani iki yoo dirunggókno. Wes bolak-balik dikandani ojok mamang, malah nekat. Wes, saiki mbalék'o ketimbang onok opo-opo nék mbók terosno." (Kalau temannya kasih saran itu yaa tolong di dengarkan. Berkali-kali bilang jangan ragu-ragu, kok malah nekat berangkat. Sudah, sekarang kamu balik pulang daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika masih kamu meneruskan perjalanannya.) Kata kakek itu. Aku hanya diam dan menatap jalan itu.

Dan aku memutuskan untuk kembali pulang. 

PutihWhere stories live. Discover now