39 - Curtain Call

106 13 3
                                    

"Bangun, Bego."

Tanpa simpati, Hisato Ryou menendang kaki Miyamura Atsushi, sebelah tangan mengelap darah buatan yang terciprat ke wajahnya. Cemberut menghiasi wajah sang Knave of Heart, jelas tidak mengapresiasi fakta ia harus berakting mati dibunuh Hasegawa Aoi.

"Ouch, kakiku ceritanya patah nih, lembut sedikit dong," protes Atsushi dengan dramatis, menarik kakinya sembari berguling untuk berbaring telentang. Pemuda berambut ungu itu kemudian melompat berdiri, dan hampir seketika, melayang di udara dengan sepatunya.

"Minami-san, sewaktu kau jatuh, ekspresimu absurd sekali," suara datar Hashiri Kiba terdengar dari sisi dinding yang lain. Laki-laki yang lebih muda tersebut mengintip dari balik dinding, ekspresi penuh perhitungan, membuat segala tentangnya terlihat menyebalkan.

Minami Fuyukashi bangun mendadak, berjengit ketika darah buatan membuat jemarinya lengket. "Sewaktu kau ditembak Aoi gaya jatuhmu juga absurd," balas Minami, tidak terima dihina absurd oleh laki-laki yang beberapa tahun lebih muda darinya tersebut.

"Sudahlah," Nymph bangun perlahan dari posisinya berbaring. Wanita muda itu menggelengkan kepalanya ketika melihat Minami dan Kiba mulai terlibat debat tidak penting tentang akting kematian siapa yang paling keren—selain kematian dramatis Kuroki Nanami.

"Kuroki, kau tak apa? Jatuhmu keras sekali, terdengar sampai ujung," Iva Lucille muncul dari balik dinding yang lain, menunjuk ujung lorong untuk memberi visual terhadap kalimatnya.

Nanami menegak, tulang punggungnya mengeluarkan suara pegal yang memuaskan, "Tidak apa. Suara jatuh Noga juga lumayan keras, kepalamu tidak terbentur kan?" wanita muda itu balas memandang kelinci hiperaktif yang melompat-lompat bersama dengan Atsushi.

"Tidak masalah! Tetapi sepertinya aku salah urat," Hashiri Noga menjawab dengan santai.

"Apakah Aoi benar-benar sudah pergi?" Atsushi berhenti menari-nari di antara genangan darah untuk bertanya. Ia meraba telinga kucingnya, seolah hendak melepasnya, tetapi pemuda itu memutuskan untuk tetap menjaga telinga itu di sana—toh benda itu bisa bergerak sesuai perasaannya, seperti telinga kelinci Hashiri, kurang keren apa coba benda buatan Nymph itu?

Nanami mengangguk, "Ia masih menjaga komunikasi," wanita muda itu mengetuk anting di telinganya. Benda itu berpendar sejenak, sebelum warnanya semakin menggelap.

Ryou menoleh dari tempatnya, sepasang iris sewarna lembayung senja terpaksa berpindah tempat dari mayat berambut biru, "Melepas orang yang imun begitu saja, aku tidak tahu kalian ini bodoh saja atau bodoh sekali," suaranya sewot dan dipenuhi dengan kekesalan.

Atsushi melompat ke belakang Ryou.

"Oho, apakah kau tidak terima Sei membunuh Haijima? Gasp, Ryou akhirnya memiliki emosi!" Atsushi menari pergi sebelum Ryou sempat mencekiknya dengan dua tangan.

"Lucille, Kiba, bantu aku membersihkan mayat mereka," suara penuh otoritas Nymph terdengar lagi, wanita berambut platina itu mengangkat tubuh gadis berambut hijau dengan mudah sebelum menggesturkan kepalanya kepada Lucille dan Kiba yang segera menurut.

Nanami mengurut bahu kirinya yang terkena hantaman paling keras ketika ia jatuh, "Tidak apa-apa. Aoi berjanji akan membawa Sei kembali setelah beberapa minggu, ia hanya ingin membiarkan Sei melihat dunia—kalian tahu sendiri betapa terobsesinya Aoi dengan Sei."

Atsushi meringis, Ryou membuat ekspresi seperti mau muntah.

"Mereka tidak marah?" Kiba bertanya, suaranya polos dan inosen.

Nanami menggeleng, "Diperbolehkan. Toh, ini pertama kalinya kita menemukan orang yang kebal biarpun sudah diinfeksi dengan tiga belas jenis revolusi virus itu. Sepertinya hidup di jalanan memang membuatmu kebal ya—atau mungkin keberuntungan materialnya sudah dipakai untuk itu," wanita muda itu bersandar pada dinding terdekat. Pikirannya melayang kepada anak perempuan berambut cokelat tua yang ia temukan alkisah pada suatu masa.

"Aoi adalah anak bangsawan, wajar bila ia terpesona pada anak jalanan—kisah cinta klasik beda dunia," Atsushi tertawa. Sepasang iris sewarna peridot berbinar bahagia, seolah ia tengah membicarakan sebuah hal normal yang bukan di bawah langit yang sudah retak.

"Mengingat kita membicarakan Aoi di sini, aku tak yakin ia kembali," kerutan di dahi Ryou semakin mendalam, kedua tangannya terlipat di depan dada.

Atsushi tertawa, menyetujui teori Ryou yang sama sekali tidak absurd mengingat mereka membicarakan seorang Hasegawa Aoi di sini, "Mungkin ia akan pergi ke ujung dunia untuk menyembunyikan Sei supaya mereka hidup bahagia."

Tetapi mereka semua tahu Aoi pasti akan kembali.

Karena hanya di tempat ini Sei dapat bertahan hidup, terlepas apakah ia imun atau tidak.

Dan Aoi akan memastikan gadis itu tetap hidup dengan tarikan maupun dorongan.

Nanami menggelengkan kepalanya begitu mendengar kedua remaja di hadapannya mulai bertukar gosip, "Jika kita membicarakan imunitas, Sei memang dapat bertahan hidup. Bila ia mati di luar sana, bukan karena virus. Kemungkinan besar ia akan mati karena dibunuh, entah oleh, ahem, orang yang tertular virus, ataupun manusia yang tersisa. Dan Aoi sudah pasti tidak mau mengambil resiko seperti itu," ia menaikkan kedua bahunya, sangat yakin.

"Membuatmu bersyukur tempat ini tidak dapat dilihat oleh orang yang tidak terdaftar pada jaringan keamanan kita, tidak sih?" Atsushi terkekeh lagi, suaranya terdengar bangga.

"Iya saja kepada orang yang menciptakan jaringan keamanan tempat ini," Ryou berkata sarkastis. Mendapatkan sebuah sorakan dari Atsushi begitu mendengar Ryou semacam agak memujinya, kendati dengan nada sarkastis yang begitu menembus hati dan jiwa.

"Omong-omong, aku masih bertanya-tanya apa pentingnya akting kematian kita."

Nanami berdiri, menepuk debu imajiner dari pakaiannya, dahinya berkerut ketika ia sadar noda darah buatan di pakaiannya tidak akan menghilang dalam waktu dekat, "Aoi ingin Sei mempercayai delusi bahwa hanya tinggal Aoi yang tersisa, ia ingin Sei bergantung kepadanya selagi mereka di luar sana."

Atsushi berjengit, "Astaga, mengapa sahabatku di tempat ini tidak ada yang benar semua."

Ryou menendang kaki Atsushi sekali lagi.

"Lalu bagaimana ia menjelaskan kita masih hidup ketika mereka kembali lagi?" Kiba yang sedari tadi diam kembali bersuara, kepalanya miring ke satu sisi. Telinga kelinci yang masih terpasang di kepalanya bergerak-gerak seperti antena semut, dan Ryou kembali menjitak Atsushi ketika remaja yang lebih tua itu mengomentari telinga kelinci Kiba.

Nanami menggelengkan kepalanya, "Kalian tahu Aoi."

Atsushi menambahkan, tidak penting, "Susah menebak apa yang ia pikirkan."

Ryou berkomentar, sama tidak pentingnya, "Menyebalkan pula."

"Komentarmu sangat tidak penting, Ryou. Tapi usahamu akan diapresiasi—aw!"

Mengabaikan Ryou yang menginjak kaki Atsushi dengan sekuat tenaga dan memaksa sang kucing berpijak di lantai karena tidak mampu meraih lehernya, Nanami menggelengkan kepalanya sekali lagi, tidak menyangka kedua remaja di depannya itu adalah salah satu dari lima jenius yang diseret untuk menyelamatkan sisa dunia.

The Duchess kemudian menoleh untuk menatap March Hare, sepasang iris sewarna senja berkilat sekali, penuh dengan determinasi yang nyata, "Karena itu, dalam impresi bila Aoi tidak membawa Sei kembali, kita harus bersiap untuk Project Alice lagi."

Terdengar suara tawa dari anting yang terpasang di telinga kiri sang bangsawan malang.

"Tak apa, Kuroki-san."

Jeda.

Dari seberang alat komunikasi mereka, Mad Hatter tersenyum.

"Semuanya tetap dalam rencana."

.

.

Epilogue End.

Project AliceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang