ten : romeo and juliet

426 62 11
                                    

Tuhan mengabulkan doa baik Liam. Ara benar-benar tidak mabuk, dia tidur di atas kasur dengan selimut tebal membalut tubuhnya. Wajahnya pucat pasi, hampir seperti kehilangan warna. Tangan Liam terulur untuk menyentuh dahi kakaknya, dan terlonjak. Suhu badan Ara meninggi.

"Kak Ara nangis sejak tadi pagi, gak mau makan, ngurung diri, Niall gak tau kenapa," kata Niall dari ujung ruangan, menggigiti kukunya.

"Dan kamu rela libur sekolah cuma gara-gara ini?"

"Niall nggak tau Niall bakalan bolos, soalnya Kak Ara nangis sejak pagi-pagi banget. Jam empat kalo gak salah. Pas Niall mau pipis."

Dua hal yang dia tahu soal adiknya itu; 1. Niall seorang yang tolol, seorang tolol gak mungkin tega bohongin orang, 2. Niall rajin sekolah. Dia gak akan bolos kecuali dalam keadaan yang mendesak Liam mengangguk-angguk paham. Niall memang selalu bangun tengah malam untuk nyemil atau buang air kecil.

Sebenarnya Liam masih tidak percaya. Selama ini, Ara dikenal sebagai pribadi yang kuat dan tegas, gak akan nangis karena hal-hal sepele. Baik Liam atau Niall sangat jarang mendapati Ara menangis.

"Kamu yakin Kak Ara nangis sampe sebegitunya?" tanya Liam lagi-lagi.

"Ya iyalah, Kak. Kak Liam kan tidurnya kebo banget. Niall mau pipis. Nah, siapa lagi kalo gak Kak Ara? Papa kan kerja," jawaban polos Niall tidak dapat dibantah lagi. Liam mengangguk.

"Betewe eniwei baswei, Kak, kemarin cowok yang dateng ke rumah itu siapa sih?" tanya Niall.

Mampus. Pasti dia denger. "Mantannya Kak Ara."

"Dia emang jahat, Kak," Niall menggantungkan kalimatnya, membuat Liam makin penasaran. "Kak Ara aja pernah dipukul. Di depan mata Niall sendiri. Kak Ashton juga pernah bentakin Kak Ara sampe Kak Ara nangis."

"Terus, terus?" Sifat kepo Liam mulai muncul.

"Ya gitu deh, Kak. Kak Ashton itu kayak orang kena bipolar disoder. Niall pernah baca, kalo orang yang kena bipolar disorder itu ngalamin perubahan mood ekstrem. Awalnya ketawa-ketiwi, jadinya marah-marah. Ya kayak Kak Ashton gitu, serem," Niall bergidik ngeri.

"Tapi Kak Ara pernah sekali cerita ke Niall, Kak Ara itu sayang banget sama Kak Ashton. Awalnya mereka itu cuma sahabatan, terus Kak Ara suka, ya mereka jadian. Nah, sejak awal-awal pacaran aja mereka udah berantem terus. Kak Ashton kayak gak ngganggep Kak Ara gitu deh.

Asal Kak Liam tau aja, Kak Ara gak ngasih tau Kakak itu soalnya dia takut Kak Liam bakal kecewa. Kak Ara takut Kak Liam bakal pacaran juga."

"Ya kalau takut gue bakal pacaran kenapa gak berhenti pacaran aja?" Liam uring-uringan sekarang. Ara nggak adil.

"Justru itu, Kak. Seharusnya Kak Liam bersyukur. Kata Kak Ara, pacaran itu susah-susah senang. Selama ini kan, Kakak cuma main-main sama Zoe, Zalfia, Zhira, Zia, Zelda, de-el-el. Kalo udah serius, kata Kak Ara, bakal lebih sakit lagi. Nah, Kak Ara di sini bermaksud baik, dia cuma mau bilang ke Kakak sama Niall juga kalau jangan pacaran sebelum kita bener-bener serius sama orang itu."

"Tapi gue serius suka sama Zayn!" seru Liam.

"Kakak kan juga bilang gitu sama Zoe," oke, Niall menang kali ini.

"Ya udah bodo amat. Kamu urus nih anak. Gue capek ngurusin orang patah hati," Liam berdiri dan meninggalkan kamar Ara dengan muka monyong dan bersungut-sungut marah.

Paginya, dia terbangun di meja belajar, buku Matematika setebal tiga senti itu lecek dijadikan Liam sebagai bantal. Punggung, bahu, dan kepalanya sakit semua. Semalam Liam begadang, mati-matian merevisi skripsinya. Entah sudah berapa kopi yang dia habiskan, Liam tetap ngantuk.

Baru saja hendak melanjutkan tidur, ponselnya berbunyi. Dia ingin menyumpah, mengutuk siapapun yang berani menelpon pagi-pagi buta begini. Pada deringan keempat, Liam menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga kanan.

"Siapa lo berani-berani nganggu tidur gue?" katanya sewot sendiri.

"Ya ampun, Su. Santai bro, santai, ini gue Louis. Cowok paling ganteng seantero kampus."

"Sesuka lu, deh."

"Eh, gue butuh bantuan lo neh."

"Apaan?"

"Ya amsyong, Li, sewot amat sih lo. Gini, kan gue masuk jurusan Sastra Inggris neh. Gue dikasih proyek, sama dosen gue. Kayak bikin film gitoh. Film yang diangkat dari buku sastra Inggris."

"And so?"

"Trus trus, gue kan pingin kayak cerita romantis getoh. Nah, gue mau bikin drama tentang Romeo and Juliet. Lo mau bantuin gue, kan?"

"Buat apaan? Kalo nulis naskah gue gak mau ya. Gue masuk jurusan Matematika, bukan Sastra kek lu."

"Jiaelah, Su. Naskah mah udah jadi dari dulu. Lo bantuin gue jadi Romeo-nya ya?"

"Dasar cowok sinting! Bohong aja gue gak bakat, apalagi akting di depan banyak orang!"

"Gak di depan banyak orang juga, mungkin cuma lima puluh... eh gak deng, mungkin tujuh puluh kali ya."

"Lo bego, tolol, atau stupid? Lima puluh orang lo bilang cuma? Udah gila kali lo."

"Ya kan lo itu cocok banget sama kriteria yang udah gue syaratin buat jadi Romeo. Lo cakep, keren, terkenal, punya nama baik--eh, ini gue muji lo bukan berarti gue suka sama lo ya. Tapi ayolah Su, gue butuh bantuan lo neh."

"Ah, tapi gue gak yakin bakalan lulus casting. Gue aja alergi sama kamera."

"Plis banget, Su!"

"Duh, Nyet. Emangnya gak ada anak lain yang bisa lo hubungin? Pacar lo kek, siapa?"

"Lo nyuruh Eleanor buat jadi Romeo? Kalo gue mati kena gampar gimana? Lo mau nganter gue sampe makam?"

"Ya jadi Juliet lah."

"Udah ada yang meranin."

"Em... Gimana kalo Josh Devine? Si kapten futsal itu? Dia kan gak kalah macho sama gue."

"Ih, gue males banget sama dia. Ganteng sih, tapi cuek begitu."

"Xavier?"

"Si culun yang sukanya diem di perpus itu? Jiah, ngaco lu!"

"Ivan?"

"Gue gak kenal."

"Siapa dong?"

"Ya elu, Su!"

"Ck, lo maksa. Oke, karena gue ganteng, dewasa, baik hati, rajin nabung, dan terkenal, oke, gue mau."

"Nah gitu. Itu baru sohib gue."

"Terus, yang jadi Julietnya siapa?"

"Cowok juga sih. Habisnya cuma dia yang mirip sama kriteria yang gue cari; cantik alami, gak terlalu banyak omong biar gampang diatur, imut, and agak-agak nerdy gitu. Cakep lah."

"Dasar gila, lo! Mana bisa cowok meranin tokoh cewek! Lagian mana ada sih cowok yang cantik?"

"Tapi dia emang cantik kok. Bahkan gue aja pernah naksir. Dia anak jurusan Fisika Nuklir, kuliah di ITB juga. Dia habis dipukulin sama gengnya orang. Sempet masuk rumah sakit, sih, dioperasi gitu perutnya. Tapi katanya besok dia udah bisa keluar dan ngerjain proyek bareng."

Kok, perasaan gue gak enak, ya? "Emangnya, y-yang jadi Juliet siapa?"

"Zayn Malik."

Liam membulatkan mata saking kagetnya. "Anjir."

My Angel Without Wings //ziam\\Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang