Chapter 18: Full Moon

4.5K 326 8
                                    

"Kali ini kita benar-benar dalam masalah," Uriel meletakkan kotak emas di atas meja berdampingan dengan Black Death.

"Kita hanya perlu memanggil Zehel kan?" simpulku. Tapi sepertinya pernyataanku tidak diterima Uriel karena sejak tadi ia melihatku tajam.

"Apa kau bodoh atau kau memang gak tahu?" Uriel menjentik dahiku.
"Tapi memang bisa kan? Selama ini Zehel keluar dengan sendirinya",
"Justru karna itu kemauannya sendiri makanya dia bisa keluar. Masalahnya kali ini, kalau yang memanggil dan memintanya keluar adalah kita, itu bukan hal yang mudah Rika," jelas Uriel.
"Perlu sebuah ritual untuk bisa memanggil Zehel, gak sembarangan," tambah Raizen.

Aku sama sekali tak tahu soal itu. Aku pikir ini hal yang mudah kalau hanya memanggil Zehel. Seperti membalikkan telapak tangan. Ritual seperti apa yang digunakan, aku punya firasat yang tak enak.

"Raizen, apa minggu ini ada Bulan Purnama?" tanya Uriel seraya mengambil sebatang lidi kecil.

"Hmm, ada, besok,"
"Besok? Rika, kau beruntung sekali,"
"Hm? Apanya yang beruntung?"
"Kalau tidak ada purnama, kau gak akan bisa manggil Zehel,"
"...!"

Satu hal yang membuatku penasaran. Yaitu kaldron, semacam kuali besar yang digunakan penyihir untuk meramu, tapi yang dipakai Uriel versi kecilnya. Terlihat beberapa daun segar, pasir hitam, bulu gagak, kelopak bunga Mawar, dan juga darah diletakkan disekitar kaldron.

"Itu darah ya?" tanyaku.
"Yap, darah merpati,"

Uriel mulai memasukkan seluruh bahan itu satu per satu ke dalam kaldron. Setiap bahan yang masuk, akan muncul asap hitam, seperti terbakar tapi tidak terbakar. Uniknya, biasanya penyihir memakai api untuk memasak ramuannya, tapi Uriel tidak.

"Rika, pinjamkan telunjukmu sebentar," ujar Uriel seraya menggenggam tanganku.
"Ouch!"

Uriel menusukkan jarum kecil ke telunjukku tanpa sepengetahuanku. Darahku mulai keluar sedikit demi sedikit. Kemudian Uriel mengarahkan jariku ke atas kaldron, membiarkan tetesan darahku jatuh ke dalamnya. Sampai beberapa tetes, Uriel langsung menutup lukaku dengan kapas.

"Darahku untuk apa?"
"Kau lihat saja nanti,"

Uriel juga ikut menusukkan jarum kecil yang baru ke jarinya. Dan mengarahkannya ke atas kaldron. Sesaat setelah setetes darah Uriel jatuh, tiba-tiba saja keluar api yang sepertinya membakar isi dari kaldron tersebut.

Benar saja. Uriel adalah malaikat api. Apapun caranya, ia pasti bisa membuat api. Tapi tak kusangka ia menggunakan darahnya yang berharga.

"Kenapa gak pake korek api?" tanyaku penasaran.
"Karna lebih cepat dan efisien," jawabnya santai.
"Kalau pakai korek api, efeknya akan lambat bekerja. Kalau pakai darah malaikat, efeknya akan bekerja 10 kali lebih cepat," lanjutnya.

Tak perlu menunggu lama, bahan-bahan tadi sudah menjadi cairan ungu. Entah bagaimana itu bisa terjadi, hanya dalam hitungan menit.

"Raizen, daun semangginya sudah dipotong?" tanya Uriel.
"Ini,"

Raizen menyerahkan semanggi yang telah dipotong dan memberikannya kepada Uriel. Kemudian, Uriel mengambil sejumput daun semanggi dan memasukkannya ke dalam tabung reaksi.

"Tabung reaksi untuk apa? Kamu mau praktek kimia?"
"Bukan Rika. Bisakah kau tidak bergurau di saat seperti ini?"
"Maaf,"

Isi dari kaldron itu dituangkan ke dalam tabung dan ditutup dengan serbet. Setelah lima menit, cairan tadi berubah lagi menjadi warna biru laut.

"Wow, seperti air yang biasanya,"
"Kamu akan minum ini ketika ritual besok,"
"Hah?"
"Ini salah satu syarat sebelum melakukan ritual. Darahmu yang kupakai tadi, berguna untuk memberi arahan. Ya, anggap aja kayak GPS, jadi bisa menemukan letak dimana Zehel bersembunyi di dalam tubuhmu," jelas Uriel.

Aku tak mengerti bagaimana ritual ini berlangsung. Tapi, daritadi aku punya firasat tak enak yang menurutku membahayakan Uriel nantinya. Aku jadi khawatir.

"Besok kita akan pergi ke Laümūchén, di sana ada bangunan tua terbengkalai di samping laut dan di atas tebing. Disana kita akan melaksanakan ritualnya,"
"Kalau tidak salah, disana ada lukisan mantra yang ditulis dengan darah," ujar Raizen.
"Berarti disana pernah ada yang melakukan ritual itu. Baiklah, hari ini kita siap-siap, besok pagi kita langsung berangkat. Memakan waktu 8 jam untuk sampai tempat itu, setidaknya kita harus sampai sebelum tengah malam," kata Uriel memimpin.

Uriel terlihat sedikit lebih cemas dari biasanya. Mungkin karena ini menyangkut nyawa. Apa ritualnya berbahaya sampai membuat Uriel terlihat cemas?

.................................................................

Tok...tok...

Seseorang mengetuk pintu kamarku ketika jam masih menunjukkan angka sebelas lewat dua puluh lima menit. Aku terbangun karena ketukan itu dan bergegas pergi ke depan pintu.

"Ini siapa?" Tanyaku.
"Ini aku Uriel, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Boleh aku masuk?"

Aku pun membuka pintu dengan perlahan.

"Maaf mengganggumu tengah malam begini," ujar Uriel.
"Gak papa kok. Masuk aja," ajakku.

Ketika Uriel memasuki kamarku, ia terlihat seperti meneliti sesuatu.

"A-ada apa?" Tanyaku.
"Hm?" Uriel menoleh. "Oh gak, mungkin hanya perasaanku saja,"
"Kenapa?"
"Kamarmu hangat sekali, padahal sudah pakai AC. Apa mungkin efek Zehel lagi?"
"Kamu aneh-aneh saja pikirannya. Tapi aku juga mengira seperti itu awalnya,"

Uriel terkikik mendengarku berbicara. Aku kesal dengan tingkahnya itu dan akhirnya membaring diriku ke atas kasur.

"Hey, apa kamu takut?" Tanya Uriel tiba-tiba seraya berjalan mengarah jendela.
"Takut apa?"
"Untuk besok"
"Hm, sedikit sih,"
"Aku juga,"

Uriel memandang rembulan dengan raut wajah yang terlihat sedih bercampur bingung. Namun, entah kenapa wajahnya begitu cocok sekali dengan perpaduan malam. Ia terlihat begitu menawan dari biasanya.

"Uriel, apa kamu Malaikat Api Uriel yang sebenarnya?"

Spontan Uriel mengalihkan pandangannya ke arahku. Yap, wajah yang terkejut terukir.

"Kamu baru tahu sekarang?" Ujar Uriel dengan senyum kecil.
"Sejak bertemu Orlan dan Pandora Box, aku sudah terlibat bukan? Bahkan Orlan dan Aldercy memanggilku malaikat api. Dan apa mungkin aku bisa membuat api hanya dengan memakai darahku? Rasanya itu gak mungkin kalau aku manusia biasa." Jelasnya.
"Benar juga," simpulku.

Selama ini, selama kasusku ini, Uriel yang lebih banyak berperan. Ia membantuku lebih dari cukup. Aku jadi berhutang banyak padanya.

"Ternyata kekuatan Zehel melebihi perkiraan ku," ujar Uriel mengalihkan topik.
"Apa maksudmu?"
"Pengaruh dari kekuatannya, sampai terasa oleh manusia. Kamu gak sadar kalau penampilanmu yang sekarang merubah bagaimana orang lain menilaimu? Kamu lebih terlihat seperti malaikat dibandingkan aku," ujar Uriel.
"Dan juga kehangatan. Kamu memberikan kehangatan tanpa kamu sadari." Tambahnya seraya menghampiriku.

"Itu semua karena kecintaan Zehel terhadap manusia. Makanya, Raja Langit sangat menghormati keputusan yang dikeluarkan Zehel, juga harga diri dan rasa kesetiaannya yang sangat tinggi,"

Uriel duduk di sampingku sambil memegang tanganku dengan erat, lalu mengepalkan telapak tanganku. Ia menyandarkan keningnya ke milikku. Aku merasakan kehangatan dari tangan Uriel yang menggenggam ku.

"Kuharap besok gak terjadi apa-apa." Ujar Uriel.
"Untuk sekarang istirahatlah dan siapkan mentalmu. Besok itu bukan hanya sekedar ritual tapi kamu harus mengorbankan darahmu,"
"Darah?!"
"Makanya," Uriel berjalan mengarah ke pintu,"berdoalah supaya gak terjadi apa-apa,". Uriel meninggalkan ruangan dengan senyum sinisnya.

Kupikir Uriel hanya bergurau ketika berbicara hal itu. Sekarang aku semakin takut karena ini bukan pengorbanan biasa. Aku tak tahu apa yang akan terjadi dan hanya bisa berharap kalau besok ritualnya tidak akan gagal.

.................................................................

The Beauty ArchangelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang