Son of Adams

9.8K 1K 24
                                    

"Layla cepat lompat!"

"Tidak."

"LOMPAT KUBILANG, CEPAT!!"

"Tidak- AKU TIDAK...." Seberkas cahaya yang menyilaukan menutup pandanganku. Hanya sekejap. Tanpa aba-aba dan seakan tengah menyadarkanku dari keabuan alam bawah sadarku.

Tidak ada siapapun di dalam ruangan ini kecuali aku dan tubuh yang terbaring itu.

Mimpi apa itu... siapa pria yang berteriak padaku?

Pandanganku kembali pada Aidan. Wajah tirus yang tampak sama dengan Thorn. Entah bagaimana, kurasa wajah Aidan begitu familiar denganku.

Aku tidak tahu kapan dan dimana, tapi aku yakin... aku pernah melihat wajah ini sebelumnya.

Kusentuh dengan amat perlahan rahang yang tampak bersih itu. Tidak heran, Thorn pasti membayar sangat mahal para perawat yang menjaga Aidan.

Lihat saja. Seakan tidak ada beda dengan Thorn, Aidan pun terlihat sangat sempurna. Kulitnya bersih tanpa cela. Bahkan, tidak ada sedikitpun kotoran yang terselip diantara kuku jemarinya.

"Aidan, jika saja kau tidak seperti ini. Thorn pasti akan kalah saing denganmu." Aku ingin terbahak rasanya. Rupanya aku sudah gila karena berbicara dengan orang yang entah hidup atau tidak.

"Kau tahu," dan mulutku semakin tak terkendali. "Di hari pertemuanku dengan Thorn, kupikir ia pria yang sangat keren. Ia dengan ekspresinya yang dingin, berjalan tanpa ragu menaiki panggung kayu itu. Kemudian-"

Air mataku mengalir begitu saja. "Kupikir ia malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolongku. Tapi dugaanku rupanya salah, dia...." kuraih selimut yang membungkus tubuh Aidan untuk menyeka butiran bening itu.

"Dia sangat jahat Aidan. Kakakmu itu, benar-benar jahat, Thorn ibarat iblis berparas malaikat. Mengecohku dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah! Melakukan apapun seenaknya terhadapku!" Suaraku kini terdengar serak. Seolah, tak mampu lagi untuk berucap.

Aku menangis sejadi-jadinya. Meluapkan segala emosiku kepada Aidan.

Meski Aidan tidak meresponku sama sekali. Aku yakin, ia 'mungkin' bisa mendengarku.

Kalau saja. Thorn tidak datang padaku saat itu...

"AKH!" Seseorang menarik rambutku tiba-tiba. Membuat kepalaku terangkat dalam kondisi yang aneh. "Kau?!"

"Ya. Aku." wanita itu mengangkat dagunya.

"Apa yang kau lakukan. Lepaskan aku Bella!" Teriakku.

Bella menatap tajam padaku. Menyeringai bak binatang buas yang berhasil mendapat buruannya.

"Kau tahu," ujar Bella. "Sejak kau datang, Thorn berubah. Kau mengacaukan segalanya ja*ang!"

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Bella." Jawabku.

Bella mendengus. "Thorn adalah milikku sejak dulu!"

Api kemarahan seketika menyulutku. Membuatku spontan bangkit dan menampar wanita itu kuat-kuat.

Ya. Aku mungkin tidak bisa melawan Thorn. Tapi tidak dengan wanita bertubuh kurus ini. Aku bahkan berani bersumpah kalau aku bisa membuatnya tumbang hanya dengan satu kali pukulan.

Mengabaikan rambutku yang tercabut karena dicengkeram wanita itu. Aku dengan cepat membalik keadaan.

Telapak kakiku sudah berada di punggung Bella kini. "Nah, apa kau pikir aku selemah itu eh?"

"Sial! Lepas atau kuadukan pada Thorn." Teriak Bella.

Kuputuskan untuk melepaskannya. Jelas, aku tidak ingin berurusan dengan Thorn. Sudah cukup siksaan yang kuterima dari pria itu. "Kumaafkan kau kali ini, tapi jika kau berani menyentuhku lagi, kupastikan wajahmu tidak akan semulus itu!" ucapku dan pergi meninggalkan Bella begitu saja.

Setengah berlari menyusuri lorong panjang yang seakan tidak berujung, sambil berharap Arnera akan segera datang dan membawaku pergi dari tempat terkutuk ini.

Atau setidaknya... membuatku lenyap saja.

Aku sudah lelah dengan semua kesialan yang selalu menimpaku bertubi-tubi.

Dimulai dari paman dan bibiku, kemudian tua bangka yang memperbudakku dan kini- Thorn?

Langkahku terhenti. Ketika pandanganku jatuh pada sosoknya. Si pria dingin yang gemar menyiksaku.

Sedang apa dia?

Bak seorang pencuri, aku diam-diam mengintip dari celah pintu yang ada dihadapanku.

Menyaksikan Thorn yang tengah berjongkok di depan perapian. Rambut gelapnya terlihat memantulkan cahaya dari perapian, begitu indah bak mutiara hitam yang berkilau.

Menyaksikan punggung Thorn yang seolah tanpa penjagaan ini, rasanya benar-benar aneh.

Wajar, mengingat Thorn selalu memasang garis pembatas di antara kami, yang seakan dikelilingi oleh tumpukan paku.

Cukup lama sampai aku tersadar kalau Thorn kini tidak lagi dalam posisi seperti sebelumnya.

Ia sudah berdiri tegap... dan tengah menatapku tajam.

Aku sontak melangkah mundur. Perlahan, hingga detik berikutnya kuputuskan untuk berlari. Terus berlari karena Thorn mengejarku.

"LAYLA."

Teriakan Thorn memenuhi lorong. Aku benar-benar ketakutan. Entah apalagi yang akan ia perbuat selanjutnya.

Aku harus meloloskan diri.

Sedikit lagi.

Hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum aku berhasil menggapai pintu masuk.

"TUTUP PINTUNYA!!" Teriakan Thorn bergema.

"Tidak," aku mulai histeris. "JANGAN!!" Air mataku mulai merebak ketika dalam hitungan detik pintu itu bergerak menutup.

Lututku mendadak lemas. Tak berdaya lagi bahkan hanya untuk berjalan.

Aku tersungkur di atas marmer yang terasa sedingin es. Terpaku menatap pintu besar itu.

Tuhan... tolong aku....

"Mommy"

Tangisanku terhenti. Saat kudengar suara serak nan nyaring itu.

Kuberanikan diri untuk mengangkat wajahku. Menoleh ke arah tangga tepat dimana Thorn berada.

Dan, sesuai dugaanku. Suara serak nan nyaring tadi bukanlah suara pria itu.

"Ben-" gumamku tanpa kusadari.

Wajah mungil itu tersenyum lebar. Memamerkan gigi putih yang tersusun sangat rapi. Teramat rapi untuk anak seusianya.

"MOMMY," anak itu berlari menuruni tangga. Berusaha menggapaiku.

Anehnya, tubuhku pun bereaksi sama. Kedua tanganku terangkat begitu saja dan meraihnya. Mendekapnya ke dalam pelukanku. Senyaman mungkin.

Aku tidak tahu siapa anak ini. Aku tidak pernah mengenal anak ini. Tapi... satu hal yang pasti.

Anak ini memiliki warna mata yang sama denganku.

***

Tbc.

Thorn Mc AdamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang