Segelas Kunyit Hangat

110 11 7
                                    


Pagi ini cuaca mendung,—seperti hari-hari sebelumnya— musim penghujan masih belum berakhir. Gemeletuk air mulai terdengar samar-samar mengenai atap, semakin terdengar jelas. Pun angin meniup gorden hingga berkibar. Hujan deras pagi ini kembali menyelimuti kota.

Rumput-rumput basah, langit masih terlihat gelap, pukul setengah empat pagi, sejauh ini anak-anak pastilah masih tidur.

Berdiri di belakang kaca jendela, menatap butiran air membasahi rumput, jalanan dan apapun diluar sana memang selalu menyenangkan, damai, tentram—apalagi sepagi ini.

Lamat-lamat terdengar suara dari luar sana, bukan, itu bukan gemeletuk air, melainkan suara laki-laki remaja, suaranya berusaha melawan derasnya air hujan. Aku bisa mendengarnya.

"Abrisam, apa kau di dalam?". Benar saja dia memanggilku. Pintu ku diketuknya berkali-kali. Badanku bergerak cepat, balik kanan, segera membuka kunci pintu. "Akhirnya Sam, akhirnya kau membuka pintunya". Lelaki remaja itu masih tertatih, napasnya tersengal, aku bisa melihatnya. Wajahnya kusut—pastilah baru bangun tidur—dan terlihat cemas.

"Kau kenapa Basir? Seperti habis bertemu hantu saja". Tanyaku sambil menggoda wajah cemasnya itu. Belum sempat aku menggodanya lagi, dia sudah menarik lenganku, membawaku berlari cepat menaiki anak tangga, menuju lantai dua.

Kami berhenti di depan salah satu kamar di lantai dua. Napas kami masih tersengal, lari kami cepat sekali. "To-tolong," Basir berusaha bicara kepadaku, napasnya masih terengah-engah tidak teratur. Aku berusaha mengatur napasku sambil mendengarkan apa yang hendak Basir katakan selanjutnya.

"Di dalam, Azzam demam tinggi, aku baru mengetahuinya sepuluh menit lalu. Saat aku hendak ke kamar mandi untuk buang air kecil, aku melihat Azzam di ranjang seberang, badannya meringkuk kedinginan, mukanya pucat, suhu tubuhnya panas sekali!". Aku tersentak mendengar penjelasan Basir. "Apa yang akan kita lakukan Sam? Aku takut, jika terlambat, Azzam tidak bisa di selamatkan, panasnya tinggi sekali".

"Kita harus bilang ke Penjaga Panti".

"Tidak Sam! Tidak akan bisa, dia tidak peduli, Sam".

Aku menghembuskan napas, Basir benar, pria separuh baya itu tidak pernah peduli pada kami, bahkan kami tidak di sekolah kan, hanya di tampung di rumah besar ini, dan di suruh nya bekerja. Hanya uang dan uang,  bisnis dan bisnis yang ada di pikirannya sejak dua tahun lalu,  semenjak kepergian istrinya.

Tapi aku tidak punya usul lain, kita harus mencobanya. Tidak ada salahnya mencoba. Basir akhirnya mengangguk setelah aku bujuk hampir lima kali. Kami bergegas ke kamar paling ujung di lantai dua—kamar yang paling besar dan nyaman—kamar Si Penjaga Panti.

Aku dan Basir sudah lebih dari tiga menit berdiri di daun pintu, mengetuk pintu kayu itu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Basir menggerutu sebal, sejak tadi dia tidak sabaran ingin kembali ke kamar nya, tidak ada guna-nya berdiri di sini. Tapi aku terus membujuknya, berharap pria separuh baya itu akan keluar dan menolong kami. Membawa Azzam ke dokter.

Basir benar, dan aku salah besar. Sepuluh menit lalu, Penjaga Panti itu memang membukakan pintu kayu yang sedari tadi kami ketuk, melihat kami dengan mata menyipit dan wajah kusutnya, layaknya orang bangun tidur—lebih tepatnya terbangun karena kami— , belum sempat aku menjelaskan, Penjaga Panti langsung mengusir kami, berkata bahwa kami telah menggangu tidurnya. Namun, aku tetap memaksa menjelaskan. Penjaga Panti tidak peduli, ia menutup pintu kayu nya dan kembali tidur, mengancam jika kami tidak kembali ke kamar, kami akan di hukum.

Aku dan Basir sudah kembali ke kamar Basir lima belas menit lalu, memutuskan mencari cara agar demam Azzam turun. Tapi kami bukan perawat, apalagi dokter. Akhirnya aku bergegas turun ke dapur, mencari obat demam se-adanya, sedangkan Basir mengompres dahi Azzam dengan kain basah di kamar mereka.

"Dia masih menggigil, tubuhnya panas sekali, Sam". Suara Basir tercekat memberitahu saat melihatku masuk ke kamar dengan membawa obat dan air minum. "Aku sudah membasahi kain ini hampir sepuluh kali sejak lima menit terakhir, saat kau turun ke dapur". Basir memberitahu lagi. Napasku menderu, aku juga takut, takut akan kemungkinan yang akan terjadi, tapi apa yang bisa ku lakukan?

Aku duduk di ranjang Azzam, tanganku memegang obat demam dan air, Basir membantu Azzam duduk. Mata Azzam masih tertutup, badannya menggigil meski sudah diselimuti kain sarung—kami memang tidak punya selimut tebal—namun, Azzam tidak tidur, ia bisa meminum obat yang aku berikan, menelannya dengan air, dan sedetik kemudian kembali terbaring menggigil dia atas ranjang.

"Apa kau sudah mengukur suhu tubuhnya, Basir?"

Basir menggeleng, "aku tidak menemukan termometer itu di kotak medis, Sam. Aku tidak tahu siapa yang memakainya terakhir kali". Aku menghembuskan napas, "baiklah akan ku cari, siapa tau si Penjaga Panti memindahkan- nya ke laci atau kotak lainnya di ruang tengah". Segera aku berjalan cepat menuju lantai satu, mencari termometer.

Saat menuju ruang tengah, melewati dapur, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menepuk dahi, kenapa aku tidak sekalian membuatkan kunyit hangat untuk Azzam? Itu obat tradisional yang manjur.

Langkah kaki ku bergerak menuju dapur, menuangkan air di panci dan merebusnya hingga mendidih. Badanku bergerak cepat, mencari kunyit dan kemudian memarutnya. Tanganku bergerak cekatan, menuangkan air hangat ke gelas dengan parutan kunyit tadi, dan menambahkan sedikit jeruk nipis.

Setelah mengantarkan kunyit hangat ini ke kamar Basir, barulah aku akan mencari termometer itu.

Basir menoleh ke daun pintu,  ke arahku yang berjalan membawa segelas kunyit hangat. Kepalanya menggeleng putus asa saat ku tanya bagaimana suhu tubuh Azzam. "Masih tetap sama, Sam,  panasnya tinggi sekali,  sampai-sampai tangan ku serasa ingin copot karena memeras kain ini terus menerus,  tapi,  lihatlah suhu tubuhnya tidak turun juga".

Aku mengangguk,  menyerahkan kunyit hangat ini ke Azzam yang sudah terduduk di ranjangnya dengan mata yang masih menutup dan tubuh menggigil.

"Aku harap ini bisa membantu". Ucapku dengan suara yang bergetar dan dibalas dengan anggukan Basir.

Pukul enam pagi,  hujan deras masih menyelimuti kota, sejak dua jam lalu. Angin pagi terasa sejuk menusuk kulit melewati jendela kamar.

Azzam sudah tertidur lelap di kamarnya—ditemani Basir—setelah meminum kunyit hangat buatanku.

"Jika ada yang perlu ku bantu panggil saja aku dikamarku". Aku berkata sambil melangkahkan kaki menuju pintu. Basir mengangguk dengan muka lelahnya,  "terimakasih Sam,  semoga kunyit hangat mu membantu". Aku mengangguk dan melangkah keluar sambil menutup pintu kamar,  dan kemudian menuruni anak tangga.

Menatap hujan yang mulai mereda menjadi butiran yang lebih kecil juga sangat menyenangkan,  melihat jalanan kota yang basah,  rumput-rumput berembun,  dan langit yang gelap. Sepi. Jalanan masih lengang.

♤♤♤

Explanation of My LifeWhere stories live. Discover now