Panti Kami

83 9 0
                                    

Anak-anak panti sudah bangun sejak setengah jam lalu,  bergegas mandi bergantian dan melaksanakan jadwal piket seperti biasa. Menyiapkan sarapan, mengepel,  menyapu,  dan menyiram halaman,  namun,  karena hujan deras tak kunjung henti,  mereka tidak harus repot-repot menyiram halaman pagi ini.

Anak-anak panti kami hanya ada lima belas sampai dua puluh orang,  tidak banyak,  itu pun hanya anak laki-laki. Tidak ada anak perempuan di panti ini.  Terakhir ada anak perempuan di panti ini saat tiga tahun silam,  kemudian ia pergi karena di adopsi. Sisanya sudah tumbuh besar dan hidup mandiri beberapa tahun silam,  saat istri Penjaga Panti masih ada.

Sehabis sarapan,  semua anak-anak bergegas sesuai jadwal mereka,  begitu pula si Penjaga Panti.

Pukul delapan pagi,  langit gelap dan awan hitam telah berganti dengan cahaya matahari pagi yang hangat menerpa wajah.

Penjaga Panti itu pergi mengurus bisnisnya setelah sarapan. Dua belas anak-anak yang piket hari ini mulai bergegas. Tujuh anak meraih dagangan asongan mereka,  mulai berjualan. Tiga orang anak membawa kunci dan kotak kayu kecil, sebagai penjaga toilet umum di stasiun atau terminal,  dan dua orang anak membawa gitar tua—hadiah istri Penjaga Panti— mulai mengamen mengelilingi setiap sudut kota.

Sisa anak lainnya yang tidak ada jadwal hari ini,  mulai bersantai,  sambil sesekali kami belajar bersama di ruang tamu,  diikuti canda tawa. Meskipun kami tidak sekolah, tapi kami tetap berusaha belajar dengan fasilitas seadanya, hanya papan tulis kecil dan beberapa buku bekas hadiah istri Penjaga Panti—lagi-lagi istri Penjaga Panti.

Aku dan Basir tidak ada jadwal hari ini,  selain bersantai atau belajar.  Namun,  Azzam piket hari ini,  tapi syukurlah Penjaga Panti mengizinkan Azzam beristirahat di rumah sampai ia sembuh,  tapi tetap saja si Penjaga Panti itu tidak rela mengeluarkan sekeping uang nya untuk membawa Azzam berobat.

Tubuh Azzam terlihat lebih segar saat bangun tidur,  panas badannya sudah turun,  tapi tubuhnya masih menggigil.

Kali ini aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana,  sejak tadi Basir juga sudah mengusap tubuh Azzam dengan minyak,  namun Azzam terus menggigil.

Berkali-kali kami menawarkannya untuk makan,  ia menggeleng kua-kuat,  "aku mual , dingin...dingin sekali disini". Suara Azzam bergetar menolak tawaran kami,  matanya sudah terbuka,  namun,  mukanya terlihat amat pucat.

Aku dan Basir tercekat mendengar suara Azzam,  kami hanya terdiam membisu,  menatap Azzam lamat-lamat yang kembali tertidur, tanpa sarapan, perut kosong.

"Malangnya nasib anak umur sepuluh tahun itu". Suara Basir tercekat,  matanya berkaca-kaca.

Aku hanya menatap ubin,  tatapan kosong,  bingung,  kesal,  semua bercampur.

"Kita tidak bisa diam seperti ini terus Sam! Kita harus bergegas,  boleh jadi terlambat membawa Azzam ke dokter,  kemungkinan buruk akan terjadi."

Aku hanya mengangguk menatap ubin. "Bagaimana kita membayar rumah sakit itu Basir?! "

"Aku!  Aku punya tabungan,  mungkin itu cukup. "

"Bukankah,  itu untuk kau SMA,  meneruskan sekolah? "

Basir terdiam. Satu,  dua,  tiga,  empat.  "Tidak apa lah,  Azzam lebih penting. " Basir menatapku meyakinkan.

"Baiklah,  aku juga punya tabungan,  akan ku sisihkan untuk biaya Azzam."

Kami berdua telah sepakat,  nanti malam pukul tujuh,  kami akan bergegas membawa Azzam ke Rumah Sakit kota.

♤♤♤

Pukul dua siang.

"Apakah Azzam sudah makan siang? "

Explanation of My LifeWhere stories live. Discover now