Ayahku (Bukan) Tikus

298 0 3
                                    

Aku masih berada di ambang kebingungan, kenapa aku bisa ada, siapakah ayahku, yang kutahu hanya ibu dan sekumpulan tikus yang ramai dalam rumahku. Sejak aku kecil aku tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang lelaki, ibuku seoranglah yang mengasuhku dan memanjakanku. Aku pun tak pernah menangis sama sekali kecuali pada saat aku baru lahir, karena tak ada seorang lelaki yang mendampingi ibuku.
Setiap aku bertanya kepada ibuku siapakah ayahku, ia selalu dan hanya menjawab dengan senyuman, dan sesekali menambahkan bahwa ibuku dulu waktu masih muda sering gonta-ganti pasangan dan berkencan, tetapi tidak tahu secara pasti siapa lelaki yang bertanggung jawab atas adanya diriku.
Aku pun tak pernah merasa bahwa ibuku itu wanita jalang ataupun makhluk kotor karena ibuku selalu mengasihiku dengan kelembutan cinta, dan tikus-tikus yang sembunyi di balik lemari bajuku itulah yang pantas disebut mahluk kotor.
Banyak orang yang begitu jijik pada tikus tikus itu. Namun, berbeda denganku, aku malah lebih bisa merasa tentran bisa hidup bersama tikus tikus yang terus mencericit tiap waktu. Serta tikus itu lebih menghargaiku ketimbang seorang lelaki yang tidak menemani ibuku saat aku muncul di dunia.
Aku merasa seorang lelaki yang kusebut ayah telah mati dan tak akan pernah kembali, berbeda dengan tikus di rumahku, meskipun hampir setiap hari terus ada yang mati dan kubuang di selokan belakang rumahku, tikus tikus terus berdatangan dan tak pernah ada habisnya.
Setelah matahari bersembunyi dan muncul kembali, ibuku selalu menyempatkan membaca buku-buku kesukaanku, yaitu tentang kisah hidup seekor tikus, tak lupa dengan ditemani cericitan tikus-tikus yang mengelilingi ranjangku, hingga aku terbenam dalam ingatan yang selalu aku impi-impikan.
Mas Andre, seorang penyair yang sering menorehkan kata-katanya di berbagai macam media cetak, sering datang kerumahku hanya sekedar menemui ibuku atau membelikanku boneka barbie yang sering diiklankan di televisi, ketika karyanya habis dimuat oleh media yang ia kirim, dan mas Andre pernah iseng-iseng bertanya pada ibuku.
"Apakah Rin itu lahir dari buah cinta sejati atau cinta birahi? Hasil dari hubungan terang atau hubungan gelap?" Tanya mas Andre kepada ibuku.
"Kau adalah penyair, pasti kau juga tahu asal usul benih yang bisa menyebabkan kata-kata tersebut bisa kau lontarkan barusan?" Jawab ibuku, sembari diikuti oleh senyuman yang selalu menghiasi bibirnya.
Saat aku mendengar jawaban ibuku itu, aku merasa bahwa ibuku yang sehahusnya lebih pantas disebut seorang penyair, tinimbang mas Andre, karena ibuku mampu merangkai sebuah kata yang bisa membuat mas Andre tak mampu menjawab lagi dari ungkapan ibu yang barusan dilontarkan.
Ibuku pun tak pernah marah sama sekali, terkait pertanyaan mas Andre tentang siapa ayahku, dan kenapa aku bisa dilahirkan ke dunia, dan menjadi satu-satunya manusia yang menemani ibuku di rumah, selain bersama sekumpulan tikus tikus.
Berkatnya, aku mulai terjun dalam dunia sastra dan membuat sajak-sajak yang kucoba kukirimkan di media, dengan bimbingan mas Andre. Awalnya aku ragu untuk mengirim sajak-sajak yang aku tulis sebelum mendengarkan cerita tikus, hasil dari kisah hidupku bersama ibu dan tikus.
Sajak sajakku mulai bermunculan di media, banyak wartawan dan penerbit yang memburuku, karena aku mampu menuliskan realita kehidupan dalam bentuk sajak yang tersembunyi.
Banyak lelaki misterius yang silih berganti berdatangan dan selalu mengaku-ngaku sebagai ayahku, masing masing di antara mereka selalu hampir mengatakan hal yang sama tentang perasaan cinta dan kasih sayangnya pada sosok wanita yang biasa aku sapa dengan ibu.
Aku tak pernah peduli akan hal itu, meskipun mereka bilang bahwa mereka bangga terhadapku, aku tak pernah merasa membutuhkan seorang ayah, aku pun juga tak pernah membutuhkan seorang pahlawan kesiangan yang hanya terima jadi dan hanya mengakuiku seorang anak.

Mereka selalu membangga-banggakanku, karena aku mampu mengalihkan para sastrawan terhadapku. Dan jika mereka ingin mengakuiku menjadi anaknya, seharusnya dia mau mengakuiku saat aku masih berbentuk janin dalam kandungan ibuku, dan menjadi saksi bisu saat kelahiranku, seperti halnya tikus-tikus yang sembunyi di balik lemari bajuku.
Suatu ketika ibuku yang paling aku banggakan di dunia, karena mampu mengasuhku hingga dewasa tanpa adanya dampingan seorang lelaki, kesehatanya mulai melemah. Pada saat ibuku sedang sakit, ia pun selalu memintaku membacakan sajak sajakku yang biasa aku kirim ke media. Mata ibuku terkadang sedikit berkaca-kaca, yang tak pernah membiarkan aku melihat airmatanya membasahi kedua pipinya.
Aku tak begitu tahu, alasan kenapa ibuku selalu memintaku membacakan sajak yang sama berulang ulang, namun ibuku selalu tesenyum dan masih berkaca-kaca, serta saat sang malaikat maut sudah berdiri di depan pintu kamarku, aku sempat terbesit pertanyaan yang selalu ingin aku tanyakan sedari dulu.
"Saya ini sebenarnya anak siapa?"
Pertanyaan itu terlontarkan dengan sendirinya, sebelum aku bisa berfikir bisa bahwa kata-kata tersebut mampu mebuat hatinya ibuku hancur berkeping keping.
Ibu tak menangis, ibu malah tersenyum, sembari mengelus elus rambutku dan menjawab dengan lirih,
"Rin, anak dari seorang perempuan"

*Cerpen ini merupakan saduran
*Cerpen ini terinspirasi dari puisi Joko Pinurbo dengan judul "Anak Seorang Perempuan dan tikus" kemudian saya kombinasikan jadi sebuah cerpen.

Ayahku (Bukan) TikusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang