Sejujurnya aku malas keluar rumah hari ini. Aku ingin bersantai seharian berbaring di atas kasur sambil mendengarkan musik lewat headphone yang baru saja kubeli. Atau juga menonton film yang baru kuunduh, atau bermain game. Jika bukan ibu yang memintaku berbelanja di supermarket, aku tak akan meninggalkan kamar.
Di bawah terik matahari puncak musim kemarau aku berada. Bermandikan keringat menunggu lampu lalu lintas menyala hijau di atas motor. Suasana panas ini terasa seperti menyelimuti tubuhku. Terlebih-lebih kepalaku. Helm ini bagai oven yang sedang merebus otak. Aku sudah mendidih hingga pemandangan yang kulihat seperti bergoyang-goyang. Saat kulihat indikator hitung mundur lampu merah, ia menunjukkan angka sepuluh. Sepuluh detik yang terasa bagai sepuluh jam.
Penghitung mundur akhirnya menyentuh angka “00” dan lampu merah padam berganti hijau seketika. Aku segera menancap gas melajukan skuter matik pada kesempatan yang kutunggu-tunggu ini. Motorku melesat lebih dulu dari kendaraan-kendaraan yang sebelumnya satu antrian denganku. Tujuanku adalah supermarket yang terletak tiga ratus meter di depan dan aku ingin segera tiba karena sudah tidak tahan dengan panas ini.
Segera setelah parkir, aku bergegas masuk ke dalam gedung supermarket. Seketika hawa panas pun menghilang digantikan sejuknya pendingin udara. Rasanya bagaikan berada di belahan bumi yang berbeda. Aku menghirup napas panjang dan tersegarkan kembali. Betapa nikmatnya hidup.
Bukannya aku tidak ingin menikmati kesejukan ini lebih lama, tapi berdiri tidak jelas di depan pintu sepertinya mengganggu orang lain. Setidaknya membuatku risih karena dilihat mereka. Jadi aku mulai mengambil keranjang dan memasuki area belanja.
Aku membuka lipatan kertas berisi catatan belanja dari ibu. Tampak ada beberapa daftar sayuran, buah-buahan, bumbu dapur dan produk-produk lainnya yang dibutuhkan. Aku ingat ia menyarankan untuk memilih ikan dan meminta pelayan untuk menggorengnya. Sebab proses itu membutuhkan waktu paling cepat setengah jam, belum termasuk mengantri. Aku putuskan mengunjungi bagian makanan laut segar. Kupesan seekor ikan bawal ukuran sedang. Setelah meminta pelayan menggorengnya, kutinggalkan bagian itu untuk berbelanja yang lain.
Tak lebih dari setengah jam berkeliling di supermarket untuk mendapatkan semua barang di daftar belanjaan. Ibu telah menulisnya dengan jelas dan lengkap. Untungnya lagi semuanya masih tersedia meski beberapa produk harus kucari dengan teliti di raknya. Saat aku kembali ke kounter makanan laut, ikan itu belum selesai digoreng. Pelayan itu membutuhkan sekitar sepuluh menit lagi.
Aku sedikit kecewa mendengarnya. Saat menyadari masih ada uang lebih mungkin sebaiknya aku membeli barang untuk diriku sendiri. Minuman ringan sepertinya menarik. Maka pergilah aku menuju bagian minuman ringan. Ada banyak merek dan jenis yang ada di rak, membuatku bingung ingin memilih yang mana.
Mengamati jenis minuman dengan cermat adalah kegiatan yang bagus untuk menunggu ikan selesai digoreng. Aku menemukan banyak produk-produk baru yang belum kulihat sebelumnya. Hampir semuanya menarik untuk dicoba. Sayang jatahnya hanya bisa membeli satu atau dua.
Terdengar suara anak kecil menangis dari suatu tempat. Mungkin itu anak hilang atau keinginannya ditolak orang tuanya. Bukan hal yang asing di dalam supermarket. Aku tak begitu mempedulikannya sejak tidak tahu pasti di mana ia berada. Hanya berharap orang tuanya atau seseorang menenangkannya.
Ini semakin meresahkan. Anak itu sudah lima menit dan masih menangis, bahkan semakin keras dan intens. Aku sangat terganggu, mengapa tidak ada orang yang mengurusnya? Apa tidak ada yang mendengarnya? Tak tahan sekaligus penasaran aku terpaksa bergegas ke sumber suara. Ternyata tak terlalu jauh. Aku menemukannya berdiri di ujung lorong minuman ringan. Dia seorang anak lelaki yang usianya mungkin sekitar lima tahun. Mengenakan kaos lengan panjang merah dan celana jeans pendek. Ia berdiri sendirian memunggungiku dengan kedua tangan di wajah. Tak salah lagi, ini adalah anak yang menangis itu dan masih terus menangis.
Sejenak aku mengamati sekeliling. Tak menemukan tanda-tanda orang tuanya. Tak satupun dari pengunjung bahkan karyawan supermarket yang peduli. Ada apa dengan mereka semua? Apa mereka tuli? Apa aku satu-satunya yang normal di sini. Aku sadar telah membuang waktuku untuk hal ini.
Aku tidak terlalu nyaman dengan anak kecil namun karena hanya ada diriku di sini, sebaiknya aku mengambil tindakan. Aku mendekatinya, merendahkan tubuhku dan menepuk bahunya lembut. Mencoba untuk tidak memperparah situasi. Saat ia menyadariku, tangis anak itu pun berhenti seketika, meninggalkan keheningan mendadak yang entah kenapa membuatku tak nyaman.
“Dek, adek nggak apa-apa? Orang tuamu mana?”
Anak itu tidak segera menjawab. Ia berbalik menengok ke arahku dengan gerakan yang sangat pelan yang seingatku tak lazim untuk anak-anak seusianya. Saat wajahnya berangsur-angsur terlihat, aku nyaris tak menyadari ada yang tidak normal. Matanya hitam semua, tak putih sedikit pun.
Aku tersentak mundur. Udara seakan-akan menjadi berat dan tubuhku merinding. Ia melihatku aneh dan membuka mulutnya. Aku melihat rongga mulut itu gelap bagai lubang hitam dan mulai mengeluarkan suara yang mengerikan. Ini benar-benar tak beres. Aku harus pergi dari sini sebelum hal buruk terjadi padaku.
Sayangnya aku tak bisa keluar. Tanpa kusadari seluruh pengunjung dan karyawan mengepungku. Mereka bermata yang sama dengan anak itu dan masing-masing membuka mulutnya.
---END---