Liam menguap lebar, merentangkan tangannya. Dia terbangun dengan kepala pening, langit-langit kamar seperti bergerak naik turun, mungkin efek seharian beraktivitas. Matanya lengket, badannya bau keringat, dan masih memakai celana basketnya.
Syuting Romeo and Juliet kemarin berjalan lancar. Liam tidak tahu nasibnya akan semujur ini, bayangkan, menggenggam tangan seseorang yang kalian cintai saja sudah sangat menyenangkan, bukan? Liam senyam-senyum sendiri mengingat scene itu, scene dimana dia pertama kali menggenggam tangan kecil Zayn, memeluknya, walaupun cuma sebatas main film.
"Liam," kepala Ara menyembul dari balik daun pintu. "Sarapan udah siap. Cepetan ke bawah. Habis itu anterin Niall sekolah."
Yang disuruh hanya bergumam 'oke' dan berjalan lambat ke kamar mandi, mencuci muka, berlari kecil menuju meja makan, masih dengan muka kusut khas orang baru bangun tidur. Liam duduk di sebelah Niall yang asyik melahap sarapan. "Hei, Ni."
"Oh, hai, Kak," balasnya, mengambil satu lembar roti tawar. "Niall dapet nilai A+ ujian Matematika kemarin. Makasih, ya, Kak."
Liam menepuk dada bangga. Setelah menyelesaikan sarapan, Niall berdiri dan menyambar tas ransel biru mudanya, memakai kaus kaki, memakai dasi yang agak miring sebelah, dan menghembuskan napas semangat.
"KAK LIAAAAAM! AYO BERANGKAAAAT! NANTI NIALL TELAAAAAAAAT!" teriak Niall. Liam yang tengah memakai jaket menutup telinga rapat-rapat. Dosa apa dia punya adik kurang waras macam Niall? Liam menggeleng, mencoba untuk membuang pemikiran bodohnya.
"Jam setengah dua, dadah, Kak," Niall turun dari mobil, mengingatkan waktu penjemputan dan melangkah masuk ke halaman sekolahnya. Liam tersenyum kecil melihat Niall langsung dikerumuni cewek-cewek yang kelihatannya sudah gila. Mereka minta foto. Bareng Niall.
Cinta itu buta. Tapi cinta tahu mana mobil mana sepeda. Seharusnya cinta juga tahu mana yang idola mana yang idiot. Menyedihkan.
Liam diam bersama mobil Audi-nya di depan sekolah Niall selama hampir setengah jam. Ngelamun hal-hal yang gak penting seperti kapan Niall pulang (padahal tadi dia sudah bilang), konspirasi anak muda, dan Zayn.
Oke, yang terakhir cukup penting.
Dua jam kemudian, di kampus, para mahasiswa sudah berkerumun, membawa buku, mengingat materi yang susah payah dijejalkan selama dua minggu, bertanya dosen mana yang menjaga ruangannya, mengeluh karena gagal menghafal, dan sebagainya. Mahasiswa di sini tak jauh beda dengan siswa masa SMA.
Nasib mujur, Liam dapat bangku yang terletak agak pojok. Troye, Edward, Sebastian, Connor, Daniel, dan Frans duduk di lantai, melingkar, membicarakan game Clash of Clans. Mereka duduk tak jauh dari bangku Liam. Ketika Liam duduk, topik sudah berubah.
"Li, elo paham kalkulus, kan? Gue gak paham, entar ajarin ya!" suara itu keluar dari lisan Edward.
"Aljabar Linear juga gue gak paham, entar nyontek ya. Kan lo yang paling pinter soal Aljabar," kata Sebastian, lebih ke arah membujuk.
"Iye iye. Sekalian aja lo fotokopi jawaban gue. Semua materi kok bisa gak paham," Liam mencibir sambil membaca ulang catatan yang diberikan Pak Johan.
Liam berhasil melewati masa-masa menegangkan ujian. Troye sejak tadi bisik-bisik guna memanggilnya, mengumpat kesal karena ada empat nomor yang tidak bisa dia kerjakan. Sebastian, yang duduk di sebelah kiri Liam, mengacak rambutnya frustasi. Edward tampak santai meskipun tahu bahwa dia akan gagal.
"Soalnya susah banget, anjing!" umpat Troye.
"Eh, ternyata bahasa Indonesia lo udah fasih juga, ya. Bagus, deh. Capek gue ngajarin lo mulu, ngomong persamaan aja permasaan. Bagus deh," kata Connor, menghela napas lega. Troye, si Bule Australia yang ngaku-ngaku fasih berbahasa Indonesia itu nyengir puas.
Tak mempedulikan teman-teman idiotnya, Liam bergegas keluar ruangan. Koridor mendadak ramai dengan para mahasiswa bergerombol di dekat loker, entah mengelilingi siapa.
"Hai, Su! Apa kabar?" Louis datang entah dari mana dan langsung merangkul bahu Liam.
"Baik, Nyet. Makan yuk, ke restoran favorit gue," tanpa menunggu jawaban, Liam menarik pergelanga tangan Louis dan menyeretnya keluar kampus. Mereka masuk ke dalam sebuah restoran--atau bisa juga disebut kafe--dan duduk di bangku nomor 12.
"Mau makan apaan?" tanya Liam sambil menatap buku menu.
"Gue... Jus wortel aja. Lo?"
"Sama deh kayak lo," lalu Liam mengangkat sebelah tangannya, memanggil pelayan. "Jus wortelnya dua, sama... Ah, oke, sama ayam penyetnya satu. Makasih."
Pelayan itu tersenyum sebelum akhirnya pergi. Liam mengedarkan pandang ke seisi restoran. Tak terlalu ramai, memang, hanya ada empat orang pengunjung; satu cowok kurus kerempeng, yang Liam kenali sebagai Xavier Nolans, satu cewek yang rambutnya diikat tinggi-tinggi, satu cewek yang kelihatannya lagi belajar, dan;
Satu cowok berambut hitam, dimodel melawan gaya gravitasi, berwajah manis, dan pakai kacamata. Bagian mengerikannya, dia menatap Liam balik.
"Lo kenapa, dah, Su?" tanya Louis tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.
"Itu... ada Zayn," Liam menjawab setengah berbisik. Louis membulatkan mata dan menggebrak meja agak keras. Untung saja orang-orang di sekitar mereka tidak menoleh.
"Ya bagus dong, sana, ini kesempatan yang tidak bisa disia-siakan!"
"Tapi dia udah terlanjur lihat gue!"
"Masa lo gak berani? Lo cowok, laki-laki, atau banci?"
"Ish! Louis, gue serius!"
"Ya terus gue harus ngapain? Nikahin kalian berdua? Udah gila kali lo."
"Ya elo kali yang gila. Udah, ayok kita pergi. Gue belum mandi. Gue gak boleh kelihatan gembel di depan gebetan sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Angel Without Wings //ziam\\
FanfictionCase 1: Liam Payne, 19 tahun, skripsi gak kelar-kelar, playboy cap golok, begajulan, anak dugem, depresi kuliah, broken home, suka Matematika, PPKN, dan seabrek pelajaran anak SD lainnya, gak pernah serius sama suatu hubungan. Solusi:: Zayn Malik Ca...