[9] - Kedatangan Amar

256 11 2
                                    

Sesampainya Ruby di rumah Sean, ia langsung berbalik meninggalkan lelaki itu tanpa sepatah katapun. Tadinya Ruby ingin langsung pergi ke lantai atas menuju kamarnya, namun melihat kedua orangtua Sean tengah duduk santai di ruang tamu, mau tidak mau Ruby harus menyapanya.

"Ng, Malem Om, malem Tan." sapa Ruby ramah sedikit membungkukkan badannya sekilas tanda penghormatan, membuat kedua orang paruh baya itu menoleh cepat dan tersenyum hangat kepadanya. "Eh, malem juga, By. Kamu baru pulang?" tanya Via lembut yang langsung diangguki oleh Ruby.

"Iya Tan, tadi Ruby abis jalan sebentar sama temen kampus Ruby." Tak lama setelahnya, Sean muncul dari balik punggungnya dan sudah berdiri sejajar dengannya. Lelaki itu melirik ke arahnya sebentar, lalu menatap kedua orangtuanya datar.

"Darimana saja kamu, Sean?" tanya Alvin dengan nada mendesak sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap anak tunggalnya dengan tegas. Sean mengacak rambutnya pelan. "Abis main, Pa."

Sebelum Alvin kembali membuka mulutnya, Sean dengan cepat menyambarnya, "Sama Ruby juga kok." imbuhnya melirik Ruby datar. Namun siapa sangka, di balik tatapan datar Sean, menyimpan arti ancaman di dalamnya. Seketika Ruby balas menatap Sean sinis, lalu mendengus kasar. Tidak percaya jika Sean membuat alibi semacam itu.

Tapi apa yang dikatakan Sean, ada benarnya juga. Ya, walaupun pertemuan mereka itu tidak sengaja dan tidak direncanakan sebelumnya.

Alvin menghela nafasnya singkat, mengangguk pelan, seolah percaya dengan apa yang Sean katakan. "Ya sudah kalau begitu, baguslah. Papa pikir kamu balapan liar lagi."

'Glek!'

Sean menenguk ludahnya dalam-dalam dan bersungut dalam hati. Papanya selalu saja mengungkit hal yang satu itu. Padahal balapan 'kan bukan termasuk kriminal. Lain halnya jika ia balapan karena taruhan menggunakan uang. Tapi Sean tidak seperti itu. Yang ia lakukan hanyalah kebut-kebutan di jalanan sebagai bentuk penghiburannya selama lima tahun ini. Itu saja.

Ruby melirik Sean dengan pandangan yang tidak terbaca. Namun akhirnya ia memilih untuk bungkam dan tidak mencampuri urusan keluarga mereka.

"Papa!" Via mencubit pinggang Alvin gemas hingga Alvin hanya bisa meringis kesakitan. "Kebiasaan deh! Jangan kasar-kasar gitu ah."

Alvin cemberut mengusap pinggangnya yang terkena cubitan maut istrinya. "Abis anak kita yang satu itu bandel, sayang. Susah dibilangin." ujarnya dengan nada manja yang dibuat-buat sambil merangkul tubuh Via, namun Via malah menepisnya karena masih kesal.

"Tapi 'kan gak gitu caranya, Pa. Sean udah besar, udah dewasa. Dia pasti tau mana yang baik dan mana yang buruk."

"Iya, Istriku. Tapi sebentar lagi Sean itu punya tanggung jawab yang besar untuk menjaga Ruby."

"Iya Pa, Mama tau. Tapi- eh, Sean! Tuh 'kan malah naik ke atas. Papa sih!" dumel Via misuh-misuh melihat anak tunggalnya naik ke kamar tanpa mengucapkan sepatah dua kata terlebih dahulu. Alvin menyahut, "Tadi 'kan udah Papa bilang. Mama sih ngeyel." Via tambah cemberut.

Ruby hanya diam mengamati langkah Sean yang satu persatu menaiki anak tangga. Setelah jejak itu menghilang, Ruby tiba-tiba saja tersadar. Ia segera menatap kedua orangtua Sean sambil tersenyum canggung.

"Ng, Om, Tante... Ruby ke atas dulu ya? Permisi," Setelah mendapat anggukan persetujuan dari kedua orangtua Sean, Ruby langsung bergegas pergi ke lantai atas menuju kamarnya.

Sebelum Ruby sampai di kamarnya, ia menatap sejenak pintu depan kamar Sean yang tertutup rapat. Ia mengerjapkan matanya sesaat, lalu pergi ke kamarnya.

Ruby menghempaskan tubuhnya begitu saja sambil menatap langit-langit. Pikirannya menerawang kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian dimana Sean bersikap aneh dan tidak biasanya. Tapi, seperti ia peduli saja. Perlahan, mata Ruby pun mulai tertutup. Itu juga kalau tidak ada suara ketukan pintu yang menginterupsikannya untuk membuka matanya paksa.

JET BLACK HEARTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang