Job

63 11 0
                                    

"Apa pekerjaanmu?"

Aku hanya tersenyum dan menjawab jujur ketika mendapat pertanyaan semacam itu.

"Aku membantu pemerintah."

Ya, aku memang membantu pemerintah. Apakah aku sangat baik? Tentu saja. Aku bekerja tanpa digaji.

"Pemerintah? Wahh!! Kau pasti sangat kaya raya. Berapa gajimu?"

"Aku tidak digaji." Jawabku singkat.

Lagi-lagi, reaksi mereka selalu sama. Wajah yang tiba tiba datar.
Mereka mengira, aku kaya raya karena aku membantu pemerintah.

"Kau sungguh dermawan. Kenapa tidak meminta gaji dengan pemerintah? Apakah pemerintah semiskin itu? Kau bisa mendapatkan banyak uang, kau tahu."

Mereka, para wanita, kesal kepadaku. Karena aku, tidak meminta gaji kepada pemerintah. Tidak ada gaji, tidak bisa membeli barang mahal.
Ya, wanita.

"Memangnya kau pikir aku membantu pemerintah seperti apa?"

Inilah, pertanyaan yang ingin aku keluarkan sedari tadi. Apalagi dengan wanita yang, sangat bermata duitan.

Mereka akan terdiam sesaat.

Berada di tempat privat, membuatku lebih nyaman. Karena, aku akan melakukan sesuatu yang tidak nyaman dilihat orang lain. Aku tidak akan kepergok, kau tahu. Rasa seperti berselingkuh lalu kepergok, sangat tidak menyenangkan, mungkin.

"Membantu seperti, mengurus pemerintahan negara?"

Well, sebenarnya ini agak benar. Tapi tetap saja masih salah

"Bukan"

"Bagaimana dengan membantu melindungi presiden?"

Bisa jadi. Aku bisa bekerja seperti itu juga, asal kalian tahu.

"Tidak juga. Tetapi melindungi presiden dari stress, bisa termasuk pekerjaanku."

Ini, clue dari aku. Dan mereka biasanya sangat bodoh hingga tidak mengerti.

"Maksudmu? Apakah kau bekerja sebagai tukang pijit? Atau kau memberikan ramuan penghilang stress kepadanya?"

Aku suka saat mereka sangat penasaran dengan pekerjaanku. Rasanya, jika aku memberitahu mereka, mereka akan pingsan.

"Tidakk. Kau itu idiot ya haha" kataku

Mereka berdecak.

"Jadi apa pekerjaanmu? Aku lelah menebak nebak. Aku ingin kita segera berlanjut ke tahap berikutnya. Kau tahu."

Ah ya, tahap berikutnya. Aku tahu pemikiran mereka. Tapi, tahap berikut versi diriku, hanya menyenangkan untukku.

"Ke tahap berikutnya, huh? Baik. Akan ku beritahu. Sedikit." Kataku.

Aku, berdehem. Sekali, dua kali.

"Aku, membantu pemerintah mengecilkan populasi manusia-manusia yang semakin padat. Apakah kau mengerti? Bisa kau simpulkan?"

Mereka tampak berpikir, lalu memucat. Dan kemudian, berusaha bersikap santai. Kurasa mereka sudah tahu

"T-tidak. Seperti apa?"

"Well, menyingkirkan manusia tak berguna?"

BOOM. Rona pucat diwajah mereka muncul lagi.

"T-tapi, kukira kau mengatakan bahwa kau menghilangkan stress presiden?"

Hehe. Sudah aku duga. Aku lalu tersenyum

"Ya, presiden, tak akan perlu bersusah payah memikirkan bagaimana cara membangun tempat tinggal untuk warga negara yang semakin padat. Aku, sangat baik kan?"

"Ek-hem. Ya, kau sangat dermawan, Miller. Dan jika kau berkenan, aku harus pergi. Aku ada urusan"

Kebanyakan dari mereka, memutuskan pergi. Tentu saja tidak akan kubiarkan. Mereka akan membocorkan rahasiaku. Kau tahu, mulut wanita tak bisa dipercaya

"Tidak bisa begitu, sayang. Kau, bilang kita akan lanjut ke tahap selanjutnya. Aku, akan melanjutkan tahap selanjutnya. Denganmu. Ini, akan sangat menyenangkan"

Aku menarik tangannya hingga dia terduduk. Aku, memasang borgol ke tangannya. Dan memborgolnya ke kursi yang sudah kuikat ke tiang.

"Jadi, kau ingin mulai dengan yang mana? Pisau, kapak, atau api?

●●●

Thankyou.

SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang