Sebelas - MINE

13.4K 1.1K 34
                                    

Sudah sore, Nabila siap berpulang. Dilihatnya para karyawan lain juga berberes untuk segera pulang. Nabila mengangguk hormat pada Ardito yang baru saja keluar dari ruangannya. Lelaki itu juga nampak mengulum senyum untuk membalas Nabila, lalu berlalu dari kantor.

Diikuti para karyawannya.

Nabila adalah yang paling terakhir keluar karena ia harus membereskan dokumen-dokumen kecil di meja. Hingga ia mengunci pintu utama kantor, berbalik, dan tertegun. Matanya menangkap sebuah mobil hitam metalik yang beberapa minggu ini ia nampak kenal punya siapa. Dan jelas pemiliknya ada disitu. Bram disana, mengobrol ringan dengan Dito yang ternyata belum pulang.

Hanya seperkian sekon, lalu kontak mata itu terjalin. Bram menatap Nabila dalam. Ia tersenyum kecil. Namun ada gurat lega di wajahnya yang tampan. Ia jauh lebih sehat dan bugar daripada yang diingat Nabila tadi pagi. Dan jikalau alasan kebinaran yang ada di diri Bram karena ulahnya, sungguh Nabila tersanjung.

"Itu dia" sebut Dito mengikuti tatapan Bram yang ada di pintu kantor. Nabila berusaha menghilangkan rasa malunya, mencengkram pegangan tas karena begitu gugup merasakan jantungnya yang sudah tak karuan. Ia jelas merasakan senyum seseorang menusuk hati nuraninya.

"Udah dijemput tuh, Nab. Yuk, deh. Gua pulang duluan" pamit Dito memukul ringan bahu Bram. Lelaki itu mengangguk.

"Ati-ati loe"

Nabila menatap kepergian Dito dengan hening. Dan saat mobil atasannya tersebut benar-benar hilang dari pandangan, ia tak sanggup memecah keheningan ini antara Bram. Pria yang sudah ia terima lamarannya. Duh, Nabila malu sendiri.

"Pulang sekarang?" tanya Bram dengan suara yang sangat indah di hati Nabila. Menyejukkan gadis itu damai. Nabila menoleh, lalu tersenyum kecil.

Keduanya terdiam lagi, yang ada hanya suara dengungan mobil dan lalu lintas jalanan Jakarta. Meskipun diam, tentu Nabila grogi dan takut sendiri. Mengapa Bram tak kunjung bicara? Bagaimana kalau lelaki itu tak menerima catatan kecilnya? Jangan-jangan terjatuh saat dia memakan bekal yang Nabila beri tadi pagi? Nabila menggigit bibir. Bahkan saking bingungnya, ia sampai mengeluarkan keringat aneh di pelipis. Apa harus dia yang mulai duluan bertanya? Kan lucu rasanya. Dia sudah menolak Bram dulu. Betapa konyolnya dia sekarang kan?

"Jadi..mas?"

"Eh?" sontak Nabila terkejut dengan pertanyaan Bram. Ia dapat melihat Bram tengah terkekeh santai, tak ada rahang yang mengeras dan mata kesedihan seperti tadi pagi. Benar-benar tawa kecil yang lepas.

"Aku suka kamu manggil aku Mas. Dek Nabila"

Langsung pipi manis itu berubah seperti tomat rebus. Nabila bertanya sendiri dalam hati, apa ia demam? Mana ada cewek yang digodai langsung demam? Nabila menunduk dan manyun.

"Jadi..sudah baca?" gumam Nabila tapi bisa terdengar jelas oleh Bram.

"Sudah. Makasih ya. Akhirnya aku nggak sia-sia nunggu"

Bram tersenyum tulus, dan senyuman itu menular cepat ke bibir Nabila. Keduanya bertatapan sejenak sebelum Bram yang mengalihkannya duluan karena ia harus menyetir. Nabila harus menahan jantungnya yang hampir lepas dari kerangka, ketika tangannya yang membeku karena gugup harus disemat erat oleh tangan besar nan hangat milik calon suaminya ini. Calon suami, sungguh terdengar indah. Nabila tak bisa berhenti tersenyum. Dia tak tahu telah melakukan apa di masa lampau, sampai-sampai balasan dari Tuhan ialah calon suami yang ia kagumi sejak pertama kali bertemu.

Nabila bersandar pada jok mobil. Rasa-rasanya, ia bisa tidur nyenyak malam ini.

"Kita makan malem dulu ya? Mau makan dimana?" tanya Bram lembut. Tapi Nabila tersentak.

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang