Ra

150 0 0
                                    

Yamaha buntutku berlari kencang. Sengaja. Aku tak sabar ingin segera tiba di tujuan, bertemu sosok yang berbelas bulan lamanya pergi dari hidupku.

Selama itu aku tak pernah tahu kabar beritanya. Tepatnya semenjak dia memesiunkan seragam biru-dongker, aku tak lagi dapat menjumpainya di panti. Ia pergi begitu saja, tanpa pamit, juga pesan untukku.

Entah dengan alasan apa dia dan beberapa putri panti memutuskan kembali ke rumah keluarga masing-masing, memilih meninggalkan tempat sejuta kenangan yang pernah menyulam selaksa ukhuwah diantara kami.

Panti kemudian menjelma hampa lepas kepergian mereka yang layaknya kuanggap sebagai saudari sendiri. Dan sosok itu, bagiku dia lebih dari sekadar saudari. Teman sekaligus sahabat kesayangan. Satu-satunya alasanku sering berkunjung ke panti pun karena dia.

Tak heran bila aku mulai jarang mendatangi bekas tempat tinggalnya itu, padahal dulu hampir tiap pekan kuhabiskan waktu bersama mereka, bersamanya di panti.

Tapi sekarang, aku merasa tak punya alasan.

Aku kehilangan.

Dan aku benar-benar telah kehilangan.

Kehilangan dia.

***
Sepanjang jalan otakku sibuk mengorek kenangan tentang dia. Dibandingkan dengan sekian banyak putri panti, ia terlihat paling menonjol. Bukan hanya karena parasnya yang cantik memukau, tapi karena dia memiliki kepribadian yang unik dan berkharisma. Selain smart, juga lembut namun tegas. Suaranya lantang dan berkarakter.

Namanya Nabyla Salwa. Biasa di panggil Salwa. Tapi dia lebih suka aku memanggilnya Nayla. Huruf 'b' dihilangkan, katanya biar gak membentuk komposisi huruf naby (baca :nabi) dan byla (baca : bila).

Pertama kali kenal dengannya waktu kami sama-sama mengikuti kegiatan pengkaderan di panti bersama puluhan peserta dari berbagai sekolah lainnya. Sebuah pengkaderan yang melatih mental dan fisik semua peserta selama hampir sepekan.

Bayangkan. Tiap malam kami harus berhadapan dengan palu sidang yang sengaja diketuk keras di atas meja sehingga memantulkan suara menggelepar dan menggemparkan seisi forum. Tak jarang pula palu tersebut sengaja dilayangkan ke udara, dilempar ke arah peserta.

Ditambah tatapan garang voice master serta teriakan nyaring para instruktur, sering marah-marah tak jelas membuat kami seringkali bergidik. Ngeri. Takut.

Dalam forum aku sendiri lebih suka bungkam, menunduk kepala dalam-dalam, tak pernah berani memandang sang voice dan instruktur lainnya apalagi menantang perkataan mereka yang selalu dianggap benar. Seolah-olah mereka tak pernah salah, dan kami peserta yang selalu salah dan dipersalahkan.

Tapi tidak dengan Nayla, dia berbeda. Duduknya tegap, wajahnya menantang. Tak pernah aku dapati dia menundukkan kepalanya seperti aku maupun peserta lainnya. Semakin ditatap semakin tajam pula ia membalas tatapan sang voice. Sama sekali tak tersirat raut takut di wajah gadis berparas manis itu. Dia selalu tampak jauh lebih tenang dari kami semua.

Jika disodori pertanyaan pun dia mampu menjawab dengan benar meski jawabannya sering diremehkan. Instruktur yang tak berperasaan itu selalu mencari-cari cela kesalahannya. Kalau sudah begitu Nayla tak segan-segan menantang mereka yang berjas dan berkuasa di forum demi mempertahankan jawabannya, sekalipun ia harus dibentak, digertak sampai dihukum membersihkan toilet.

Pernah suatu kali Sang Voice mengetuk keras palu sidang tepat di atas mejaku. Spontan bokongku terloncat dari bangku. Jantungku serasa copot saking kagetnya. Aku hampir saja menangis, mataku sudah berkaca-kaca tapi sebisa mungkin aku kendalikan perasaan. Tak ingin ada yang melihat air mataku jatuh. Sedang Nayla, berkali-kali digertak seperti itu tetap tak gentar. Begitu berani. Berbanding terbalik denganku yang terlalu penakut.

NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang