14 : Boo!

635 66 2
                                    

Bel sekolah telah berdering sejak beberapa jam lalu, Axel sendiri baru saja selesai sesi pemotretan bersama seorang model majalah (lagi).

"Udah kelar, lo?" tanya Satria pada Axel yang duduk kelelahan di sofa salah satu studio yang kosong.

Axel memejamkan matanya. Mengabaikan pertanyaan seniornya yang bawel bak kakaknya itu.

Hingga sesuatu yang dingin menyentuh pipinya, membuatkannya tersentak kaget. Kemudian, langsung disambut gelak tawa Satria lepas ke seluruh celah studio.

"Muka kaget lo lucu banget," katanya seraya menahan tawa.

Axel meraih minuman kaleng dari tangan Satria cepat.

"Makasih," ujarnya sebelum meminumnya.

Mengabaikan Satria yang masih bahagia berhasil menangkap wajah kaget seorang Axel.

"Gimana sekolah lancar?" tanya Satria hangat.

Axel mengangguk. Yah emang lancar, cuman ada masalah diluar logika manusia, batinnya.

"Terus ada apa? Hal serius?" tanya Satria lagi.

Kali ini kekhawatiran terpancar jelas dari nada dan mata Satria pada Axel.

Axel tersenyum. "Nggak kok," jawabnya.

"Oh. Bener? Kalau mau cerita, siap kok mendengarkan. Tenang aja," ujar Satria hangat.

Axel tersenyum yang membuat mata Satria penasaran, siap mendengarkan.

"Kepo." Namun, kata itulah yang keluar dari mulut Axel.

Membuat Satria menjitak kepala Axel gemas. Axel berpura-pura meringis kesakitan, setelahnya tertawa. Satria yang kesal segera bangkit meninggalkan Axel sendirian.

Axel menghentikan tawanya. Ia mengacak rambutnya kasar. Pikiran masih melayang pada apa yang ia lihat tadi, dan bagaimana gemerlap cahaya putih muncul dari telapak tangan Alsera membuat semua orang lupa akan keberadaannya sesaat. Yap. Terkecuali dirinya.

"Kak aku pulang ya!" seru Axel.

Kakinya segera ia langkahkan keluar dari studio dan menyusuri trotoar jalan tuk sampai ke kediaman kecilnya.

Axel mengangkat kepalanya sedikit, menyaksikan semburat warna orange mewarnai angkasa sekali lagi. Indah. Namun, ini berarti Axel harus mempercepat langkahnya sebelum kegelapan menelan mentari sepenuhnya.

Ceklek!

Axel meraba tembok di sisi kanannya. Menyalakan lampu teras dan ruang tamunya. Setelahnya dia meletakan tasnya dengan hati-hati di atas meja dan merebahkan diri kasar ke atas sofa.

Napasnya memburu. Ia kelelahan. Pusing. Stress. Tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa saat, ia hanya seperti itu. Setelah dirinya tenang, ia bangkit masuk ke dalam ruang ayahnya dulu.

Axel menoleh ke kanan dan ke kiri. Didapatinya buku di mana-mana. Ia mulai mengambil sebuah buku tulisan tangan ayahnya, hidup ayahnya, segala yang ingin dikatakan ayah padanya. Buku jurnal ayahnya.

Untuk Raditya Axel,
Permata kecilku.

Hai,
Jikalau kamu membaca ini Tya
Berarti kamu sudah dewasa

Papa tahu kamu, kamu nggak akan buka barang papa sampai kamu merasa kamu perlu dengannya.

Tya, anaku.
Maaf jika papa tak bisa melindungi mama dan kebahagiaan kita.

Maaf papa nggak bisa menemanimu dan melihatmu tumbuh besar.

Tya, semua buku yang ada di sini untuk kau baca menjelang hari itu hari di mana tugas yang seharusnya papa tanggung jatuh ke tanganmu.

Maaf, Tya.
Sekali lagi maaf.
Papa menyayangimu, Nak.

Tertanda,

Papa

Axel mengerjap. Ia menutup buku itu dengan hati-hati dan mulai mengambil buku lainnya. Mata dan tangannya mulai menjelajahi buku yang ada.

Tenggelam dalam setiap kata penting asing yang tertera pada lembar demi lembar. Tanpa menyadari ada seberkas cahaya muncul disisinya dan perlahan membentuk sebuah siluet mahluk.

"Boo!!" ujar sebuah suara di telinga Axel.

Axel menoleh ke arah sumber suara dan terjatuh dari atas kursi menatap takut mahluk bertubuh kecil dengan jubah gelap terbang melayang tanpa sayap yang muncul entah dari mana.

.

.

.
TBC, 19 November 2016
A/N: Maaf yang ini pendek *nunduk*

Angel, Human and DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang